Layanan Pendidikan Harus Disesuaikan dengan Kondisi Siswa

Kegiatan belajar mengajar jarak jauh yang telah menjadi kebutuhan di masa pandemi COVID-19 menemui sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Upaya mengatasi kendala tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Hal tersebut menjadi pokok bahasan pada KSI4RDI yang bertema Peningkatan Kualitas Layanan Pendidikan dan Agama sebagai respons Dampak COVID-19. Simak lebih lanjut liputannya

Layanan Pendidikan Harus Disesuaikan dengan Kondisi Siswa

Kegiatan belajar mengajar jarak jauh yang telah menjadi kebutuhan di masa pandemi COVID-19 menemui sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Upaya mengatasi kendala tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa.

Hal itu terungkap dalam sesi KSI4RDI yang membahas tema Serial Diskusi Ruang Lingkup Kajian Penelitian Pandemi COVID-19, Klaster 2 Peningkatan Kualitas Layanan Pendidikan dan Agama sebagai respons Dampak COVID-19” Senin (24/8). Diskusi daring yang diadakan Knowledge Sector Initiative ini menghadirkan pembicara antara lain Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami, Senior Social Development Specialist The World Bank Dewi Susanti, Child Protection Specialist UNICEF Indonesia Ali Aulia Ramly, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Lisyarti dan Program Manager INOVASI Kalimantan Utara Handoko Widagdo. Adapun moderator diskusi ini adalah Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Niza Faridz.

Amich Alhumami menuturkan, di masa pandemi pembelajaran tatap muka tidak bisa dipaksakan. Oleh karena itu, pilihan yang tersedia adalah pembelajaran jarak jauh. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan ada sejumlah kendala yang ditemui mulai dari kurangnya perangkat hingga kesenjangan teknologi yang tidak bisa diatasi dalam waktu singkat.

Menurut dia, kendala pembelajaran jarak jauh paling dirasakan oleh kelompok yang termiskin. Akses mereka untuk mendapat pendidikan menjadi terbatas. Salah satunya karena akses internet anak dari keluarga miskin masih rendah. “Perlu kebijakan yang tepat untuk mengatasi kesulitan kelompok ini,” katanya.

Dewi Susanti membagikan pengalaman program KIAT Guru dalam merespons dampak pandemi bagi kegiatan belajar mengajar. Pada pertengahan Maret hingga Juni, KIAT Guru mengadakan survei terhadap 410 sekolah dasar di Kalimantan Barat (tiga kabupaten) dan Nusa Tenggara Timur (dua kabupaten). Hasilnya, hanya 22 persen keluarga yang sudah terjangkau sinyal internet, dan baru 43 persen keluarga yang memiliki televisi. Temuan lainnya adalah sebanyak 17,1 persen sekolah tidak mengadakan proses belajar mengajar sama sekali. Namun demikian, ada juga guru dan sekolah yang berinovasi supaya bisa tetap memberikan pelajaran bagi siswa. Ada yang memberikan soal ke siswa dengan memanfaatkan aplikasi WhatsApp, ada yang membuat video pembelajaran, ada juga yang berkunjung ke rumah siswa.

Melihat hal itu, pendampingan terhadap sekolah di daerah terpencil dalam mengatasi masa pandemi menjadi sangat penting sehingga bisa menekan ketimpangan pendidikan yang akan semakin lebar. “Kami menyarankan guru membuat assessment sederhana misalnya dengan sepuluh soal yang bisa merekam di mana level anak saat ini berada. Nanti materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan hasil assessment itu, tidak harus ikut target kurikulum,” ucapnya.

Kesehatan jiwa

 Ali Aulia Ramly menuturkan, pandemi bisa berdampak pada kesehatan jiwa siswa, baik karena situasi anaknya sendiri maupun karena situasi yang melingkupinya. Kondisi ekonomi orang tua yang sulit, adanya kekerasan dalam rumah tangga, terbatasnya kegiatan di rumah, arus informasi yang deras hingga adanya anggota keluarga maupun teman yang meninggal bisa berdampak pada kesehatan jiwa siswa.

Menurut Ali, sebelum pandemi isu kesehatan jiwa anak sudah menjadi tantangan di Indonesia. Pada survei tahun 2015 terhadap siswa SMP dan SMA, 37 persen siswa merasa selalu khawatir, 5,4 persen di antaranya mengaku sulit tidur dan 2 persen mengaku melakukan percobaan bunuh diri. “Berdasarkan survei dari Universitas Indonesia, pandemi meningkatkan risiko remaja mengalami masalah emosi dan perilaku,” katanya.

Untuk itu, menurutnya penting untuk memperhatikan masalah psikososial dalam penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi. Layanan kesehatan jiwa perlu diperkuat sembari memperkuat kapasitas dan pemahaman tenaga pendidik maupun orang tua terkait masalah kesehatan jiwa tersebut.

Retno Lisyarti, survei KPAI juga menunjukkan bahwa pembelajaran jarak jauh memunculkan kesenjangan karena hanya anak dari keluarga menengah atas yang terlayani. Selain itu, dalam pelaksanaannya sebanyak 73,2 persen siswa merasa tugas yang diberikan guru berat, 77,8 persen siswa merasa tugasnya menumpuk, sementara orang tua merasa heran karena harus mengirim foto ataupun video tugas yang menghabiskan kuota. Di sisi lain, beban guru yang punya anak usia sekolah menjadi bertambah. “Perlu penetapan kurikulum darurat yang disederhanakan dan dipergunakan selama masa pandemi, dengan mempertimbangkan kondisi anak,” ujarnya

Handoko Widagdo dari INOVASI menceritakan pengalaman dalam membantu Dinas Pendidikan di Kalimantan Utara untuk mengembangkan bahan ajar yang sesuai. Berdasarkan pengalaman itu, hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa pola pembelajaran perlu disesuaikan. Tuntutan kurikulum harus disesuaikan dengan situasi karena hal ini berkaitan dengan kesehatan mental siswa. “Yang terpenting anak bisa belajar sesuai kemampuannya, bukan guru mengajar sesuai tingkat kelasnya,” terangnya.

Sebagai penutup, Nisa Faridz dari Pusat Studi Pendidikan & Kebijakan menyatakan bahwa penting untuk melanjutkan upaya advokasi yang telah di inisiasi oleh KSI bersama dengan Bappenas dalam hal peningkatan kualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mendukung upaya-upaya eksplorasi kajian konsep well-being (kesehatan jiwa) dan pendidikan karakter kepada siswa. Perlunya pemahaman lebih terhadap kesehatan mental antara orang tua, siswa dan guru memegang peran yang sangat krusial dalam menyuskeskan proses belajar di masa pandemi saat ini. Peran pemerintah juga dituntut lebih ekstra dalam menyelaraskan prioritas kebijakan antara pusat dan daerah terkait penggunaan anggaran untuk scalling up metode belajar yang akan digunakan dimasa pandemi ini.

KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Kegiatan diskusi KSI4RDI bertujuan untuk mendukung peningkatan penggunaan bukti dalam proses pembuatan kebiajakan yang secara langsung akan mendorong para pembuat kebijakan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran. Gelaran serial diskusi KSI4RDI#5 klaster 2 mempertemukan peneliti/produsen pengetahuan dan pelaku sektor program pembangunan/kemanusiaan dari untuk mendukung lebih banyak penelitian yang mendorong diskursus seputar solusi kerangka evaluasi sistem pembelajaran daring guna mendorong advokasi kebijakan penangan dampak Covid-19 berbasis bukti yang lebih baik.

  • Bagikan: