Sewindu Advokasi Puskapol UI: Pasang Surut Mengawal Isu Representasi Politik Perempuan

Hasil Pemilu 2004 yang mengantarkan 65 perempuan ke kursi anggota DPR RI dapat dilihat dari dua sisi mata uang. Pertama yang melihat pencapaian tersebut sebagai titik awal perjuangan untuk mengoreksi ketimpangan representasi politik yang selama puluhan tahun tidak pernah disentuh elite politik di negeri ini. Berbagai opini yang berkembang ketika memperjuangkan isu tersebut ke ranah publik membuka kotak pandora betapa ambigunya kalangan politisi dan publik menyikapi partisipasi politik perempuan. Maka diadopsinya kebijakan afirmatif dalam UU Pemilu untuk pertama kalinya merupakan sebuah kemenangan politik yang sangat strategis untuk memasukkan Indonesia dalam deretan negara-negara di dunia yang menerapkan kebijakan kuota perempuan.

(Only available in Bahasa Indonesia)

Maret 2007, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Khusus Revisi UU Bidang Politik yang diketuai Ganjar Pranowo (Anggota Komisi 2 DPR RI) menerima kelompok perempuan yang dipimpin Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Hari itu kelompok perempuan yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil, lembaga kajian, akademisi, sayap perempuan partai, dan para tokoh/aktivis perempuan menyampaikan naskah rekomendasi  revisi UU Pemilu  khususnya mengenai keterwakilan perempuan.  Naskah rekomendasi yang disampaikan pada forum RDPU itu menjadi penanda keterlibatan aktif Puskapol dalam mengawal advokasi keterwakilan politik perempuan di parlemen.

Sejalan dengan penataan pranata politik pasca Pemilu 2004, desakan melakukan perubahan regulasi pemilu semakin kuat. Pemilu 1999 dianggap berhasil terselenggara dengan lancar walaupun banyak catatan kritis untuk pembenahan. Tonggak penting advokasi gerakan perempuan mendorong agenda tindakan afirmatif—tindakan yang dilakukan untuk membuka kesempatan bagi satu kelompok tertentu (misalnya berdasarkangender) untuk mendapatkan peluang yang setara dengan kelompok lainnya—untuk peningkatan keterwakilan perempuan di legislatif hadir dalam UU Pemilu No.12 tahun 2003. Pemilu 2004 merupakan pemilihan umum pertama yang menerapkan pencalonan perempuan minimal 30% sebagai anggota DPR dan DPRD.  Hasilnya cukup memuaskan sebagai langkah awal: 12% (65 orang) perempuan terpilih sebagai anggota DPR periode 2004-2009.  Dengan hadirnya anggota perempuan di DPR sebagai hasil kebijakan afirmatif, terbukalah peluang gerakan perempuan untuk memperjuangkan agenda regulasi berperspektif gender melalui jejaring dengan perempuan anggota parlemen. 

Keterlibatan Puskapol dalam isu representasi politik perempuan dapat dikatakan berawal dari adanya dukungan The Asia Foundation untuk melakukan riset mengenai evaluasi kebijakan afirmatif dalam menghadapi pemilu berikutnya.  Pemerintah dan DPR telah sepakat melakukan revisi terhadap UU Pemilu No. 12 tahun 2003 untuk mengubah sejumlah isu krusial. Seperti pencalonan, penetapan caleg terpilih, alokasi kursi di daerah pemilihan, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan pasca Pemilu 2004.  Momentum perubahan undang-undang itulah yang digunakan untuk kembali mendorong penguatan tindakan afirmatif karena pengaturan dalam UU No.12 tahun 2003 masih lemah.  Berawal dari riset tersebut, Puskapol akhirnya menggeluti isu representasi politik perempuan sebagai fokus kajian, dan juga mengubah secara mendasar arah kajian Puskapol dalam sepuluh tahun ke depan. Tulisan ini berupaya menapaki perjalanan advokasi Puskapol mengawal isu representasi politik perempuan selama kurang lebih delapan tahun sejak 2007 hingga kini.

2008: Memperkuat Kebijakan Afirmatif

Hasil Pemilu 2004 yang mengantarkan 65 perempuan ke kursi anggota DPR RI dapat dilihat dari dua sisi mata uang.  Pertama yang melihat pencapaian tersebut sebagai titik awal perjuangan untuk mengoreksi ketimpangan representasi politik yang selama puluhan tahun tidak pernah disentuh elite politik di negeri ini.  Berbagai opini yang berkembang ketika memperjuangkan isu tersebut ke ranah publik membuka kotak pandora betapa ambigunya kalangan politisi dan publik menyikapi partisipasi politik perempuan.  Maka diadopsinya kebijakan afirmatif dalam UU Pemilu untuk pertama kalinya merupakan sebuah kemenangan politik yang sangat strategis untuk memasukkan Indonesia dalam deretan negara-negara di dunia yang menerapkan kebijakan kuota perempuan.

Di sisi lain, lolosnya kebijakan afirmatif dalam UU Pemilu pada saat itu dapat dibaca secara kritis sebagai isu yang dianggap ‘tidak substansial’ oleh para politisi.  Hal itu ditandai dari lemahnya kebijakan afirmatif dalam Pasal 65 UU No.12 tahun 2003 dimana partai politik memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pencalonan. Pasal tersebut tidak memiliki konsekuensi sanksi apapun, dan lebih merupakan himbauan agar partai politik peserta pemilu dalam menyusun daftar calon untuk memperhatikan keterwakilan perempuan.  Data Puskapol mencatat sebagian besar partai politik peserta pemilu 2004 mencalonkan 30%  perempuan, bahkan ada partai yang mencalonkan lebih dari 30%. Tetapi umumnya partai politik yang mencalonkan perempuan lebih 30% adalah partai politik baru. Sedangkan partai-partai politik yang lama, termasuk peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999, tidak memenuhi ketentuan Pasal 65 tersebut.  Di antaranya adalah PDI Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, dan PPP, dimana ketiganya merupakan partai politik yang sudah berkiprah sejak Orde Baru.

Catatan lainnya adalah caleg perempuan umumnya ditempatkan pada urutan bawah, misalnya mayoritas di urutan ke-3, 4, 5 dan seterusnya. Sehingga peluang keterpilihannya pun kecil, jika dilihat penetapan caleg terpilih yaitu dengan perolehan suara mencapai 100% Bilangan Pembagi Pemilih atau berdasarkan nomor urut jika tidak ada caleg yang meraih aturan tersebut.  Data Puskapol menunjukkan bahwa hampir semua caleg perempuan yang terpilih berada di nomor urut 1 atau 2, dan di daerah pemilihan yang merupakan kantong suara partai.

Evaluasi hasil Pemilu 2004 tersebut memberikan basis argumentasi untuk memperkuat kebijakan afirmatif yang harus didesakkan pada pembahasan revisi UU Pemilu menjelang pelaksanaan pemilu 2004.  Pada fase ini, Puskapol melakukan kajian dan simulasi keterpilihan perempuan yang berbasis data hasil pemilu 2004.  Kajian tersebut menghasilkan naskah rekomendasi kebijakan afirmatif yang dibahas secara intensif dengan sejumlah kelompok perempuan.  Puskapol juga menghasilkan naskah rekomendasi untuk partai politik dalam mempersiapkan pencalonan perempuan melalui simulasi perolehan suara partai dan caleg pada Pemilu 2004 sehingga perempuan partai bisa menetapkan target perolehan kursi perempuan pada pemilu berikutnya. 

Strategi advokasi pun ditetapkan, berbasis pada naskah rekomendasi kebijakan afirmatif yang dihasilkan dari riset. Naskah rekomendasi Puskapol menjadi alat advokasi gerakan perempuan untuk memperkuat substansi kebijakan. Pesan advokasi pun seragam yaitu memperkuat kebijakan afirmatif: pencalonan minimal 30% dan penempatan caleg perempuan dalam daftar calon.  Penempatan caleg perempuan dalam daftar calon menjadi bentuk tindakan afirmatif untuk meningkatkan peluang keterpilihan, dikombinasikan dengan sistem proporsional terbuka melalui suara terbanyak minimal 30% dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Jika pada Pemilu 2004 caleg terpilih harus mencapai 100% BPP atau nomor urut, maka usulan revisinya adalah caleg terpilih mencapai 30% BPP atau nomor urut.  Hal ini untuk mengakomodir suara pemilih dan ketetapan partai sehingga ada ruang partisipasi pemilih dalam menentukan siapa wakilnya.

Detik-detik diambilnya keputusan Pansus RUU Pemilu terkait kebijakan afirmatif dilakukan dalam suasana yang cukup dramatis.  Untuk pencalonan 30% perempuan praktis tidak ada penolakan karena sudah diatur dalam UU Pemilu sebelumnya. Tetapi usulan penempatan caleg perempuan dalam daftar calon membutuhkan lobi dan adu argumen karena partai merasa keberatan jika otonomi kewewenangannya diatur.   Jejaring gerakan perempuan sangat kuat ketika itu, ditambah keterlibatan Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam ikut mengawal pembahasan pasal tersebut.  Jadi ada tiga kutub kekuatan dalam advokasi penguatan kebijakan afirmatif pada saat itu: perempuan masyarakat sipil, perempuan partai politik dan anggota parlemen, pemerintah (kementerian pemberdayaan perempuan).  Konsolidasi tiga poros kekuatan ini akhirnya berhasil memperkuat kebijakan afirmatif pada UU Pemilu yang baru (No. 10 tahun 2008).    

2009: Dilematis Menyikapi Hasil Pemilu

Penyelenggaraaan Pemilu 2009 diwarnai adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah pasal 214 UU No.10 tahun 2008 mengenai penetapan caleg terpilih. Dari ditentukan berdasarkan perolehan suara minimal 30% BPP atau nomor urut, menjadi suara terbanyak. Putusan MK dikeluarkan pada masa kampanye yaitu empat bulan sebelum hari pemungutan suara, dan setelah KPU menetapkan Daftar Calon Tetap.  Putusan tersebut menyebabkan kegamangan mengenai efektivitas kebijakan afirmatif dalam meningkatkan jumlah caleg perempuan terpilih.

Putusan MK juga berpengaruh terhadap gerakan perempuan khususnya perempuan partai politik yang mengambil sikap sesuai posisi partai politiknya.  Partai-partai politik yang sejak pembahasan UU pemilu mendukung suara terbanyak tentu menyambut baik putusan MK, dan hal tersebut mencederai kebersamaan dalam gerakan perempuan yang berpandangan bahwa putusan MK bertentangan dengan desain tindakan afirmatif dalam UU Pemilu.  Puskapol bersama kelompok perempuan menyikapinya dengan membuat konferensi pers untuk merespons putusan MK yang tidak menggambarkan niat pembentuk undang-undang secara keseluruhan.  Tetapi ibarat ‘nasi telah menjadi bubur’, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum lain untuk mengajukan keberatan.

Hasil Pemilu 2009 ternyata mengejutkan banyak pihak.  Muncul partai politik baru sebagai pemenang pemilu yaitu Partai Demokrat, sejalan dengan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pendiri partai tersebut dalam merebut jabatan presiden periode kedua.  Selain itu, jumlah caleg perempuan terpilih menembus angka tertinggi sepanjang sejarah yaitu 103 perempuan (18%). Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu juga berhasil mendudukkan anggota perempuan terbanyak di DPR. Hasil tersebut tentu menjadi catatan penting bagi gerakan perempuan.

Dalam menyikapi hasil pemilu 2009 tersebut, Puskapol melakukan riset dan mempublikasikannya dalam sebuah seminar. Ada beberapa kesimpulan: (1) tren caleg keterpilihan perempuan di nasional dan lokal menunjukkan kondisi tidak konsisten; (2) kombinasi berbagai faktor dalam mempengaruhi keterpilihan caleg perempuan; (3) kemenangan Partai Demokrat secara dramatis—perolehan suara naik 300% dibanding hasil Pemilu 2004—meningkatkan peluang terpilihnya caleg perempuan; (4) latar belakang caleg perempuan terpilih diwarnai oleh hubungan kekerabatan dengan elite politik.  Kesimpulan Puskapol saat itu sangat kritis yaitu kebijakan afirmatif masih sebatas administratif dan digunakan untuk kepentingan partai politik dalam memenangkan kursi. Dinasti politik mulai mewarnai keterpilihan perempuan sebagai anggota DPR dan DPRD.

2010: ‘Menarik Diri’ untuk Strategi Baru

Setelah melalui dua kali pemilu, kebijakan afirmatif perempuan berada di titik persimpangan. Di satu sisi, perempuan berpolitik sudah menjadi keniscayaan dan kalangan partai politik tidak lagi terlalu resisten dengan isu itu. Tetapi gagasan tindakan afirmatif perempuan untuk mengoreksi ketimpangan representasi perempuan baik dalam jumlah maupun kebijakan masih jauh dari harapan.  Pembelajaran dua kali pemilu memperlihatkan resistensi partai politik terhadap afirmatif berkurang disebabkan partai semakin didominasi kepentingan elite yang melihat pencalonan perempuan untuk mengejar target suara. Apalagi sejak ada pemberlakuan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) untuk kursi DPR, persaingan antar partai politik semakin ketat. Seleksi caleg pun, termasuk perempuan, lebih didasari kepentingan tersebut.

Secara publik, kampanye pilih perempuan semakin sulit memperoleh tanggapan masyarakat karena promosi perempuan politik belum memperlihatkan perbedaan signifikan bagi kepentingan mereka.  Sementara itu reformasi partai politik sebagai infrastruktur utama peningkatan representasi politik perempuan masih jalan di tempat.  UU Partai Politik masih belum mengalami revisi sejak tahun 2002, padahal perkembangan politik menuntut penguatan kelembagaan partai politik yang lebih demokratis.  

Elemen-elemen dalam gerakan politik perempuan pun mengalami perubahan posisi dalam menyikapi perkembangan politik. Gejala menguatnya oligarki elite di tubuh partai politik, dan konsolidasi elite politik dalam mengeruk sumber daya politik, memengaruhi gerakan masyarakat sipil secara keseluruhan. Berbagai isu krusial seperti korupsi dan hak asasi manusia membuat gerakan masyarakat sipi harus memiliki daya tahan yang panjang dalam menghadapinya.  Sementara itu, strategi diaspora politik yang dijalankan aktivis masyarakat sipil juga menghadapi dilema ketika mereka harus ‘melayani’ kepentingan kelompok elite di partainya jika ingin terus bertahan.  Alih-alih peningkatan jumlah perempuan di DPR menambah regulasi pro kepentingan perempuan dan anak, yang terjadi justru rendahnya kinerja Dewan dalam menghasilkan kebijakan.  Isu korupsi politik pun membayangi yang dianggap dampak dari penerapan suara terbanyak pada Pemilu 2009.

Di tengah situasi dilematis tersebut, Puskapol memutuskan untuk melakukan refleksi kritis dengan mengkaji lagi secara serius isu representasi.  Strategi afirmatif dianggap ‘basi’ tetapi tujuan belum tercapai.  Masyarakat makin pragmatis dalam pilihan politiknya. Sementara di tingkat lokal semakin sulit menarik minat perempuan untuk berpartai politik dan menjadi caleg. Puskapol pun kemudian ‘menarik diri’ dari advokasi kebijakan afirmatif, dengan tujuan menghasilkan kajian komprehensif untuk merumuskan strategi baru yang bersifat jangka panjang.  Sikap yang diambil ini bukannya tanpa resiko.  Puskapol dianggap tidak lagi mendukung isu kebijakan afirmatif, dan lebih bersikap pasif dalam mengawal isu ini pada tataran regulasi. 

Maka dapat dikatakan sepanjang 2010 hingga menjelang 2014, isu perempuan dan politik relatif ‘sepi’ dari kajian dan advokasi.  Namun sisi positifnya adalah mulai tumbuh kesadaran untuk melakukan advokasi berbasis riset di kalangan organisasi perempuan, dan hal itu sangat baik dalam mengangkat kasus-kasus dengan perspektif yang beragam.

2012: Partisipasi Politik Warga

Kesempatan melakukan penataan kajian dan pembenahan kelembagaan hadir ketika Puskapol terpilih sebagai mitra Sektor Pengetahuan (Knowledge Sector Initiative atau KSI) pada 2012. Dana inti untuk penguatan kelembagaan produksi pengetahuan digunakan Puskapol merancang rencana strategis (Renstra) yang baru pertama kalinya dilakukan. Dengan melibatkan para staf pengajar Departemen Ilmu Politik sebagai induk Puskapol, dirumuskan analisa kelemahan, kekuatan, tantangan, dan peluang Puskapol ke depan, termasuk membenahi struktur organisasi untuk mewadahi program selama kurun waktu 4 tahun ke depan. Maka pada pertengahan 2012, Puskapol resmi memiliki Rencana Strategis 2012-2016 yang berisi visi, misi, tujuan, program dan strategi organisasi yang menjadi panduan pengelola dalam menjalankan lembaga.

Visi Puskapol yang dirumuskan dalam Renstra adalah mewujudkan tata kelola politik yang demokratis, adil, dan setara (populer dengan singkatan TKP DAS).  Visi TKP DAS membimbing Puskapol dalam menetapkan fokus kajian dan isu advokasi, termasuk representasi politik perempuan.  Puskapol memetakan fokus kajian atas dua klaster riset yaitu representasi politik dan desentralisasi politik.  Dua klaster riset ini dianggap paling tepat dan strategis dijalankan Puskapol yang selama ini telah melakukan riset untuk tema-tema tersebut.  Selain itu persinggungan tema antara dua klaster riset tersebut sangat dekat. Misalnya dalam isu representasi politik perempuan, kajian yang dilakukan juga menyentuh aspek politik lokal sehingga saling terkait.

Berdasarkan refleksi pasca Pemilu 2009 dan perkembangan politik nasional dan lokal, pemilihan kepala daerah secara langsung, serta dikuatkan visi TKP DAS, Puskapol meneguhkan arah riset dan advokasi pada penguatan partisipasi politik warga.  Perbaikan representasi politik melalui perubahan regulasi telah ditempuh sejak 1999 hingga berakhirnya pemilu 2009, dan hasilnya masih pada tataran prosedural.  Termasuk di dalamnya adalah perbaikan representasi politik perempuan yang mengusung tindakan afirmatif masih sebatas prosedural, dan dinikmati oleh partai politik.  Kajian Puskapol pada 2012 yang dipublikasikan dalam buku Paradoks Representasi Politik Perempuan antara lain menyimpulkan representasi politik perempuan masih terpenjara oleh kepentingan partai politik. Di sisi lain, perjuangan representasi perempuan sejatinya berpihak pada kepentingan marginalitas yang terpinggirkan dalam proses politik. Ruang itu yang justru tertutup dalam mekanisme internal partai politik.

Alih-alih bertarung dalam gagasan reformasi internal partai politik yang selalu dihadang oleh elite partai politik, ranah lain yang perlu dikuatkan adalah partisipasi politik warga. Puskapol kemudian menyuarakan gagasan ini dalam berbagai forum berbagi pengetahuan, melakukan riset dimana hasil riset diolah menjadi produk publikasi yang bisa diakses publik secara mudah, dan juga diolah dalam bentuk modul pelatihan untuk diujicobakan pada kelompok-kelompok masyarakat.   Advokasi Puskapol dalam isu representasi politik perempuan tidak lagi berfokus pada regulasi atau kebijakan, tetapi memperkuat partisipasi politik perempuan terutama di tingkat lokal (desa).

2016: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan

Pada Maret 2016, untuk memberikan kesimpulan akhir dari perjalanan advokasi kebijakan afirmatif selama 8 tahun ini, Puskapol meluncurkan refleksi dan gagasan ke dalam sebuah Peta Jalan Representasi Politik Perempuan, yang didiskusikan dengan sejumlah aktivis/organisasi perempuan.  Setelah melakukan kajian dan menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan,  Puskapol mencatat ada kemajuan representasi politik perempuan, misalnya dilihat dari hadirnya legislasi ataupun diskursus tentang kesetaraan dan keadilangender, serta meningkatnya jumlah perempuan di legislatif.  Namun kemajuan itu belum sepenuhnya menghasilkan perbaikan substantif dari kualitas demokrasi yang mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan. Bahkan dalam capaian/kemajuan itu ternyata ditemukan pula sejumlah paradoks.

Perubahan kebijakan untuk mendorong peningkatan representasi politik perempuan, yang dimulai sejak 2004telah menghasilkan kondisi kesetaraan gender di beberapa lini.  Hal-hal yang diidentifikasi sebagai telah terciptanya suatu kondisi kesetaraan gender adalah: (1) terbukanya akses untuk berkompetisi secara setara; dan (2) tersedianya regulasi nasional yang mendukung kesetaraan berbasis gender

Namun paradoksnya adalah tidak diikuti dengan perubahan sikap pada level negara, institusi politik, dan masyarakat sehingga kesetaraan lebih dimanfaatkan sebagai ruang merebut posisi politik namun belum sampai pada mengoreksi ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang berakibat pada ketimpangan mendapatkan manfaat dari alokasi sumber daya yang ada.  Situasi paradoksnya adalah kesetaraan akses untuk berkompetisi telah dibuka namun perempuan yang hadir (atau masuk) dalam politik belum sebagai subjek yang otonom dalam keputusan politik yang dibuatnya.

Penutup

Pengalaman sewindu mengawal isu representasi politik perempuan memberikan pembelajaran penting dalam beberapa aspek.  Pertama, konsolidasi gerakan koalisi dapat dilakukan melalui produksi pengetahuan yang diolah dan diseminasi sejalan dengan kebutuhan advokasi. Harus ada ruang mengadu gagasan di antara anggota koalisi, tetapi pesan advokasi yang fundamental harus digariskan secara tepat sehingga ada basis argumentasi yang jelas.

Hal kedua adalah gerakan perempuan dalam isu representasi politik mampu mempertemukan berbagai elemen kunci, dari spektrum masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan politisi.  Kesamaan kepentingan pada satu titik dapat mempertemukan berbagai gagasan dan gerak langkah dalam satu kesatuan aksi.  Barangkali hanya gerakan perempuan dalam mengusung isu representasi politik perempuan yang bisa melintasi banyak isu dan kepentingan, termasuk relasi dengan kalangan partai politik.  Tetapi ancaman perpecahan seringkali sulit dihindari ketika ada kepentingan politik yang bermain.  Bisa jadi perpecahan itu tidak muncul ke permukaan karena saling menjaga diri namun hasil advokasi akhirnya sulit dicapai.

Terakhir adalah kejelasan sikap lembaga ketika mengusung isu dan bergabung dalam koalisi sangat penting. Harus ada yang berani menentukan sikap bahwa strategi advokasi telah usang, dan harus dicari strategi baru untuk memperluas dukungan.  Pada satu titik, kebutuhan Puskapol untuk menata fokus kajian dan advokasi didorong oleh sudah mampatnya gagasan koalisi dalam mengusung isu representasi politik perempuan. Sehingga perlu ada refleksi dan kontemplasi agar isu representasi politik perempuan dapat terus bergulir merespons situasi dan kondisi yang ada.

Sri Budi Eko Wardani

Direktur Eksekutif, Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

  • Bagikan: