Idealisme Pengelolaan Jurnal Bina Praja

Masalah kian kompleks tatkala peraturan mengharuskan JBP bermigrasi dari jurnal cetak konvensional menjadi jurnal online dengan open journal system (OJS). Infrastruktur belum siap. Alih-alih mengimpikan JBP terindeks di lembaga pengindeks internasional sebagaimana dicita-citakan setiap jurnal, bagi JBP, terbit berkala sesuai jadwal saja sudah merupakan sebuah kemewahan.

Dihadapkan pada kenyataan yang tidak menguntungkan, dengan kewajiban mengelola jurnal ilmiah yang nyaris tumbang, Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri harus ekstra sabar. Pengelolaan yang baik dan benar tidak serta merta mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak. Pengelola lama dan pimpinan seolah ditunggangi kepentingan pribadi. Unsur subyektif tidak pernah menjauh. Idealisme bak mendobrak batas ketidakmungkinan, hanya demi sebuah perubahan.

***

BPP Kemendagri acap dilihat dengan kacamata buram oleh banyak orang. Sumber daya manusia yang ada di dalamnya, tidak pernah tidak, dikaitkan dengan citra buruk sebagai pribadi bermasalah dan terasingkan. Kutukan sebagai lembaga yang sulit berkembang pun, seakan tidak pernah menghilang.

Sebagai lembaga penelitian dan pengembangan, BPP Kemendagri tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia berfungsi sebagai lembaga penelitian, pengkajian, pengembangan, perekayasaan, penerapan, pengoperasian, dan evaluasi setiap kebijakan yang lahir dari Kementerian Dalam Negeri.

Baik buruknya BPP bergantung pada sumber daya peneliti dan produk penelitian dan pengembangan yang dimuat dalam jurnal ilmiah, seberapa produktif peneliti yang ada, dan sejauh mana kualitas jurnal ilmiah yang dikelola. Jika salah satu atau bahkan keduanya tidak ada, jangan harap kutukan dapat disembuhkan. Dalam konteks ini, produk penelitian dan pengembangan yang akan diurai adalah Jurnal Bina Praja (JBP). JBP memuat hasil penelitian terkait pemerintahan dalam negeri, pemerintah pusat maupun daerah, misalnya dalam hal kebijakan yang mengandung unsur kebaruan dan dirasa penting untuk dipublikasikan.

Jauh sebelum kondisi seperti saat ini, JBP sangat memprihatinkan. Buruknya manajemen pengelolaan membuat kualitas JBP berada pada titik nadir. Sekadar asal terakreditasi dengan artikel yang tidak melalui jalur seleksi yang ketat, sudahlah cukup buat JBP. Tim redaksi JBP kala itu sering memasukkan artikel yang tidak sesuai dengan skop jurnal yang dicanangkan. Artikel yang dimuat pun belum memiliki standar karya tulis ilmiah dan gaya selingkung JBP. Tidak jarang dengan gaya penulisan yang tidak memerhatikan standarkarya tulis ilmiah, dan ejaan yang asal-asalan, karya tulis dikembalikan kepada penulis awal.

Kurangnya sosialisasi kerap membuat JBP kewalahan ketika hendak memasuki masa penerbitan. Saat musim terbit, pengelola sibuk mencari cara. Mengumpulkan tujuh buah artikel untuk sekali penerbitan, empat kali dalam setahun, bukanlah perkara gampang. Selain rendahnya kesadaran peneliti untuk menulis, kurangnya promosi dalam menjaring artikel dari luar menjadi penyebabnya.

Masalah kian kompleks tatkala peraturan mengharuskan JBP bermigrasi dari jurnal cetak konvensional menjadi jurnal online dengan open journal system (OJS). Infrastruktur belum siap. Alih-alih mengimpikan JBP terindeks di lembaga pengindeks internasional sebagaimana dicita-citakan setiap jurnal, bagi JBP, terbit berkala sesuai jadwal saja sudah merupakan sebuah kemewahan.

Motivasi Perubahan

Kondisi jurnal ilmiah sebagaimana yang digambarkan di atas senyatanya tidak hanya terjadi di BPP Kemendagri, tetapi juga jurnal-jurnal yang dikelola BPP Daerah. Mukhammad Nurul Furqon, Kepala Sub Bidang Akreditasi Jurnal Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), punya pandangan serupa. Menurutnya, hal tersebut juga terjadi pada pengelolaan jurnal yang ada di kementerian dan lembaga. Menyoroti kualitas jurnal, Furqon memprihatinkan manajemen pengelola. Selain itu, proses akreditasi tidak dilalui dengan baik, dan terkesan “tidak mau repot”, yang dipikirkan adalah jurnal yang dikelolanya bisa lolos akreditasi. Itu saja.

Anggapan demikian dijawab oleh JBP sejak awal 2016. Pengelolaan JBP berangsur membaik sejak mengalami perombakan pengurus pada pengujung 2015 lalu. Sebagai informasi, JBP masih dikelola oleh Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi.

Kendati dikelola oleh Sub Bagian yang kerap dianggap kecil, tidak berarti JBP bertambah kecil. Ketika pengelolaan JBP dialihkan kepada pengelola yang baru beberapa perbaikan terus dilakukan. Perbaikan itu digawangi oleh Moh Ilham A Hamudy dan Niyan Nurin yang bertindak sebagai penyunting artikel, Elpino Windy sebagai penata letak desain grafis, dan indeksasi, Friska Natalia mengelola administrasi, dan Adi Suhendra mengelola teknologi informasi.

Mereka mengarahkan perubahan dengan membuat website JBP agar bisa diakses secara online. Kemudian, pelayanan penerimaan artikel dilakukan secara cepat dan responsif. Kalau dulu, artikel yang masuk bisa berminggu-minggu baru mendapatkan respons. Sekarang, hitungan menit, tim pengelola langsung merespons. Bahkan, dalam hitungan dua tiga hari artikel yang masuk sudah mendapat koreksi dari tim penyunting.

Sebagai bagian dari tim redaksi, Niyan Nurin menyebutkan, kegiatan pada Sub Bagian Perpustakaan, Informasi dan Dokumentasi, khususnya tim redaksi JBP semakin sibuk. Bagian penyunting selalu menerima tidak lebih empat sampai lima buah artikel dengan standar yang bagus setiap hari. Tidak jarang mereka merasa kesulitan menentukan artikel yang lolos untuk ke tahap dewan redaksi. Artikel yang lolos kemudiandikirimkan kepada mitra bestari yang terseleksi. Saat ini JBP mempunyai ada 20 orang mitra bestari, para pakar dari berbagai bidang keilmuan yang karya tulisnya sudah terindeks di jurnal internasional, yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam bidang IT, redaktur juga harus memastikan bahwa OJS tetap bisa diakses oleh publik dan penulis artikel. Bidang IT juga bertugas memastikan OJS anti peretasan.

Mendobrak Dinding Ketidakmungkinan

Di bawah tim pengelola JBP yang baru Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi berupaya mendobrak dinding ketidakmungkinan. Yang terpikir hanya bagaimana JBP bisa berkualitas, tetap terakreditasi, dan bereputasi internasional. Yang disebut terakhir memang bisa dianggap muluk, tetapi itulah yang coba dikejar oleh Tim JBP yang baru. Menurut Kepala Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi, jurnal berkualitas akan memiliki manfaat dan dampak yang besar, tidak hanya untuk peneliti, tetapi juga lembaga.

“Upaya awal dilakukan dengan mempelajari pengelolaan jurnal ilmiah, melalui buku, intenet, dan berkonsultasi langsung kepada pengelola jurnal seperti “Mev Journal” milik LIPI,” kata Ilham menerangkan.Perjuangan terus berlanjut. Ilham sadar dirinya tidak mampu bekerja sendirian. Oleh karenanya perlu dibentuk sebuah tim yang andal untuk menangani JBP.

Di tengah keterbatasan itu, perjuangan JBP bertambah berat. Migrasi jurnal cetak menuju online, tidak serta merta mendapat dukungan. Niyan Nurin menceritakan, perpindahan pengelolaan jurnal mendapat banyak tentangan baik dari pengelola lama, pejabat terkait, bahkan pimpinan BPP. Pengelola lama berdalih kebanyakan daerah belum memiliki akses untuk online, dan jurnal online dianggap belum tepat sasaran.“Selain itu, jurnal online dirasa membatasi langkah para peneliti internal. Apalagi, JBP terbit dalam bahasa Inggris,” ujar Niyan.

Para “pihak” yang “berkepentingan” semakin meradang tatkala terjadi pemangkasan pencetakan jurnal yang semula 1000 eksemplar menjadi hanya 400 eksemplar per edisi. Bisa dibayangkan berapa rupiah “potensi” bancakan uang pencetakan yang hilang.

Jika diperhatikan, dampak luas perbaikan jurnal tidak mendapat respons positif dari pimpinan di BPP. Peraturan yang mewajibkan migrasi jurnal tidak dihiraukan. Kritik pedas kepada pengelola JBP semakin intens. Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi pun jadi bulan-bulanan. Hal itu kemudian diamini oleh pengelola lama yang terang-terangan menentang perubahan. beberapa kali ia melakukan pendekatan kepada staf bahkan pengelola dengan mengerdilkan pengelolaan JBP saat ini.

Buah Perubahan

Beberapa masalah di atas, tidak membuat pengelola menghentikan langkah. Pada Mei 2016, JBP secara online terbit perdana. Berkat promosi besar-besaran di media sosial JBP mampu menjaring puluhan artikel dengan kualitas terbaik. Puncaknya, JBP pun terindeks di lembaga pengindeks internasional seperti google scholar, ISJD, academic resources index, mendeley, dan cross ref.

JBP oleh LIPI, kerap direkomendasikan sebagai jurnal ilmiah yang berubah signifikan, dan tidak sedikit BPP daerah yang mulai berguru. Tetamu daerah ramai berkunjung ke Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi. Terlebih lagi setelah Sub Bagian tersebut membuat Unit Layanan Administrasi (ULA) Publikasi dan Jurnal Ilmiah. Beberapa pengelola jurnal, ada yang datang langsung untuk berkonsultasi pengelolaan. JBP pun menjadi kiblat pengelolaan jurnal BPP Daerah.

Saat semua pencapaian mulai terlihat, dampaknya juga mulai dirasakan, para penentang mulai berbesar hati. Perubahan mulai memperbaiki keadaan. Mereka sadar kehadiran jurnal bereputasi menjadikan BPP Kemendagri sebagai lembaga bereputasi. Selain itu, reputasi para peneliti pun ikut terdongkrak. Sebab artikel mereka bisa dibaca dan dijadikan rujukan.

Menurut Elpino Windy, perubahan pada JBP saat ini telah mengubah paradigma berpikir peneliti internal BPP tentang publikasi ilmiah. “Peneliti menjadi sadar akan pentingnya kualitas tulisan yang memiliki standar yang baik. Dengan karya tulis yang baik itulah, dunia penelitian dan publikasi ilmiah Indonesia semakin terangkat di dunia internasional.” ungkap Elpino.

Pencapaian itu tentu berkat kerja keras tim pengelola dan dukungan berbagai pihak yang bersimpati pada perjuangan JBP. Meski perjuangan belum usai, dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, tim pengelola harus mempersiapkan agar JBP menjadi jurnal bereputasi internasional dan terindeks di beberapa lembaga pengindeks internasional, seperti DOAJ (directory open access journal) dan SCOPUS.

Pengelola JBP wajib meningkatkan kualitas penerbitan. Apatah lagi pada masa mendatang JBP dihadapkan pada beberapa kendala yang bisa menghambat cita-cita. Semakin besar sebuah jurnal, semakin besar pula ongkos pemeliharaannya. OJS akan membutuhkan lebih banyak sumber daya pengelola seperti tenaga teknologi informasi, administrasi, layouter, editor bahasa, dan sebagainya. Hal demikian merupakan tantangan tersendiri bagi pengelola JBP untuk menjaga kualitas dan reputasi JBP.

Dengan terbitnya jurnal yang lebih baik serta diakui di kancah internasional, akan meningkatkan kapasitas peneliti internal, penulis lain di JBP, serta membuat nama lembaga BPP Kemendagri pun semakin dikenal. Atas dasar itulah, sebenarnya tidak ada alasan keberadaan JBP untuk tidak didukung.

Fasilitasi Lembaga Donor

Pada konteks ini, uluran tangan lembaga donor yang concern terhadap kegiatan penelitian dan pengembangan sangat dibutuhkan. Apalagi, pada 2017 anggaran yang diterima oleh Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi cuma separo dari anggaran yang diterima tahun ini. Dengan anggaran hanya Rp 750 juta dan tantangan yang dihadapi pada 2017 tentulah tidak cukup. Pengelolaan jurnal dan peningkatan kapasitas peneliti dalam menulis karya tulis ilmiah menjadi sebuah keniscayaan.

Pengelola JBP ditantang untuk kreatif melakukan kerja sama dengan berbagai pihak. Hal ini senyatanya sudah pernah diinisiasi. Pada April 2016 lalu, misalnya, Sub Bagian Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi menjalin kerja sama dengan lembaga Knowledge Sector Initiative (KSI) dan Tempo Institute untuk meningkatkan kapasitas peneliti dalam penulisan populer. Pengelola JBP patut menggandeng lembaga donor seperti KSI. Diharapkan pula gayung yang diulurkan JBP dapat disambut oleh KSI pada 2017 nanti guna memajukan JBP.

Moh. Ilham A. Hamudy

Sub Bagian Perpustakaan, Informasi dan Dokumentasi Balitbang Kemendagri

  • Bagikan: