Warga desa berkumpul di ruangan. Sebuah layar terpampang di depan. Layar mengisahkan asal usul air mengalir ke desa. Semua penonton dengan serius menyimak cerita. Kisah berakhir, layar padam. Warga desa mulai berdiskusi mengenai film yang baru selesai mereka saksikan.
Pembuka Kisah
Pada masa lalu, orang-orang tua kerap menuturkan kisah kepada generasi yang lebih muda. Pun demikian pula orangtua sering menidurkan anak dengan pengantar sebuah dongeng. Namun, tradisi menuturkan kisah tersebut kini sedikit demi sedikit mulai memudar. Tak banyak yang masih meluangkan waktu untuk menuturkan cerita, lebih sedikit pula yang menyisakan waktu untuk mendengarkan kisah. Hal ini tak hanya terjadi di wilayah perkotaan saja, tetapi juga di wilayah perdesaan. Akibatnya banyak kisah-kisah lokal yang mulai terlupakan. Padahal dalam sebuah kisah lokal tersebut bisa terkandung kearifan-kearifan lokal.
Namun, di antara desa-desa yang sudah mulai menanggalkan budaya tutur, masih terdapat beberapa desa yang memelihara kisah lokal. Salah satunya adalah Desa Pakis di Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Desa Pakis berlokasi di lereng Gunung Ungaran. Kisah di Desa Pakis saling bersilang dengan kisah di desa tetangganya, yakni Desa Peron. Kisah lokal tersebut memiliki kaitan dengan tradisisusuk wangan, yaitu ritual membersihkan air yang rutin digelar setahun sekali di Desa Pakis dan Desa Peron.
Kisah Lokal Desa Pakis dan Desa Peron
Kisah di Desa Pakis dan Desa Peron berkaitan dengan tradisi lokal. Dari anak gunung Ungaran yang disebut Bukit Merangan, Desa Pakis yang berpenduduk 1.230 jiwa itu mendapatkan sumber air melimpah. Sumber air ini juga mengalir ke Desa Peron. Bahkan kedua desa tersebut memiliki kisah yang memiliki keterhubungan mengenai asal mula air mengalir ke kedua desa tersebut. Dikisahkan, pada zaman dahulu, Desa Pakis mengalami kekurangan air. Karena membutuhkan air untuk mengairi pertanian, seorang warga Desa Pakis bernama Kyai Citro Godo berinisiatif untuk mencari sumber air hingga ke hutan. Lama tak jua pulang ke rumah, istri Kyai Citro Godo yang bernama Nyai Ukel, kemudian menyusul ke hutan. Sampai pada akhirnya, lewat kerja keras air berhasil dialirkan ke Desa Pakis. Lalu, air tersebut dialirkan ke Desa Peron yang juga membutuhkan air. Ini terjadi berkat peran Kyai Sabar Iman, leluhur Desa Peron, yang merupakan adik dari Kyai Citro Godo.
Kisah asal mula air tersebut masih hidup di antara warga, baik itu warga Desa Pakis maupun warga Desa Peron. Bahkan, karena leluhur-leluhur kedua desa, yakni Kyai Citro Godo dan Kyai Sabar Iman masih memiliki hubungan kerabat, warga kedua desa dianggap bersaudara. Hingga saat ini tidak ada warga Desa Pakis yang menikah dengan warga Desa Peron, demikian pula sebaliknya. Keterkaitan sejarah asal usul terkait leluhur desa, terlihat dalam upacara susuk wangan. Ritual susuk wangan di Desa Pakis dan Desa Peron selalu melibatkan ritual dua kepala desa yang saling menyiram air.
Tradisi susuk wangan yang rutin digelar setahun sekali tersebut merupakan ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa yang memberikan limpahan air kepada warga desa. Sumber air di Bukit Merangan pun dirawat dengan menjaga hutan di kawasan tersebut. Warga dilarang untuk menebang pohon sembarangan. Selain itu, ada larangan untuk memasuki hutan pada hari-hari tertentu.
Adanya kisah-kisah tersebut berdampak positif pada kelestarian alam di bagian hutan Gunung Ungaran yang berdekatan dengan Desa Pakis dan Desa Peron. Desa Pakis dan Desa Peron memiliki kawasan hutan yang cukup lestari. Gunung Ungaran yang tinggi menjulang mencapai 2.050 meter di atas permukaan laut merupakan daerah resapan air bagi daerah-daerah di sekitarnya, seperti Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang.
Menggali Kisah
Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) menggali kisah lokal tersebut dan menampilkannya kembali dengan media audiovisual. Inovasi penyampaian kisah melalui audiovisual ini bertujuan agar pengetahuan lokal di Desa Pakis dan Desa Peron bisa semakin menguat dan dapat menyebar ke desa-desa lain di sekitarnya.
Untuk mendapatkan kisah itu, Tim BIGS melakukan penelitian dan advokasi yang didukung Knowledge Sector Initiative (KSI), dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan informasi dilakukan dengan menemui narasumber-narasumber yang tak hanya berasal dari desa tempat penelitian, tetapi juga narasumber dari luar desa, seperti tokoh masyarakat di Kecamatan Limbangan yang mengetahui ikhwal cerita yang dituturkan turun temurun.
Tidak mudah untuk memperoleh kisah lokal tersebut. Warga Desa Pakis tidak terbuka menceritakan kisah-kisah yang terdapat di desanya, apalagi kepada orang yang masih asing. Salah satu anggota tim BIGS yang bertempat tinggal di Kecamatan Limbangan menggunakan suatu strategi saat mengumpulkan informasi. Pertemuan pertama hanya memperkenalkan diri dan mengobrol hal-hal umum. Pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, barulah kisah lokal terkait desa dapat tergali. Peneliti sengaja berpakaian seperti yang dikenakan narasumber dan menggunakan bahasa Jawa. Dengan tampil sebagaimana orang lokal dan menggunakan pendekatan budaya setempat, kepercayaan lebih mudah diperoleh.
Membuat Film dari Kisah Lokal
BIGS menggunakan kisah lokal Desa Pakis dan Desa Peron untuk melakukan advokasi konservasi hutan lewat tradisi lokal kepada desa-desa lain. Penggunaan film sebagai alat advokasi baru pertama kali dilakukan. Sebelumnya BIGS lebih banyak melakukan kerja-kerja advokasi kebijakan pada stakeholderkunci pemerintahan. Kali ini yang menjadi kelompok sasaran advokasi adalah komunitas desa. Tentu strategi yang digunakan berbeda.
Film animasi dua dimensi dipilih karena bentuk audiovisual bisa menarik perhatian warga desa sehingga membuat pesan utama dapat tersampaikan. Selain itu, film bisa menghilangkan kesan ‘kekunoan’, sehingga kelompok sasaran dari generasi muda di desa tertarik menonton. Melalui media film, tradisi dalam kisah lokal diharapkan dapat menyebar kembali yang pada akhirnya dapat berdampak pada pelestarian hutan.
Tim berdiskusi intensif mengenai ide cerita yang akan diangkat berdasarkan kisah lokal di Desa Pakis dan Desa Peron. Film animasi difokuskan pada empat unsur pengetahuan lokal hasil temuan penelitian yang membuat hutan di Desa Pakis dan Desa Peron tetap lestari. Berikut keempat unsur pengetahuan lokal:
1) penuturan, yakni kisah perjuangan leluhur desa mengalirkan air;
2) larangan, berupa larangan menebang pohon di hutan, mengambil hasil dari hutan secukupnya serta pantangan untuk memasuki hutan pada hari tertentu;
3) harmonisasi, perilaku yang menyatu dengan alam melalui ritual susuk wangan sebagai sarana pengingat keterkaitan manusia dengan alam;
4) kesepakatan, yakni perjanjian antara petani penggarap lahan dengan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) untuk tidak merusak hutan dengan budaya “rikuh” (malu) jika berperilaku merusak alam.
Mendiskusikan Kisah Lokal
Film animasi hasil penelitian BIGS kemudian dipertunjukkan pada warga desa di 3 kecamatan: Kecamatan Limbangan, Sumowono dan Boja di Kabupaten Kendal, melalui lokakarya desa. Warga desa yang diundang merupakan desa-desa yang berada di dekat Gunung Ungaran, yakni Desa Leban, Pasigitan, Medono, Gonoharjo, Jawisari, Ngesrepbalong, Sriwulan, Pagertoya, Limbangan, Sumber Rahayu, Gondang, Keseneng, Kemawi, Losari, Bumen, Sumowono, Jubelan dan Candi. Warga yang hadir antusias menyimak kisah mengenai keseimbangan alam dan tradisi lokal di Desa Pakis dan Desa Peron.
“Film ini banyak benarnya. Memang ada keterkaitan antara tradisi budaya lokal dan kelestarian hutan,” demikian dikemukakan Teguh, warga Desa Pakis, usai menyaksikan film yang dipertunjukkan. Tapi menurut Teguh, tidak semua warga menjaga hutan. Masih terdapat satu atau dua warga yang membandel karena tetap menebang pohon sembarangan.
Sementara itu Sugiyono, warga Desa Peron, menyambut baik pemutaran film tentang kisah lokal di desanya. Ia mengatakan kisah lokal yang disajikan lewat film bisa menjadi lebih efektif sebagai media untuk meneruskan penuturan kisah lokal kepada anak cucu pada masa sekarang.
Adapun Bambang, dari Perhutani, menyebutkan jika tradisi kelestarian hutan di sekitar Desa Pakis sudah berlangsung turun temurun. Begitu pula larangan untuk memasuki hutan pada hari tertentu tetap ditaati warga desa karena warga desa menghormati aturan tersebut. Hal tersebut memudahkan ketika Perhutani membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Pakis. Keberhasilan menjaga dan melestarikan hutan tidak terlepas dari kesadaran masyarakat sendiri untuk melestarikan hutan.
Kepala Desa Gondang, Yudhi Susanto, mengatakan bahwa ia dapat menangkap sesuatu yang lebih besar yang disampaikan melalui film, yakni pelestarian hutan. Yudhi menyebutkan film animasi ini bisa sebagai sarana untuk mengingatkan adanya masalah dengan Gunung Ungaran yang menjadi sumber air bagi banyak desa di sekitarnya, “Hutan Gunung Ungaran sangat dibutuhkan oleh semua desa, karena sumber air untuk desa berasal dari gunung ini,” kata Yudhi. Pada saat musim kemarau, kebutuhan akan air sangat terasa karena debit air berkurang drastis. Hal ini mengakibatkan warga desa berebut air untuk pertanian mereka.
“Tidak ada pohon besar lagi di bagian selatan (gunung) karena pohon-pohonnya tumbang. Dan di bagian bawahnya sudah ada perkebunan kopi,” kata Yudhi. Tetapi penebangan pohon-pohon dan alih fungsi lahan yang terjadi di Gunung Ungaran pada saat ini juga bukan tanpa alasan.
“Penduduk terus bertambah, sedangkan luas tanah tetap, hal itu berdampak pada eksploitasi hutan,” ungkap Bambang. Inilah yang membuat sebagian penduduk desa menebang pohon karena mereka melihat hanya itu peluang satu-satunya untuk hidup.
Sebenarnya menebang pohon tidaklah menjadi persoalan jika warga yang ingin menebang pohon mengikuti aturan mengenai penebangan pohon di hutan. Berdasarkan kesepakatan para pesanggem atau petani penggarap lahan, menebang pohon diperbolehkan asalkan petani mengganti pohon yang ditebang. Kesepakatannya adalah satu sepuluh: menebang satu harus mengganti sepuluh.
Kisah-kisah di Desa Lain
Desa-desa lain seperti Desa Sriwulan dan Desa Sumber Rahayu di Kecamatan Limbangan pun memiliki kisah lokal. Akan tetapi karena tidak dituturkan, kisah lokal tersebut kurang dikenal oleh masyarakat desa sendiri. Demikian pula tradisi-tradisi lokal, juga terdapat di desa-desa lain dengan nama beragam. Di Desa Jawisari, ada ritual bernama iriban. Ini adalah upacara membersihkan aliran air seperti susuk wangan. Ada lagi tradisi tingkep tandur di Desa Medono. Ritual ini dilakukan agar tanaman milik penduduk bisa selamat sampai bisa dipanen.
Sayangnya, banyak tradisi lokal di desa-desa kini sudah mulai jarang dipraktikkan. Salah satu penyebabnya adalah pandangan-pandangan yang menganggap tradisi lokal sebagai hal yang musyrik; tak sesuai dengan aturan agama. Tokoh Kecamatan Limbangan, Sugriwo Reswardhana, menjelaskan bahwa tradisi-tradisi lokal kini banyak yang terancam oleh kelompok-kelompok garis keras yang menganggap upacara, ritual dan budaya lokal bertentangan dengan ajaran agama.
“Perlahan-lahan tradisi lokal mulai punah,” ucap tokoh masyarakat yang sering dipanggil Mbah Griwo ini. Dengan terkikisnya tradisi lokal berimbas pada terganggunya kelestarian alam. Desa-desa yang tidak memiliki kisah lokal memiliki persoalan dalam menjaga hutan. Ada usulan untuk kembali mengisahkan dongeng-dongeng kepada anak-anak di desa agar kisah-kisah lokal berumur panjang dan hutan juga terselamatkan.
Hal yang disepakati oleh warga desa usai menyaksikan film mengenai kisah lokal dari Desa Pakis dan Desa Peron adalah perlunya menghidupkan kembali ritual-ritual lama yang sudah mulai terlupakan. Inti dari semangat menghidupkan kembali tradisi lokal adalah menjaga keseimbangan agar kelestarian hutan tetap terjaga. Beberapa peserta diskusi mengusulkan agar desa-desa lain belajar kepada Desa Pakis dan Desa Peron dalam hal tradisi memelihara hutan.
Kisah Perubahan
Kini desa tetangga mulai mengikuti jejak Desa Pakis dan Desa Peron. Salah satunya adalah Desa Gondang. Desa Gondang menghidupkan kembali tradisi susuk wangan. Pada bulan Februari 2016 lalu, desa ini menggelar acara “Grebeg Alas Susuk Wangan”. Ratusan warga desa turut terlibat dalam acara ini. Warga desa menyajikan hidangan yang merupakan hasil pertanian dan kebun. Acara ini mengundang berbagaistakeholder dari mulai pemerintah daerah setempat hingga budayawan, tokoh agama, pegiat lingkungan dan akademisi.
Selain ritual membersihkan aliran air dan diskusi masalah lingkungan, ada kegiatan menanam 10 ribu bibit pohon. Bibit-bibit pohon itu ditanam di lereng-lereng gunung bagian barat dan selatan yang mulai gundul serta di sepanjang pinggir jalan desa. Ini merupakan sesuatu yang baru. Kini penanaman pohon menjadi bagian penting karena hutan tempat sumber air mulai gundul. Sumber air harus dipelihara agar air tetap mengalir, ritual dapat bertahan dan kehidupan warga tetap berjalan. Desa Gondang juga melibatkan anak-anak sekolah dalam acara. Mereka membawakan drama dengan tema kerusakan hutan dan upaya penyelamatan hutan dari kerusakan.
Sebelumnya Desa Gondang pun sudah memiliki Peraturan Desa (Perdes) untuk menjaga keseimbangan alam. Perdes tersebut meliputi larangan menebang pohon dan menembak burung dan binatang liar, serta larangan menangkap ikan dengan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat merusak kelestarian sumber daya ikan. Menyusul Desa Gondang, Desa Pakis juga mengeluarkan Perdes tentang konservasi lingkungan. Riset dan film tentang tradisi lokal Desa Pakis dan Peron menguatkan inisiasi Perdes Desa Pakis yang masih dalam tahap perencanaan pada saat riset dilakukan pada 2015 lalu. Kini tradisi turun temurun di Desa Pakis yang menjaga kelestarian alam dan hutan memiliki pijakan hukum. Sehingga, jika ada pelanggaran pada tradisi menjaga hutan dapat ditindak secara hukum.
Dari pengalaman menggunakan media audiovisual untuk advokasi konservasi hutan di desa-desa di sekitar Gunung Ungaran, BIGS belajar mengembangkan cara-cara baru untuk melakukan advokasi. Advokasi yang memanfaatkan media audiovisual, dalam hal ini film, terbukti diterima warga serta pesan utama untuk menjaga kelestarian hutan tersampaikan. Metode-metode yang inovatif akan terus dikembangkan BIGS untuk kerja-kerja advokasi ke depan. Tentunya strategi yang dipilih terlebih dulu disesuaikan dengan kebutuhan, agar efektif dan mencapai sasaran.
Santi Widianti & Ari Nurfadilah
Peneliti, Bandung Institute of Governance Studies (BIGS)