Menemukan Mitra untuk Menghidupi Sektor Pengetahuan

Mempertemukan riset dengan kebijakan adalah salah satu cita-cita lembaga yang lahir di tahun 2010 ini. Hanya sayang kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut acap bergantung kepada pihak lain. Meski secara internal kemampuan itu diyakini ada, kehadiran pihak lain untuk mempromosikan kapasitas tersebut sangatlah penting. Pertanyaannya bagaimana mencari promotor yang paham pentingnya riset dalam proses penyusunan kebijakan?

“There is nothing a government hates more than to be well informed; for it makes the process of arriving at decisions much more complicated and difficult.”-John Maynard Keynes

Sudah banyak pihak bicara tentang buruknya proses pembuatan kebijakan di Indonesia tapi tak banyak yang punya dedikasi untuk memperbaikinya. Di tengah kondisi semacam itu, menemukan kawan seperjuangan hampir sama seperti keajaiban. Apalagi bagi sebuah organisasi yang baru lahir kemarin sore seperti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG).

Mempertemukan riset dengan kebijakan adalah salah satu cita-cita lembaga yang lahir di tahun 2010 ini. Hanya sayang kesempatan untuk mewujudkan cita-cita tersebut acap bergantung kepada pihak lain. Meski secara internal kemampuan itu diyakini ada, kehadiran pihak lain untuk mempromosikan kapasitas tersebut sangatlah penting. Pertanyaannya bagaimana mencari promotor yang paham pentingnya riset dalam proses penyusunan kebijakan?

Awal Pertemuan

Sudah lama CIPG mendorong berbagai lembaga untuk melahirkan kebijakan berbasis data. Sejak 2011 misalnya lembaga ini telah melakukan kerjasama kajian riset untuk isu-isu inovasi, triple helix, kebijakan riset dan inovasi, serta inovasi dan pembangunan dengan Dewan Riset Nasional (DRN) dan unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).[1] Berbagai laporan dan rekomendasi kebijakan terkait agenda riset nasional, dan interaksi industri dengan peneliti telah dilahirkan dari kerjasama ini. Hasil-hasil kajian pun telah diterima dengan cukup baik oleh pihak Kemerinstekdikti dan diakui para pemangku kepentingan di dalamnya. Hanya satu yang kurang yakni kesempatan membawa berbagai kajian ini ke khalayak yang lebih luas.

Selama mengawal proses perbaikan kebijakan mengenai riset, inovasi dan sains tersebut CIPG seperti berjalan dalam ruang terisolasi. CIPG merasa seolah tidak memiliki mitra ibarat sendirian menembus rimba lebat kebijakan pemerintah pusat. Tidak ada aktor atau lembaga lain yang secara khusus bergulat dengan upaya-upaya perbaikan riset dan inovasi di Indonesia.

Dasar nasib. Di tengah berbagai kegiatan yang tak kunjung selesai, CIPG berpapasan dengan Knowledge Sector Initiative (KSI). Perkenalan CIPG dengan KSI bermula dari pertemuan tak sengaja di sela-sela Southeast Asia Conference in Innovation for Inclusive Development, November 2014. Sapaan singkat mengalir menjadi obrolan serius tentang kebijakan publik hingga soal semrawutnya tata kelola riset di Indonesia. Entah kebetulan atau tidak KSI menunjukkan niat dan kepentingan yang sama.

Perkenalan awal dengan KSI itu kemudian membuahkan hasil. Desember 2014 KSI menawari CIPG kesempatan mengisiKnowledge Sharing Session, sebuah forum diskusi hasil inisiatif KSI yang membahas beragam topik. CIPG segera menerima tawaran ini tanpa ragu. Bersama Kemenristek dan DRN, CIPG berkesempatan berbagi cerita mengenai Agenda Riset Nasional kepada publik secara luas. Selain Kemenristek, hadir pula Dewan Pendidikan Tinggi dan pemangku kepentingan dari kalangan nonpemerintah.[2] Inilah pertama kalinya Agenda Riset Nasional dibahas dalam forum nonpemerintah.

Begitulah. Knowledge Sharing Session yang diadakan KSI di awal tahun 2015 ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan yang sebenarnya sudah saling mengenal, tapi nyatanya jarang bertegur sapa. Memang untuk mendekatkan hasil riset dengan kebijakan, mutlak perlu upaya mempertemukan para pelakunya terlebih dahulu. Peran KSI ibarat mak comblangyang mempertemukan pihak-pihak yang awalnya tak saling bertegur sapa dan mendorong mereka berdialog.

Bersama Memperluas Jangkauan

Seiring waktu dukungan KSI kepada CIPG tidak sebatas sebagai mak comblang saja. Setelah membahas Agenda Riset Nasional dalam forum yang lebih luas, tantangan yang dihadapi CIPG adalah mempresentasikan hasil riset mengenai riset itu sendiri.Penelitian bertajuk Reforming Research in Indonesia: Policies and Practices ini digarap CIPG bersama Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia UI (Puskakom UI) selama satu tahun penuh. Isinya secara khusus membahas hambatan yang dihadapi akademisi Indonesia dalam melakukan riset sosial. Riset ini menarik tetapi juga berpotensi membuat panas telinga petinggi Kemenristekdikti. Sebab hasil kajian tersebut menyiratkan berbagai problem dalam tata kelola riset di Indonesia. Di sinilah momen kedua kolaborasi CIPG dengan KSI.

Awalnya CIPG dan Puskakom UI berencana menggelar peluncuran hasil risetnya secara sederhana, cukup dengan mengumpulkan perguruan tinggi dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. Namun di tengah prosesnya, terpikir oleh CIPG dan Puskakom, “Mengapa tak kita gandeng saja KSI?” Memang beberapa bulan belakangan, KSI sering menanyakan hasil riset CIPG dan Puskakom UI ini. Pucuk dicinta ulam tiba. Ide ini disambut antusias oleh KSI.

Setelah melalui berbagai diskusi dan pertimbangan, kolaborasi tripartit KSI-CIPG-Puskakom UI ini berhasil mendesain peluncuran riset menjadi momen untuk meraih perhatian luas para pemangku kepentingan terkait. Dukungan penuh dari sangpartner in crime berhasil mendatangkan audiens yang lebih luas dan beragam di LIPI, 6 April 2016, di mana riset Reforming Research in Indonesia bersama dengan kajian mitra KSI dengan sukses diluncurkan .

Kolaborasi ini bukannya bebas hambatan. Tantangan tetap ada. Meski acara tersebut berjalan rapi, kerikil tetap tak terhindarkan dalam perjalanan. Salah satu tantangan yang harus diatasi adalah menyamakan ekspektasi mengenai isi dan lingkup acara. Hal ini tak bisa terjadi dalam sekejap. Berbagai pertemuan dan diskusi diperlukan agar tujuan acara bisa tercapai dengan baik. Semua tentu perlu dipikirkan, mulai dari  judul acara, tempat, poster, susunan acara sampai hidangan makan siang. Bahkan ukuran dan penempatan logo pun perlu diskusi berhari-hari. Sementara waktu yang ada begitu terbatas, pertemuan fisik pun terkendala jarak, lokasi CIPG, Puskakom UI, dan KSI pun tak berdekatan.

Menyiasati berbagai tantangan itu, diskusi lewat dunia maya pun dibuat makin intens, antara lain lewat Skype dan Whatsapp.Tempat untuk acara segera ditentukan, demikian pula konsepnya. Semua menyumbangkan sumber daya dan terlibat langsung memastikan segala rincian acara tak terlupa atau ditelantarkan. KSI mengurus negosiasi tempat acara, perlengkapan, hingga pembawa acaranya. Ringkasan materi acara hingga siaran pers ditanggung Puskakom UI. CIPG sendiri memfasilitasi live streaming saat acara. Sementara, Global Development Network (GDN), yang mendanai riset tersebut bertanggung jawab atas narasumber dan akomodasi, dibantu CIPG dan Puskakom UI.

Puncaknya kolaborasi ini adalah kehadiran Menteri Ristekdikti M. Nasir yang membuka acara dan menyatakan dukungannya untuk memperbaiki nasib riset dan periset di negeri ini. Misi berhasil. Orang bilang sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Namun kali ini rasanya bahkan melampaui dua tiga pulau dalam sekali dayung.

Kontribusi KSI bukan hanya terasa dalam penyelenggaraan acara, tetapi juga dalam hal substansi. Ulasan terhadap isi laporan misalnya dipersiapkan dengan seksama. Dalam hal ini pemahaman mengenai masalah dunia riset dan kebijakan tercermin dalam komentar yang telah diberikan. Mitra KSI yang mengerjakan riset serupa juga berkontribusi dalam memperkaya temuan mengenai hambatan riset di perguruan tinggi. Dukungan juga diperluas sampai ke proses penerjemahan laporan ke dalam bahasa Indonesia.

Alih-alih berhenti di LIPI, kolaborasi ini terus bergulir ke berbagai pertemuan tindak lanjut. Hanya satu bulan setelah riset diluncurkan, kemitraan ini merapat ke Kemenristekdikti untuk menyampaikan hasil riset dan mengupayakan perbaikan kebijakan berbasis data tersebut. Isu SDM riset dan pendanaan riset menjadi salah satu topik utama yang disasar kemitraan ini. Tindak lanjut riset tersebut menjadi tolok ukur dedikasi CIPG dan KSI untuk bersama menghidupi sektor pengetahuan. Jika berhasil menginisiasi perubahan kebijakan, maka cita-cita untuk mendorong kebijakan berbasis data mulai dapat terwujud.

Rangkaian kegiatan di atas baru merupakan awal mengingat banyaknya isu yang perlu dicermati. CIPG sendiri masih menyimpan segudang rencana untuk memperbaiki sektor pengetahuan dan rasa-rasanya tidak mungkin bertarung sendirian di dalam area tersebut. Ke depan kemitraan ini berlanjut untuk membahas perbaikan sistem riset dan pendidikan tinggi di Indonesia, utamanya soal sumber daya manusia dalam pendidikan tinggi dan kebijakan pendukungnya.

Konkretnya CIPG menjadi mitra konsultasi lantaran penelitinya yang menjadi konsultan terkait kebijakan sumber daya manusia dalam riset dan pendidikan tinggi. Data dan pengetahuan yang dimiliki CIPG dimaksimalkan untuk memberikan rekomendasi terkait perbaikan kondisi dosen dan peneliti di Indonesia. Juga untuk isu terkait Science and Techno Park, agenda riset dan pendanaan riset nasional. Kemitraan ini adalah bukti nyata untuk mengintervensi kebijakan dengan menggunakan data.

Kehadiran lembaga dengan komitmen yang sama menambah keyakinan untuk terus berkiprah. Mengetahui adanya aktor lain yang berkomitmen untuk memperbaiki sektor pengetahuan memberi dukungan moral bagi siapapun yang berkecimpung di dalamnya. KSI telah menjadi mitra yang nyata dalam mewujudkan komitmen untuk memperbaiki sektor pengetahuan. Semoga saja kemitraan ini berkelanjutan, sebagaimana komitmennya.

Fajri Siregar dan Klara Esti

Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG)

[1] Sebelum digabung dengan Dirjen Dikti (Direktorat JenderalPendidikan Tinggi) pada 2015.

[2]https://www.ksi-indonesia.org/ksi/in/news/detail/pembelajaran-agenda-riset-nasional-2010-2014

  • Bagikan: