Di Balik Sosok Nelayan Miskin di Sebuah Perahu: Membangun Jaringan Kebijakan Maritim Indonesia

Dua ingatan yang kontras tentang sumber daya maritim di Indonesia mendominasi banyak orang. Dahulu kala, kerajaan-kerajaan di masa lampau bertempur menjaga wilayah maritim kekuasaan mereka.

Di Balik Sosok Nelayan Miskin di Sebuah Perahu: Membangun Jaringan Kebijakan Maritim Indonesia

Dua ingatan yang kontras tentang sumber daya maritim di Indonesia mendominasi banyak orang. Dahulu kala, kerajaan-kerajaan di masa lampau bertempur menjaga wilayah maritim kekuasaan mereka. Kemudian seiring waktu ingatan penuh kekuasaan ini mengecil menjadi sosok nelayan miskin yang bertahan hidup dalam sebuah perahu. Namun, lewat pelantikannya pada Oktober 2014, Presiden Jokowi menghidupkan kembali visi Indonesia sebagai poros maritim global dan meraih kembali peran kekuatan maritim di dunia.

Pada bulan Mei 2015, Knowledge Sector Initiative (KSI) memulai dukungan terhadap upaya yang dipimpin oleh Perkumpulan Praxisdan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk membangun jaringan kebijakan maritim yang akan menyeimbangkan visi kekuatan maritim global pemerintah dengan pandangan yang realistis tentang isu-isu prioritas strategis di lautan Indonesia dan ekonomi pesisir. Selain itu, jaringan ini berusaha untuk memperkecil kesenjangan antara peneliti dan pembuat kebijakan, serta meningkatkan cara mereka berkomunikasi dan mengelola arus pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan maritim. Peran serta masyarakat juga akan menjadi bagian integral dari jaringan ini, dengan masukan yang aktif dari komunitas nelayan dan unit penangkapan skala kecil.

Sebagai permulaan, pada tanggal 12 Mei Perkumpulan Praxis dan LIPI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) pertama di Jakarta dengan para pemangku kepentingan lain tentang kompleksitas kehidupan maritim. Mayoritas peserta mengakui resiko-resiko pemahaman permasalahan jika masalah kehidupan penduduk maritim disederhanakan melalui sosok nelayan miskin di sebuah perahu.

Kegiatan FGD diawali dengan pemahaman bersama bahwa tantangan menciptakan sebuah kebijakan maritim berbasis bukti berakar pada budaya dan peradaban yang berorientasi pada daratan. Sejak pemerintahan kolonial Belanda di abad kesembilan belas  nusantara bertumpu pada ekonomi berbasis daratan, khususnya perkebunan dan industri ekstraktif skala kecil. Baik pemerintah maupun rakyat telah berpaling jauh dari laut. Selama hampir tujuh puluh tahun sejak kemerdekaan tidak banyak yang dilakukan untuk mengubah arah ini. Termasuk melupakan kata kepulauan sesungguhnya berarti "utama (arkhi) adalah laut (pelagos)", dan bahwa thalassocracies (pemerintahan) Sriwijaya dan Majapahit - yang disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidato pengukuhannya - menggunakan laut untuk memperluas perdagangan komoditas mereka, sekaligus pengaruh pemerintahan.  

"Interkoneksi antara sektor ekonomi dan geografi kekuasaan – elemen penting bagi sebuah lingkungan pembuatan kebijakan yang sehat -- tidak disorot dalam peningkatan pembahasan isu maritim di Indonesia saat ini. Kelompok-kelompok yang memperoleh informasi yang cukup dan terhubung erat akan bekerja lebih baik bila mereka berperan sebagai perantara antara produsen penelitian dan calon penggunanya dalam penyusunan kebijakan maritim," kata Ahmad Badawi dari Perkumpulan Praxis. Ia juga menambahkan bahwa secara teknis, untuk membangun kembali arah kebijakan pembangunan maritim, sebaiknya diawali dari pengelolaan sumber kehidupan masyarakat pesisir (nelayan penjual ikan dan para pemangku kepentingan di lingkungan maritim). Mengelola kehidupan berarti mengelola kesejahteraan masyarakat pesisir, kelestarian pantai, dan ekosistem laut di mana masyarakat bertumpu padanya.

Memahami ‘lapisan’ di balik ingatan akan sosok nelayan miskin sangat penting untuk jaringan kebijakan maritim. Masalah mata pencaharian maritim pesisir mengacu pada kehidupan  nelayan penjual ikan yang bergantung pada kelestarian alam dan ekosistem laut. Oleh karena itu, perlu untuk mengenali permasalahan, kekuatan, dan daya tahan mereka terhadap situasi maritim Indonesia. Selain itu, masyarakat nelayan penjual ikan belakangan ini merupakan salah satu komunitas yang kurang memiliki akses dan kepemilikan terhadap sumber daya yang berkaitan dengan mata pencaharian. Kerusakan lingkungan pesisir dan kehidupan laut sebagai akibat dari pembangunan dan eksploitasi yang berlebihan, peralatan penangkapan ikan yang terbatas, perubahan iklim dan masalah sumber daya manusia memperlemah kedudukan nelayan penjual ikan sehingga mereka tidak dapat mengandalkan maritim sebagai sumber kehidupan. Saat ini, nelayan penjual ikan tidak lagi dianggap sebagai profesi yang berjasa atau menguntungkan. Oleh karena itu, memberdayakan nelayan dan komunitas mereka adalah strategi dasar untuk mengembangkan kebijakan. 

Juga hadir selama FGD tersebut adalah perwakilan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Serikat Nelayan Tradisional Indonesia. FGD ini merupakan langkah awal dari program mata pencaharian pesisir maritim yang diadakan oleh  Praxis dan didukung oleh KSI. Ini akan ditindaklanjuti dengan seri FGD berikutnya yang lebih dalam untuk mengenali dampak nyata dari produk kebijakan yang berkaitan dengan mata pencaharian pesisir maritim di Indonesia bagi masyarakat nelayan penjual ikan dan kelestarian lingkungan dan mengakui pengalaman penelitian berbagai pihak dan praktik terbaik masyarakat dalam menjelajahi sumber daya maritim lokal. Akhirnya, semua temuan dan proses akan menjadi bahan promosi terhadap perubahan kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan masalah kehidupan pesisir maritim dalam wilayah program dan tingkat nasional.

  • Bagikan: