Perlu Kesetimbangan Perlindungan Privasi dan Kesehatan Publik dalam Penanganan COVID-19

Siaran Pers ELSAM terkait Perlindungan Privasi dalam Penanganan Covid 19 di Indonesia.

Perlu Kesetimbangan Perlindungan Privasi dan Kesehatan Publik dalam Penanganan COVID-19

(Only available in Bahasa Indonesia)

Di tengah proses penanganan dan pencegahan pandemik global COVID-19, pembukaan identitas pasien positif COVID-19 telah menjadi polemik di publik maupun pengambil kebijakan. Sebagian orang berpandangan, pembukaan data pribadi termasuk riwayat perjalanan pasien positif COVID-19 dinilai mampu menjadi salah satu upaya pencegahan penularan yang lebih masif. Namun disisi lain, berpotensi melahirkan diskriminasi dan peluang identifikasi keluarga pasien dan orang terdekatnya. Mencermati situasi itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai setiap tindakan pemrosesan data pribadi pasien COVID-19, apalagi pembukaannya, harus sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi dan selaras dengan etika medis.

Dalam konteks (prinsip dan regulasi) pelindungan data pribadi, termasuk dalam  RUU Pelindungan Data Pribadi, data kesehatan termasuk dalam kategori data sensitif, yang pengelolaannya memerlukan mekanisme pelindungan yang lebih hati-hati, dengan menjamin akuntabilitasnya. Berdasarkan catatan ELSAM (2016), dari 32 undang-undang yang mengatur pelindungan data pribadi, 6 diantaranya adalah berkaitan dengan sektor Kesehatan, termasuk akses data kesehatan yakni: UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa,  UU Tenaga Kesehatan, dan UU Narkotika. Dalam Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan, pengecualian dalam perlindungan data tersebut, dapat dilakukan salah satunya demi kepentingan masyarakat. Namun tentunya harus memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas, artinya harus dilakukan secara ketat dan terbatas.

Lebih jauh, kerahasiaan rekam medik pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, yang mewajibkan seluruh penyelenggara layanan kesehatan untuk menjaga kerahasiaan rekam medis pasien. Dalam Pasal 10 (2) peraturan tersebut dikatakan, bahwa membuka riwayat kesehatan memungkinkan terjadi untuk kepentingan kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, dan untuk kepentingan penelitian atau pendidikan sepanjang tidak menyebut identitas pasien. 

Oleh karena itu, dalam rangka penanganan COVID-19, setiap praktik pengumpulan data pribadi seseorang, termasuk tracking data lokasi, juga harus dilakukan sesuai dengan prinsip dan hukum pelindungan data pribadi. Pasalnya, potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi dengan implikasi adanya diskriminasi dan ekslusivitas (pengucilan) terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk meningkatkan situasi ketakutan berlebih bagi publik. Sebagai contoh, dua kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia yang data pribadinya disebarkan luasnya, justru mengalami diskriminasi dan intimidasi, yang kemudian berdampak pada keadaan mental kedua pasien tersebut.

Belajar dari pengalaman beberapa negara, Singapura misalnya, pemberitaan dan laporan status COVID-19 dari situs resmi yang dikelola pemerintah (www.wuhanvirus.sg), sama sekali tidak membuka identitas pribadi dari pasien positif COVID-19, apalagi yang masih dalam status suspect. Melainkan cukup dengan memberikan nomor bagi pasien, berdasarkan pada nomor urut kasusnya. Namun demikian, dengan alasan kesehatan publik, pembatasan terhadap perlindungan data pribadi ini dimungkinkan untuk dilakukan, dengan melalui sejumlah persyaratan, misalnya ada peresetujuan yang jelas dari subjek data, dan ditujukan untuk kepentingan vital (vital interest) dari subjek data. Selain itu tindakan yang dilakukan juga harus diperbolehkan oleh hukum, dan memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas.

Praktik dari negara yang memiliki hukum perlindungan data pribadi yang kuat, meskipun situs COVID-19, menampilkan secara lengkap rekam jejak aktivitas dan daerah (lokasi) yang dikunjungi oleh pasien positif dan suspect COVID-19, namun yang ditampilkan hanya informasi mengenai lokasi, tanpa membuka identitas pribadi pasien. Pilihan ini dilakukan guna memastikan tidak adanya identifikasi dan profiling terhadap pasien, tetapi hak publik atas kesehatan publik juga tetap dipenuhi, dengan adanya kejelasan mengenai lokasi yang pernah dikunjungi pasien dalam rentang waktu tertentu (14 hari misalnya). Tindakan yang juga dikenal sebagai Contact Tracing ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada publik yang berpotensi berkontak langsung dengan pasien, sehingga mereka dapat melaporkan ke rumah sakit/institusi kesehatan rujukan apabila mengalami gejala infeksi, atau menjadi pertimbangan bagi publik untuk melakukan self-quarantine (isolasi mandiri).

Dengan beberapa pertimbangan dan perkembangan situasi di atas Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) memberikan sejumlah rekomendasi berikut ini:

  1. Otoritas kesehatan yang bertugas dalam melakukan pencegahan penyebaran dan penanganan COVID-19 harus mengedepankan pelindungan data pribadi sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk Kode Etik Tenaga Medis. Penyebaran informasi dan status rekam medis pasien pada dasarnya tidak dapat dibuka, kecuali mendapatkan persetujuan yang jelas dari pemilik data dan kepentingan vital dari subjek data.
  2. Seluruh praktik pengumpulan data pribadi baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat sipil, dalam rangka kontrol dan pencegahan COVID-19, haruslah mengacu pada Prinsip Pelindungan Data Pribadi, salah satunya adalah prinsip data minimalis (data minimisation), yakni mengumpulkan data secara minimal, dan sesuai dengan kebutuhan yang terbatas untuk tujuan penanganan COVID-19.
  3. Selain itu, data pribadi yang telah dikumpulkan hanya dapat digunakan secara terbatas untuk penanggulangan COVID-19 sebagaimana tujuan awal pengumpulan, dan tidak digunakan untuk tujuan lainnya (prinsip purposive limitation).
  4. Dalam hal pembukaan data pribadi pasien, untuk tujuan kesehatan publik, sebagaimana dijelaskan di atas, selain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan jelas dari pasien, juga harus memenuhi persyaratan nesesitas dan proporsionalitas, misalnya dengan menggunakan  metode anonimisasi.

Jakarta, 23 Maret 2020

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) 

Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi Wahyudi Djafar (Deputi Direktur Riset ELSAM), telp: 081382083993Lintang Setianti (Peneliti ELSAM), telp: 085711624684, atau Alia Yofira (Peneliti ELSAM), telp: 081217015759.

  • Bagikan: