Kaji Tindak: Komitmen Pada Golongan Lemah

Meneruskan tradisi keilmuan dan keberpihakan Sajogyo, lembaga ini aktif menggarap riset pada tema-tema yang dekat dengan kemiskinan perdesaan, yaitu agraria, peran perempuan, dan gejala kemiskinan struktural. Seluruh riset digarap dengan pendekatan yang sangat diyakini Sajogyo pada jamannya yaitu pemecahan masalah secara partisipatif. Dengan pendekatan ini, Sajogyo Institute mencoba menjadikan kegiatan keilmuan sebagai misi kemanusiaan, mendongkrak kegiatan penelitian agar bergelut langsung dan terlibat dalam persoalan sosial yang nyata, dan mendorong pelibatan warga perdesaan sebagai kunci pengetahuan dan perubahan.

(Only available in Bahasa Indonesia)

“Masyarakat miskin dan golongan terlemah perdesaan, jika sudah bangkit-bergerak, barulah saat itu pembangunan dimulai”

Sajogyo, 2005

Pengantar

Tidak ada ilmuwan sosial di Indonesia, terutama yang meminati studi-studi pembangunan dan perubahan di perdesaan yang tidak mengenal Sajogyo. Alumnus dan mantan Rektor Institut Pertanian Bogor 1963-1965  ini dikenal sebagai peletak dasar studi-studi sosial-ekonomi perdesaan di Indonesia. Ia dikenal sebagai “sosiolog rakyat kecil” yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji serba-serbi masalah pembangunan dan kemiskinan perdesaan. 

Tapi Sajogyo tak hanya ilmuwan, ia juga aktivis. Tak hanya mengkaji, Sajogyo juga melakukan advokasi. Melalui sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang didirikan bersama kolega-koleganya sejak era 1970-an, Sajogyo aktif mendorong dan memperjuangkan hasil-hasil penelitiannya agar menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan desa. Pergaulan keilmuannya yang demikian itu telah membuat Sajogyo memiliki pandangan unik tentang riset dan aksi-aksi pembangunan. Seperti tercermin dalam kutipan pernyataannya di atas, bagi Sajogyo sebuah penelitian harus bisa membangkitkan dan menggerakkan mereka yang terlemah di perdesaan sebab di situlah terkandung intisari pembangunan.

Kaji Tindak: Spirit Keilmuan dan Aktivisme Sajogyo (Institute)

Spirit keilmuan dan keberpihakan Sajogyo inilah yang pada tahun 2005 telah mengilhami sejumlah kolega, murid dan pengagumnya mendirikan Sajogyo Institute. Para pendiri lembaga ini berpandangan bahwa situasi masyarakat perdesaan di Indonesia pada tahun-tahun itu masih dibelenggu kemiskinan, mirip dengan temuan-temuan riset Sajogyo sampai dekade 1990-an. Sementara itu tidak banyak kaum intelektual yang memberikan cukup perhatian dan pemihakan yang jelas terhadap nasib mereka.

Meneruskan tradisi keilmuan dan keberpihakan Sajogyo, lembaga ini aktif menggarap riset pada tema-tema yang dekat dengan kemiskinan perdesaan, yaitu agraria, peran perempuan, dan gejala kemiskinan struktural. Seluruh riset digarap dengan pendekatan yang sangat diyakini Sajogyo pada jamannya yaitu pemecahan masalah secara partisipatif. Dengan pendekatan ini, Sajogyo Institute mencoba menjadikan kegiatan keilmuan sebagai misi kemanusiaan, mendongkrak kegiatan penelitian agar bergelut langsung dan terlibat dalam persoalan sosial yang nyata, dan mendorong pelibatan warga perdesaan sebagai kunci pengetahuan dan perubahan. Melalui pendekatan ini, Sajogyo Institute menegaskan bahwa hasil riset bukanlah wacana melainkan aksi-aksi perubahan, dan peneliti bukan pengamat, penonton atau komentator masalah-masalah sosial, melainkan pelaku perubahan.

Pendekatan ini dipilih bukan tanpa alasan. Para pegiat Sajogyo Instutute meyakini bahwa daur pengetahuan selalu berhubungan erat dengan daur kekuasaan. Selama ini kepercayaan diri masyarakat desa dihantam berbagai “diskursus pembangunan”, yang sesungguhnya sebangun dengan “diskursus pemberadaban” pada masa kolonial. Melalui diskursus pembangunan, pemerintahan pasca kolonial menaruh arah perubahan pada kehendak kekuasaan yang digenggamnya sendiri. Dalam relasi yang demikian, masyarakat hanya diperlakukan sebagai objek dan sebaliknya, pemerintah beserta pemilik modal adalah subjek perubahan.

Dalam diskursus pembangunan warga perdesaan dianggap belum “berdaya” atas dirinya sendiri, sebuah anggapan yang bertentangan dengan kenyataan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sesungguhnya digerakkan dan berkaki sepenuhnya di perdesaan. Dalam praktik, diskursus pembangunan inilah yang menghancurkan pengetahuan dan kepercayaan diri masyarakat perdesaan atas ruang hidupnya sendiri. Diskursus dan ilmu tentang pembangunan telah menjadi pembenar bagi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah dan pemilik modal.

Dengan pendekatan partisipatif, Sajogyo Institute ingin memposisikan warga desa sebagai subjek perubahan bersama dengan pihak-pihak yang sepadan kerangka pandangnya. Perubahan oleh warga desa berlangsung dengan segenap daur pengetahuannya atas ruang hidup bersama yang riil dan konkrit, bukan melalui daur diskursus yang melenakan, menggiring dan mengelabui yang berasal dari kekuasaan. Sajogyo Institute ingin memposisikan dirinya hanya sebagai kawan belajar bersama, sekaligus bertindak setara bagi golongan masyarakat terlemah di perdesaan. Bagi Sajogyo Institute, peneliti bukan profesi dengan selubung kuasa pengetahuan dan modal  atas warga desa. Peneliti hanyalah terminologi administratif semata yang memiliki posisi setara dengan warga desa dalam dunia yang nyata.

Sadar Berubah di Tengah Gelombang

Begitulah. Dengan pendekatan yang diyakininya, Sajogyo Institute terus berupaya menekuni riset-riset aksi partisipatif bertema agraria, peran perempuan, dan kemiskinan struktural. Namun, mendekati tahun-tahun 2011/2012 dukungan lembaga-lembaga donor pada riset partisipatif semakin mengecil dan banyak berganti haluan pada  soal perubahan kebijakan di level nasional.

Perubahan orientasi lembaga donor ini cukup mengguncang Sajogyo Institute. Berhadapan dengan gelombang wacana dan isu kebijakan di level nasional ini membuat Sajogyo Institute tak selalu bisa mengawal keyakinan dan tradisi yang tengah dibangunnya sendiri. Selama tiga tahun (2012-2015), lembaga ini terseret mengurusi isu-isu nasional dan pelan-pelan terseret meninggalkan kerja aksi langsung bersama masyarakat paling terpinggir di perdesaan. Dalam kurun waktu tiga tahun  antara 2012-2015 Sajogyo Institute nyaris hanya mampu mengerjakan satu riset aksi partisipatif di Kepulauan Maluku.

Meskipun isu kebijakan di tingkat nasional tetap penting diperjuangkan dan bukan barang haram, tetapi perubahan ini  menggelisahkan sebagian besar pegiat Sajogyo Institute. Jumlah periset aktif Sajogyo Institute yang hanya 15 orang memang tidaklah cukup untuk mendukung kegiatan-kegiatan di level nasional sekaligus tetap berkaki pada kerja aksi bersama golongan lemah di perdesaan. Dua sayap kerja ini tentu membutuhkan dukungan personel relatif besar. Terlalu menekuni isu-isu kebijakan di level nasional saja tanpa adanya daur belajar bersama golongan lemah secara riil, menjadi inkonsisten dengan visi riset dan aktivisme yang diimpikan Sajogyo Institute.

Kegelisahan dan kesadaran inilah yang kemudian mendorong Dewan Pembina bersama Badan Eksekutif melakukan refleksi terhadap arah perjalanan Sajogyo Institute. Proses refleksi ini menemukan tiga perubahan penting dalam lembaga, yakni: Pertama, Sajogyo Institute mengalami proses pelemahan dalam mengawal daur riset partisipatif; Kedua,  keterlibatan Sajogyo Institute dalam kegiatan di level nasional tidak menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi perbaikan kondisi struktural golongan lemah perdesaan; Ketiga, perlunya Sajogyo Institute kembali mendudukkan daur pengetahuan dan perubahan sejak dari proses belajar dan bertindak bersama golongan lemah itu sendiri.

Proses refleksi kemudian memutuskan Sajogyo Institute harus membalikkan kemudi, mengembalikan arah kapal agar tidak kehilangan arah perjalanan. Arah perjalanan itu adalah perspektif keilmuan dan aktivisme yang diwariskan almarhum Sajogyo yakni kembali ke desa, mengembangkan riset partisipatif, dan mengawal perubahan bersama-sama masyarakat desa.

“Kembali Ke Barak” Menginternalisasi  Perubahan

Memutar kembali arah kemudi Sajogyo Institute sudah dilakukan oleh Dewan Pembina dan Badan Eksekutif. Bagi sebagian besar pegiat, kembali kepada semangat (spirit) keilmuan dan keberpihakan Sajogyo ibarat tentara kembali ke barak untuk melakukan kalibrasi senjata dan menyusun kembali rencana penyerangan yang lebih jitu. Semua pegiat sepakat menaruh diri masing-masing dalam posisi nol kembali, bersama-sama membongkar, dan merancang ulang daur kerja divisi masing-masing. Kegiatan bongkar-pasang ini dimulai dengan serial “bengkel” dan workshop membahas sistem manajemen, substansi dan visi-misi lembaga. Kegiatan ini berlangsung memasuki pertengahan tahun 2015, memakan waktu hingga empat bulan lebih. Hampir tiap tahapan kegiatan diikuti intensif oleh semua pegiat aktif. Berbagai “bengkel” berlangsung secara marathon, dan di luar itu, pembicaraan dan diskusi-diskusi informal juga terus membesar.

Kegiatan “bengkel” dilakukan untuk membicarakan dan mengevaluasi segala hal menyangkut manajemen dan keorganisasian. Sementara workshop menyangkut tema-tema substantif penelitian agraria, kemiskinan dan perempuan. Tiap putaran bengkel dan workshop menghadirkan para pemrasaran dan narasumber, utamanya dari jaringan belajar Sajogyo Institute, para peneliti senior dengan berbagai fokus dan latar pengalaman belajar. Sementara di luar “bengkel” dan workshop, diskusi informal terus berlanjut, tidak saja menyoal substansi dan manajemen tetapi juga visi misi lembaga dalam suasana yang serba cair.

Proses internalisasi perubahan ini mengkristal menjelang akhir tahun 2015. Saat itu seluruh pegiat Sajogyo Institute seperti sedang berupaya melahirkan diri kembali dengan lebih banyak melihat, berorientasi dan bekerja ke dalam. Supaya proses internalisasi perubahan berlangsung wajar, kepengurusan baru memutuskan untuk tidak terlalu tergesa-gesa mengejar target tertentu di luar sana, namun lebih fokus melakukan reorientasi dan pembenahan mendasar.

Proses-proses pembenahan ke dalam ini mencapai puncaknya pada suatu pertemuan sehari yang sebenarnya tidak formal dan justru tak terencana. Setelah berlelah-lelah dengan serial kegiatan “bengkel” dan workshop beberapa pegiat merasa perlu bicara dari hati ke hati melakukan refleksi atas proses belajar yang dialaminya. Pertemuan tidak formal tapi sangat penting itu berlangsung pada 10 September 2015. Sehari penuh tiap orang mengemukakan pandangan pribadinyanya masing-masing secara bergantian dalam suasana yang intim dan dewasa.

Proses refleksi ini berujung kepada deklarasi perubahan Sajogyo Institute, yang mencakupi dua hal penting. Pertama, Sajogyo Institute harus kembali ke kampung, membangun daur belajar sejak dari kampung sampai pada proses perubahan. Integrasi studi bersama kampung dibangun kembali sampai konsekwensi tindakannya berpengaruh kepada daur kebijakan, dengan memposisikan orang kampung sebagai ujung tombak tindakan (subjek) dan bukan sebagai objek yang diwakili.  Kedua, manajemen Sajogyo Institute harus dibangun secara lentur dan dinamis menyesuaikan diri dengan visinya sebagai lembaga riset dengan pendekatan kaji tindak. Manajemen lembaga harus mampu menjadi mesin yang memperlancar kerja-kerja kaji tindak, bukan menghambatnya.

Geliat pembenahan ini membuat para pegiat lebih bersemangat, karena target tidak ditetapkan dengan ambisius tapi lentur, dan dengan begitu setiap orang merasa diberi kesempatan untuk tumbuh dengan “keapaadaannya”. Tiap orang secara sukarela mengukur dirinya kembali dan mengajukan perannya kembali dalam posisi yang paling realistis dan relevan. Rumah Malabar markas besar Sajogyo Institute, yang mulai sepi di awal tahun 2015 kembali ramai dari hari ke hari menjelang pergantian ke tahun 2016.

Sekolah Kaji Tindak: Pembentukan Karakter Belajar Bersama dan Bertindak Setara

Sajogyo Institute tidak main-main dengan jalan perubahan yang telah dipilihnya. Agar komitmen penelitian dan keberpihakan ini mengakar dalam kinerja dan perilaku peneliti, dengan dukungan Knowledge Sector Initiative, Sajogyo Institute menggelar program pendidikan riset yang disebut sebagai "Sekolah Kaji Tindak” untuk para peneliti muda. Program yang berlangsung selama 4 bulan dan diikuti oleh 15 orang peneliti muda ini diadopsi dari pengalaman Sajogyo Institute mengembangkan program serupa di Kepulauan Maluku.

Metode pendidikan riset di sekolah ini unik dan relatif keras. Misalnya, peneliti muda diharuskan memasak setiap hari, menyapu halaman rumah, mengepel lantai, mengelap jendela, merawat bunga, dan berbagai kegiatan rumah tangga lainnya. Peneliti muda tidak dianjurkan untuk melakukan rapat: misalnya saja rapat menyusun jadwal piket. Hampir tidak ada piket, dan selama proses pendidikan selama 4 bulan itu rapat pun hanya berlangsung dua kali. Metode ini dimaksudkan untuk membangun pemahaman dan karakter bahwa daur belajar dan bertindak berakar dari inisiasi personal yang otentik. Begitu pula kerja tim, semestinya terbentuk dari rangkaian inisiasi ketimbang negosiasi.

Tahapan paling menentukan dalam pendidikan ini adalah selama satu bulan penuh peneliti-peneliti muda ini diharuskan hidup bersama dengan keluarga paling miskin di kampung-kampung dengan dukungan logistik pas-pasan. Tiap peneliti menentukan sendiri lokasi belajarnya, mengurus sendiri segala perizinan dan administrasi dengan payung lembaga, menggali dan mencari sendiri tempat menginap atau orang tua angkat selama di kampung, yang merupakan golongan terlemah di kampung itu, dan seterusnya. Dengan cara ini para peneliti dipaksa untuk mengalami proses belajar luar-dalam, melibatkan hati, tubuh, dan pikiran sepenuhnya. Sebuah proses belajar bersama yang berlangsung setara dan otentik sejak dari proses pengalaman bersama rumah tangga miskin itu sendiri.

Sajogyo Institute meyakini semangat belajar bersama dengan keberpihakan yang jelas itulah prinsip utama kaji tindak. Kaji tindak adalah rangkaian kerja aktual yang bersahaja bersama golongan terlemah. Kerja seperti ini membutuhkan segenap hati, pikiran dan praktik yang orisinal. Bukan semata kerangka kerja mekanistik mesin wacana, yang membutuhkan para peneliti sebagai pesuruh dan kacung gagasan.

Sekolah Kaji Tindak ini sudah melahirkan peneliti-peneliti muda yang memiliki cara kerja, perilaku dan sikap keberpihakan yang kuat . Mereka memberi kesaksian, merasa isi kepalanya seakan dibongkar habis-habisan. Metode ini membuat mereka menyadari seperti benar-benar belajar setelah bersentuhan dan mengalami langsung masalah-masalah nyata keluarga paling miskin.  Sementara pendidikan yang diikuti sejak sekolah dasar hingga kuliah dulu tidak lebih dari  “seolah-olah belajar” dan “seolah-olah berpengetahuan”.

Melalui pengalaman lapangan, para peneliti muda menemukan keterbatasan dirinya sendiri dan menyadari betapa dunia harian adalah medan belajar yang paling mendasar. “Sumpah! Ini keren banget. Aku belum pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Aku benar-benar belajar, belajar banyak. Ini belajar beneran lho. Risetku dulu, gilak! Gak ada apa-apanya”, begitu kesaksian Ganiez Oktaviana, seorang peneliti muda yang memilih lokasi belajar  di sebuah desa di Lebak Selatan.

Metode ini tak hanya mengubah cara berpikir para peneliti muda, tetapi juga mengubah relasi peneliti dan masyarakat miskin yang mereka temani selama proses pendalaman lapangan. Iham , salah seorang peneliti muda yang memilih lokasi belajar di komunitas Sedulur Sikep, Sukolilo Pati mendapatkan komentar positif dari seorang warga; “Sudah banyak sekali peneliti yang datang ke kami. Tapi kamu itu lain, baru kamu yang ngewongke (bahasa Jawa, artinya memanusiakan). Terima kasih!”.

Epilog

Indonesia dengan keberagaman sosial-budaya, kepadatan masalah sosial-ekonomi, dan dinamika politik yang tinggi sesungguhnya adalah gudang penelitian yang sangat menantang dalam perspektif dan pendekatan apapun. Sudah seharusnya di negara ini menjamur berbagai lembaga riset dengan berbagai karakter dan pendekatan yang khas, otentik dan orisinil. Khasanah pengetahuan kita seharusnya sangat kaya sebagaimana kekayaan bahan bakunya. Bukan malah sebaliknya, kaya bahan baku untuk riset tapi miskin metode dan perspektif. Di masa depan KSI-AUSAID bisa berperan besar untuk memberikan dorongan bagi pertumbuhan lembaga-lembaga riset yang beragam dalam fokus dan pendekatan.

Sesuai dengan visinya, Sajogyo Institute akan terus mendorong perluasan medan kaji tindak sampai di ranah kebijakan dengan penekanan pada peran warga kampung dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya sebagai ujung tombak dan dasar-dasar penyusunan kebijakan. Bukankah  pengalaman kongkrit (di perdesaan) tetap saja menjadi guru yang terbaik (baik pembentukan dan ralat kebijakan).

Surya Saluang

Manajer Unit Riset, Sajogyo Institute

  • Bagikan: