Pandangan AIPI : Sanksi Pidana bagi Peneliti Harus Dihapus

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai ancaman sanksi pidana yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau RUU Sisnas Iptek harus dihapus. Sanksi pidana semacam itu dinilai kontraproduktif dengan upaya Indonesia untuk mendorong kolaborasi riset internasional.

Pandangan AIPI : Sanksi Pidana bagi Peneliti Harus Dihapus

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menilai ancaman sanksi pidana yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau RUU Sisnas Iptek harus dihapus. Sanksi pidana semacam itu dinilai kontraproduktif dengan upaya Indonesia untuk mendorong kolaborasi riset internasional.

Pandangan AIPI tersebut disampaikan dalam diskusi terbatas “Knowledge to Empower: Pandangan AIPI terhadap Isu Kelembagaan, Pendanaan dan Sanksi Pidana dalam RUU Sisnas Iptek” pada Kamis (14/3) di Perpustakaan Nasional Jakarta. Sesuai judulnya, diskusi tersebut membahas RUU Sisnas Iptek dari tiga isu yakni kelembagaan, pendanaan dan sanksi pidana.

Hadir sebagai pembicara Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro di isu kelembagaan, Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) Teguh Rahardjo di isu pendanaan, serta anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Jualiandi di isu sanksi pidana. Para penanggap diskusi adalah Sekretaris Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Prakoso di isu kelembagaan, Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran (HPP) Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini di isu pendanaan dan Direktur SMERU Research Institute Asep Suryahadi di isu sanksi pidana. Sedangkan Rival Ahmad dari Knowledge Sector Initiative menjadi moderator.

RUU Sisnas Iptek sebagai pengganti Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Diskusi ini digelar AIPI untuk memberikan masukan terhadap RUU yang tengah dibahas tersebut guna mendorong perbaikan tata kelola riset dan inovasi di Indonesia.

Terkait sanksi pidana, Berry Jualiandi menyatakan penghapusan ancaman sanksi pidana diperlukan guna mendorong iklim riset yang kolaboratif. Jika sanksi pidana dipertahankan, kolaborasi riset internasional akan sulit diwujudkan sehingga Indonesia malah mundur ke belakang. “Adanya pasal sanksi khusus untuk peneliti asing membuat Indonesia terkesan tidak bersahabat,” katanya.

Ancaman pidana bagi peneliti tercantum dalam pasal 74 – 77 RUU Sisnas Iptek. Peneliti yang melakukan riset, pengembangan, pengkajian dan penerapan penelitian berisiko tinggi tanpa izin pemerintah terancam hukuman penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar. Jika aktivitas tersebut membahayakan orang lain, lama hukuman dan besaran denda akan bertambah. Peneliti asing yang tidak memiliki izin juga terancam penjara maksimal dua tahun atau denda senilai Rp 2 miliar.

Menurut Jualiandi, ancaman sanksi pidana bisa diganti dengan sanksi administratif yang menyasar aktivitas riset tertentu. Selain itu, Indonesia dapat mengadopsi aturan yang telah berlaku secara global, misalnya konvensi keragaman hayati di bidang penelitian biologi. Kalaupun ada pelanggaran atau kejahatan dalam suatu penelitian, kasus tersebut bisa ditindak berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP.

Pada isu kelembagaan, Satryo Soemantri Brodjonegoro memaparkan pandangan AIPI bahwa lembaga-lembaga iptek saat ini belum berfungsi optimal. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang seharusnya berfokus pada pengembangan iptek di bagian hulu, misalnya, justru melakukan program penerapan iptek. Demikian pula sejumlah badan penelitian dan pengembangan (balitbang) kementerian yang mestinya fokus pada perbaikan pelayanan publik juga ikut melakukan penelitian penerapan iptek. Hasilnya, Balitbang Kementerian Pertanian memiliki 127 paten, LIPI 72 paten, dan Badan Pengkajian Penerapan dan Teknologi (BPPT) 95 paten.

Brodjonegoro mengatakan, tidak optimalnya kinerja lembaga litbang pemerintah itu memunculkan wacana untuk menggabungkan seluruh lembaga litbang di tingkat pusat. AIPI menilai penggabungan lembaga litbang justru akan menambah permasalahan dalam tata kelola riset di Indonesia. Oleh karena itu, AIPI merekomendasikan pentingnya penguatan lembaga-lembaga terkait iptek dengan pembagian fokus serta alur koordinasi dan pengawasan yang jelas.

Adapun untuk isu pendanaan, AIPI menilai pengelolaan dana litbang belum efisien.  Menurut Teguh Rahardjo, inefisiensi itu disebabkan oleh empat faktor, yakni kekacauan data penghitungan belanja litbang nasional 2016 dari Kemenristekdikti dan LIPI, tidak adanya mekanisme pengukuran kinerja lembaga litbang yang jelas, mekanisme pendanaan litbang menggunakan logika pengadaan barang dan jasa, serta tidak adanya lembaga independen yang mengelola pendanaan litbang. Untuk itu, reformasi tata kelola pendanaan litbang perlu dilakukan.

Terkait dengan pendanaan riset, Brodjonegoro selaku Ketua AIPI menegaskan pentingnya keberadaan lembaga pendanaan riset yang independen. Lembaga itu harus independen, profesional, bertanggungjawab dalam mendorong pengembangan dan penerapan iptek, memiliki anggaran yang stabil di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) serta berbasis akuntabilitas dan transparansi. Lembaga itu tidak harus dibentuk dari awal, melainkan bisa menugaskan lembaga yang sudah ada untuk melakukan peran tersebut. “Lembaga itu harus independen, bukan pemerintah. Kenapa harus independen? Karena kegiatan iptek itu harus bermanfaat bagi masyarakat, bukan semata-mata untuk pemerintah,” jelasnya seperti dikutip Antara News, Kamis (14/3).

Pandangan AIPI mengenai isu kelembagaan, pendanaan dan sanksi pidana dalam RUU Sisnas Iptek itu dituangkan dalam satu dokumen terpadu. Untuk setiap isu, AIPI mencantumkan rekomendasinya terkait isi dari pasal-pasal yang perlu diubah. Selain itu ada lampiran mengenai praktik tata kelola iptek dan inovasi di Thailand, Jepang, China, Jerman dan Inggris. Di akhir acara, dokumen tersebut diserahkan kepada perwakilan Kemenristekdikti, Kemenkeu, media serta seluruh peserta yang hadir.

Dokumen Pandangan AIPI dapat diunduh melalui tautan ini.

Pemberitaan mengenai acara ini dapat dilihat pada:

  • Share: