Bersuara untuk Mereka yang Didiskriminasi

Semakin sering cerita tentang kehidupan anak dengan HIV dibagikan, semakin hadir pula mereka di ruang baca masyarakat awam—dan menjadikan warga terinformasi (informed citizen). Kehadiran informed citizen dibutuhkan untuk memperkuat isu anak dengan HIV sebagai agenda publik dan untuk mendesakkan afirmasi terhadap pemenuhan haknya kepada pembuat kebijakan.

Nabil, delapan tahun, tahu di dalam darahnya ada virus yang membuatnya gampang jatuh sakit. Virus itu bernama HIV. Sang nenek memberitahunya suatu kali. Tapi yang tidak ia tahu adalah alasan teman-teman dan orang tua mereka berubah sikap di sekolah.

Suatu hari tak ada lagi yang mengajaknya bermain bola. Sepulang sekolah, para orang tua murid bergegas menjemput anak mereka sambil menatapnya dengan tajam. Nabil tak paham mengapa ia dijauhi. Dua pekan kemudian, atas desakan dua pertiga orang tua murid di SD swasta itu, nenek mengeluarkan Nabil dari sana. Ia pun mencari sekolah baru.

Pendekatan pada pihak sekolah dan orang tua murid bukannya tidak dilakukan. Penyuluhan tentang penularan dan pencegahan HIV sudah diberikan. Namun, stigma dan diskriminasi telanjur membubung. Mereka menjegal hak Nabil belajar di sekolah tersebut.

***

Data Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah pengidap HIV/AIDS pada anak seusia Nabil terus meningkat sejak 2010. Hingga Maret 2016, anak berusia 0-14 tahun yang hidup dengan virus tersebut mencapai lima ribu. Stigma, diskriminasi, dan perhatian negara yang minim membuat mereka semakin rentan. Bukan saja oleh penyakitnya, mereka pun rawan kekerasan, pengabaian, dan penelantaran. Jangankan menyuarakan haknya, mengungkapkan siapa dirinya saja mereka tak berani. Maka, sejumlah orang tua terpaksa berbohong mengenai HIV yang diidap anaknya agar si buah hati tidak dikeluarkan dari sekolah.

Lentera Anak Pelangi (LAP), salah satu program pengabdian masyarakat di bawah Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya, merespons kealpaan program penanggulangan dan pengurangan dampak buruk HIV/AIDS pada anak di DKI Jakarta. Sejak 2009, LAP mengupayakan agar anak seperti Nabil memperoleh jaminan dari negara untuk pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.  Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, setiap anak berhak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan.[1]

LAP mengedukasi publik untuk menjangkau audiens dari kampus, perusahaan, dan sekolah dengan pengantar dasar HIV/AIDS, Anak dengan HIV dan Diskriminasi terhadap Orang dengan HIV. Selain itu, LAP juga mengadvokasi akses anak dengan HIV terhadap obat antiretroviral (ARV) yang dibutuhkan untuk menekan perkembangan virus HIV serta layanan kesehatan yang lebih baik terhadap beberapa rumah sakit dan puskesmas. Hingga September 2016, ada 96 anak dengan HIV yang dilayani oleh LAP.

Lembaga ini tidak menemui kesulitan dalam menyuarakan hak anak dengan HIV. Bagi LAP, tantangan terbesarnya adalah memperjuangkan pemenuhan hak mereka.[2] Jumlahnya yang hanya tiga persen dari sekitar 190 ribu orang dengan HIV di Indonesia membuat perhatian pemerintah terhadap mereka nyaris tidak ada.

Sebelum diskriminasi terjadi pada anak dengan HIV/AIDS, LAP sebenarnya sudah berusaha mencegah. Organisasi ini melakukan kampanye, penyuluhan, dan menulis di media. Namun, LAP tidak memiliki standar strategi advokasi, edukasi, dan komunikasi dalam membela anak-anak tersebut dari diskriminasi.

Hingga datanglah tawaran dari Knowledge Sector Initiative (KSI) untuk melakukan advokasi dengan cara lain. Pada 2014, KSI menggelar lokakarya mengenai penulisan populer, branding lembaga, hingga penggunaan infografis dalam penyajian data supaya topik berat mudah dipahami oleh awam. Melalui tulisan populer, kasus yang dialami Nabil dapat disiarkan di halaman opini media cetak nasional sekelas Koran Tempo. Dua tulisan opini sudah dihasilkan oleh LAP. Pertama, tentang Hari Anak Nasional 2014,  dan kedua, mengenai diskriminasi yang dialami Rahmat di lingkungan sekolahnya.[3]

Memang, tak serta merta anak dengan HIV kemudian mendapatkan perhatian selayaknya setelah dua tulisan tadi terbit. Paling tidak, isu anak dengan HIV tak hanya berakhir sebagai tulisan pendek di media sosial seperti Facebook. Penyajian kisah dengan cara yang menonjolkan sisi manusiawi dan membumi mendekatkan isu ini dengan pembaca dan menghadirkan isu anak dengan HIV dalam perdebatan masalah sosial di Indonesia. Sebagaimana masalah sosial lain yang luput dari perhatian karena sedikitnya jumlah populasi yang terdampak, isu anak dengan HIV perlu didorong agar dipedulikan publik.

Sepanjang 2015, KSI bekerja sama dengan Tempo Institute menggelar “Forum Nulistik” sebagai wadah konsultasi dan diskusi soal penulisan. Hampir setiap Kamis, topik-topik baru dibahas. Selama dua jam itu mentor-mentor dari Tempo Institute membagikan ilmu. Di luar forum, proses pemberian umpan balik terhadap tulisan yang dikirimkan peserta tetap berlangsung. Pencapaian yang utama bukan lagi dimuatnya tulisan opini di koran nasional, tapi bertambahnya pengetahuan tentang alternatif publikasi. Penulisan ringkasan kajian terhadap kebijakan dan rekomendasinya dapat dituangkan melalui policy brief atau risalah kebijakan. Sementara infografis digunakan untuk menyampaikan data dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami. LAP memanfaatkan semua pilihan publikasi tersebut.

***

Pada masa mendatang, LAP berusaha untuk menjangkau ruang publik yang lebih luas untuk advokasi. Kampanye media sosial LAP akan dibantu oleh sebuah perusahaan digital agency secara pro bono. Pameran foto dan video serta road show ke sejumlah kampus dan mal di Jakarta juga akan dilakukan. LAP pun akan berpartisipasi secara aktif di forum-forum yang terkait dengan isu HIV dan anak secara umum agar isu anak dengan HIV tidak hanya dibahas di forum-forum serupa. Partisipasi dalam konferensi tingkat nasional dan internasional akan diupayakan untuk menyuarakan isu anak dengan HIV di Indonesia.

Sebab itu, isu anak dengan HIV tidak boleh hanya disuarakan pada Hari Pendidikan Nasional, Hari Anak Nasional, atau Hari AIDS Sedunia. Pengalaman pendampingan LAP menjadi suara subversif yang harus dipublikasikan, baik melalui media sosial maupun media konvensional, untuk mengedukasi dan mengadvokasi isu anak dengan HIV. Semakin sering cerita tentang kehidupan anak dengan HIV dibagikan, semakin hadir pula mereka di ruang baca masyarakat awam—dan menjadikan warga terinformasi (informed citizen). Kehadiran informed citizen dibutuhkan untuk memperkuat isu anak dengan HIV sebagai agenda publik dan untuk mendesakkan afirmasi terhadap pemenuhan haknya kepada pembuat kebijakan.

Selayaknya anak-anak Indonesia lain memiliki hak untuk didengar dan berpendapat. Semoga suatu hari mereka bisa bercerita sendiri kepada dunia bahwa mereka ada, bukan untuk ditakuti atau dikasihani, tapi untuk diakui dan dipenuhi haknya. Memelihara mimpi, harapan, dan semangat hidup anak-anak seperti Nabil merupakan kewajiban kita. Mereka adalah masa depan bangsa, dan pengabaian terhadap kebutuhan mereka merupakan kejahatan paling nista (human worst crime).

Kehidupan mereka bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang jika mereka diberi ruang untuk bersuara. Berapa pun jumlah mereka, setiap nyawa sama berharganya. Walaupun bukan bagian dari populasi kunci atau kelompok berisiko tinggi, anak adalah muara dari rantai penularan HIV pada orang dewasa. Jika hanya berfokus pada orang dewasa, anak dengan HIV akan selalu terbungkam.

Natasya Evalyne Sitorus dan Mirisa Hasfaria

Natasya adalah Manajer Advokasi dan Edukasi Lentera Anak Pelangi, Pusat Penelitian HIV (PPH) Unika Atma Jaya. Mirisa adalah Program Officer di Knowledge Sector Initiative

[1] Jaminan terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak juga diatur dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  

[2] Dalam policy brief Antiretroviral (ARV) Untuk Anak dengan HIV di Indonesia: Sudah Siapkah?  Yang dikutip dalam artikel di detik.com berjudul Obat HIV Khusus Anak Masih Sulit Diakses, Terpaksa Pakai Obat Dewasa, disebutkan bahwa masih banyak masalah dalam pemberian ARV khusus anak. Obat ini sebenarnya sudah tersedia, namun sangat terbatas. Dari 80 anak yang menjadi dampingan LAP pada 2015, hanya 24 anak yang mendapat ARV dengan formula khusus anak; 2 anak belum memenuhi kriteria untuk mendapat ARV, 52 anak mendapat ARV dewasa, dan 14 anak mendapat ARV lini kedua. (Lihat https://health.detik.com/read/2015/09/28/190751/3030194/1301/obat-hiv-khusus-anak-masih-sulit-diakses-terpaksa-pakai-obat-dewasa)

[3] Lihat rubrik pendapat Koran Tempo edisi 24 Juli 2014 yang berjudul “Catatan Hari Anak Nasional” di https://koran.tempo.co/konten/2014/07/24/347706/Catatan-Hari-Anak-Nasional dan rubrik pendapat Koran Tempo edisi 4 September 2014 yang judulnya “Diskriminasi terhadap Anak dengan HIV” di https://www.tempo.co/read/kolom/2014/09/04/1614/diskriminasi-terhadap-anak-dengan-hiv

  • Bagikan: