Suatu sore di Lembaga Eijkman, Jakarta. Di ruang oval yang dingin, saya duduk menghadap Prof. Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Eijkman sekaligus Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Guru besar berusia 70 tahun itu terdiam. Wajahnya kecewa. Matanya tak lepas menatap bergantian dua artikel yang saya bawakan. Ada bau plagiarisme di situ. “Saya sudah menandai sejumlah paragraf yang sama persis, Prof,” kata saya hati-hati.
Peristiwa itu terjadi pada 2013. Belum genap setahun saya bergabung dengan AIPI. Sebelumnya, saya editor di sebuah penerbit khusus sejarah, dan beberapa kali berkonsultasi dengan Prof. Sangkot untuk akurasi buku sejarah alam yang sedang saya kerjakan. Mendengar saya mengundurkan diri dari penerbit tempat saya bekerja, Prof. Sangkot menghubungi saya, menawarkan posisi yang sama di AIPI. Tawaran itu saya terima dengan senang hati, terlebih ternyata saya editor pertamanya. Sembari mempelajari organisasi yang masih asing ini, pada 2012 saya diterbangkan ke Washington DC untuk magang di National Academy of Sciences (NAS). “Lihat cara mereka membuat laporan. Bagaimana NAS mengeluarkan 250 laporan setiap tahun,” pesan Prof. Sangkot.
***
AIPI dan NAS adalah organisasi serupa dengan pengalaman jauh berbeda. Didirikan pada 1863, NAS tumbuh besar dan kuat selama 150 tahun sebagai lembaga independen yang sangat dipercaya Gedung Putih dan pemerintah federal untuk memberikan saran-saran kebijakan berbasis sains (ilmu pengetahuan), didukung oleh jajaran staf dengan latar belakang keilmuan multidisiplin yang kuat. AIPI baru didirikan pada 1990, yang pada satu dasawarsa pertama, tertatih-tatih bergelut dengan administrasi dan keuangan. Akademi belia ini mulai menyadari khittah keakademian dan mulai mengejar ketertinggalannya pasca milenium.
Salah satu yang ingin dibangun Prof. Sangkot adalah bagian penerbitan. Suatu akademi akan didengar dan dipercaya jika mampu menghasilkan produk bermutu ilmiah yang bisa menjadi rujukan berwibawa bagi masyarakat luas, komunitas akademik, maupun pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. AIPI sama sekali belum memiliki bagian itu, bahkan seorang staf penyunting pun tak ada.
Beranggotakan 60 ilmuwan terkemuka terbaik negeri ini, AIPI berpotensi menjadi wadah yang sangat kuat dalam menyuarakan saran dan pertimbangan sains. Tapi itu belum terjadi. Memang, beberapa kali AIPI diminta memberikan pertimbangan terhadap beberapa kasus penting, misalnya tentang keterbukaan data genome pada 2004; sikap Indonesia dalam Sidang Umum PBB 2005 tentang teknologi kloning; rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan atas kasus susu formula yang terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii pada 2011; serta yang terakhir adalah saran perubahan Kurikulum 2013. Tapi itu semua berupa beberapa lembar saran kebijakan di balik layar. Sungguh kerja sunyi, khas peneliti.
AIPI mengemban misi besar membangun budaya ilmiah. Menerbitkan dokumen, laporan, atau rekomendasi yang bisa memberi solusi ilmu pengetahuan bagi aneka masalah global adalah kewajiban akademi ini. Tapi peristiwa 2013 itu menyadarkan betapa kritisnya kondisi publikasi AIPI. Plagiarisme sendiri sudah dosa tak terampunkan. Saya tidak akan membahas bagaimana kasus itu diselesaikan, tapi bahwa buku kumpulan tulisan para anggota AIPI itu hampir lolos terbit, membangkitkan kecurigaan saya bagaimana selama ini proses publikasi buku-buku AIPI. Tanpa proses penyuntingan, tata letak sederhana hanya dengan Microsoft Word, desain sampul ala kadarnya, dan biaya cetak buku digelembungkan sebagai “uang proyek”, (staf) AIPI mengkhianati mimpi lembaganya sendiri.
Sebagai editor, salah satu tugas saya adalah membantu mengurus ISBN. Suatu hari saya ditanya harga ISBN. Saya mengernyit, “ISBN ‘kan gratis, Bu. Itu milik dunia, yang di tiap negara dikelola olah perpustakaan nasional masing-masing.” Alih-alih menyusun laporan mengikuti prosedur ketat NAS, AIPI ditipu stafnya sendiri dengan membayar ISBN. Ini adalah pekerjaan rumah lain dalam hal sumber daya manusia.
Tapi Ketua AIPI tak menyerah membangun integritas akademi. Proses pembelajaran pertama dalam membuat laporan adalah penyusunan Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia (2014), bekerjasama dengan NAS. Laporan ini disusun dengan standard NAS: pernyataan tertulis komite studi lintas disiplin yang kompeten dan bebas konflik kepentingan; pernyataan kesediaan bagi anggota komite untuk memenuhi Statement of Task; proses peer-review; proses monitor; dan terakhir adalah proses penyuntingan. Langkah dan prosedur ketat untuk menjamin mutu ilmiah ini adalah hal baru bagi AIPI. Laporan ini membuahkan hasil manis. Hasil laporannya memang tidak membahagiakan: Indonesia gagal mencapai MDGs dalam hal menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. Laporan yang dilengkapi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah mendapat apresiasi tinggi dari Nafsiah Mboi, menteri kesehatan saat itu.
Dapatkah AIPI menjadikan pengalaman penyusunan laporan yang ketat sebagai standard baku penerbitan dalam setiap laporannya di masa depan? Satu model laporan saja mungkin tidak cukup.
***
Bagi saya, AIPI ibarat remaja tanggung yang naif dan nekat. Berbekal satu model proses penyusunan Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia, AIPI bermimpi membuat semacam agenda ilmu pengetahuan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, inspirasinya dari edisi khusus jurnal Science ”125 Questions: What Don’t We Know” dan The Dutch Research Agenda terbitan KNAW, akademi Kerajaan Belanda, yang bahkan usianya sekitar setengah abad lebih tua dari NAS.
Agenda ilmu pengetahuan dalam Science maupun The Dutch Research Agenda merupakan inspirasi sains. Pertanyaan-pertanyaan ilmiah fundamental di dalamnya mengajak berpikir ke depan, memancing rasa penasaran, bahkan kadang nakal. Tantangan penyusunan agenda ini diberikan kepada ilmuwan muda alumni simposium garda depan AIPI. Akhir 2013, AIPI mengundang beberapa ilmuwan muda yang potensial menjadi anggota komite studi dan memperkenalkan prosedur penyusunan laporan ala NAS. Sama naifnya, para ilmuwan muda ini menerima tantangan berat tersebut.
Tahap-tahap penyusunan laporan NAS diikuti. Ternyata, SAINS45 ini jauh lebih kompleks karena melibatkan lebih dari 100 ilmuwan muda sebagai kontributor dan mitra bestari. AIPI dan komite studi tetap gigih mengikuti prosedur untuk menjamin mutu ilmiah dokumenSAINS45. Dua tahun kemudian, ketika proses monitor yang menentukan keputusan terbit tiba, draf akhir SAINS45 tidak banyak mengalami perubahan. SAINS45 telah ditempa dalam berbagai konsultasi publik di komunitas-komunitas akademik tanah air.
Proses itu berat, tapi nyatanya dapat dilewati. Selesainya SAINS45—edisi bahasa Indonesia dan Inggris—kian memantapkan AIPI bahwa demikianlah proses yang harus dijalani dalam penyusunan dokumen suatu akademi. Knowledge Sector Initiative-Department of Foreign Affairs and Trade (KSI-DFAT Australia) tidak hanya mendukung secara finansial proses ini, namun juga menyediakan penerjemah dalam alih bahasa SAINS45 untuk edisi bahasa Inggris. Saya yang sebelumnya hanya berbekal pengalaman penyusunan laporan NAS dalam satu versi bahasa, dua kali lipat bebannya karena SAINS45 ini hadir dua bahasa. Tapi beban itu ditanggung bersama, salah satunya dengan KSI-DFAT. Australian Academy of Science pun belum pernah menyusun dokumen serupa.
Proses penyusunan SAINS45 merupakan modal untuk menghadapi laporan AIPI berikutnya: “White Paper on Science, Technology, and Higher Education”, yang diminta oleh Kemenristekdikti. Kepercayaan demi kepercayaan mulai diberikan kepada AIPI.
***
Bersama komite studi yang dibentuk secara ad hoc, saya tidak mengalami hambatan. Budaya ilmiah dan kebebasan akademik dijunjung tinggi. Ego dan kepentingan bidang keilmuan masing-masing anggota dikesampingkan demi dokumen yang layak dipertanggungjawabkan.
Namun tidak selalu demikian di dalam AIPI sendiri. Terbitan Komisi Ilmu Kedokteran, Komisi Budaya, Komisi Ilmu Sosial, Komisi Ilmu Rekayasa, dan Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar belum sepenuhnya mengikuti standard baku publikasi suatu akademi. Baru beberapa komisi yang mulai melibatkan saya dalam menerbitkan buku dan terbitan-terbitan lain semacamproceeding simposium/konferensi. Meski bukan buku, proceeding (kumpulan makalah ilmiah yang diseminarkan) yang memuat abstrak dan penelitian peserta kegiatan, pun harus disunting dan dikemas lebih baik.
Dari beberapa jenis terbitan AIPI, saya mencatat prosedur penyusunan laporan konsensus seperti Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia dan SAINS45 adalah yang paling ketat. Prosedur baku ini seharusnya bisa diikuti oleh jenis terbitan lain. Bunga rampai pemikiran anggota AIPI, misalnya harus tetap melewati tahap penyuntingan, proofreading (pembacaan kembali dan pengoreksian tulisan), desain tata letak dan sampul, serta terdaftar di Perpustakaan Nasional.
Bekerja sebagai editor AIPI berarti menyuarakan kerja sunyi dan mengawal wibawa akademi. Ini tak bisa dilakukan asal-asalan, sekadar mencetak hasil pemikiran para ilmuwan dengan mesin offset besar. Saya harus belajar menimbang publikasi suatu saran kebijakan, memikirkan dampaknya bagi masa depan, serta meminimalkannya dari dosa akademik dan isu etik. Kelak di kemudian hari, jika ditemukan kesalahan dalam terbitan AIPI, baik tampilan maupun isi, terlebih plagiarisme, ada orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pertama kali. Orang itu adalah saya.
Uswatul Chabibah
Editor, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia