“Saya tak mengira kalau kami akan seperti sekarang. Semuanya karena Knowledge Sector Initiative. Dulu kami tak bermimpi mendapat undangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kementerian Kesehatan untuk mempresentasikan hasil studi,” tutur Bondan Sikoki, pendiri dan pembina SurveyMETER membuka cerita.
Menurut Bondan, sejak berdiri 2002 hingga 2010, SurveyMETER hanya fokus kepada diri sendiri. Kesungguhan itu hanya diimbangi dengan setia mempublikasikan hasil studi dalam jurnal ilmiah internasional. Hasil studi yang banyak dipublikasikan adalah Indonesia Family Life Survey (IFLS), satu penelitian ilmiah panel yang diidentikkan dengan asal-muasal kelahiran dan eksistensi SurveyMETER.
Pada periode itu, selain kantor lembaga masih ngontrak dan berpindah-pindah, tata kelola organisasi pun masih sekadarnya. Struktur organisasi hanya terdiri dari direktur yang membawahi bagian survei dan bagian umum. Bagian survei membawahi semua staf peneliti. Bagian umum membawahi Human Resources Development, keuangan, dan IT support yang digawangi para staf merangkap peneliti di bawah koordinasi bagian survei. Staf peneliti merupakan para profesional yang teruji dalam manajemen penelitian lapangan namun belum mumpuni dalam kepenulisan. Dalam kerjasama penelitian, pada 2002-2006, SurveyMETER masih terpaku dengan beberapa lembaga riset internasional. Baru pada periode 2007-2010 mereka mulai menerima proyek penelitian dari World Bank untuk survei dampak program atau penelitian berorientasi kebijakan.
Berani Bergabung dengan Sektor Pengetahuan
Pada 2010, SurveyMETER memberanikan diri mengajukan proposal untuk menjadi mitra program Knowledge Sector (KS) yang dikelola The Asia Foundation (TAF). Ini adalah sebuah program penguatan kapasitas lembaga untuk berkontribusi dalam pembuatan kebijakan. Sebelum menyusun proposal, sebagai pelopor, Bondan Sikoki melontarkan dua pilihan kepada rekan-rekannya: mau berubah atau tetap nyaman kondisi saat itu.
Mereka berani bergabung dengan KS karena sadar setelah 8 tahun berdiri masih memiliki kekurangan dalam tata kelola organisasi, kapasitas peneliti, berjejaring, serta persaingan dari lembaga luar. “Selama itu kami seperti katak dalam tempurung, menjalankan penelitian dari mitra dengan berkomitmen pada kualitas data berkualitas. Tidak pernah berpikir tentang tetangga apalagi berkeinginan mempengaruhi kebijakan negara,” cerita Edy Purwanto, salah satu peneliti senior.
Di lain sisi SurveyMETER memiliki pandangan yang menjadi modal berharga yaitu data berkualitas sangat penting untuk kebijakan. Pandangan itu kemudian dipatri dalam visi “lembaga pengetahuan yang menginspirasi dan memperkuat kebijakan berbasis data penelitian”. Tetapi mereka sadar, mendorong digunakannya hasil survei untuk dasar kebijakan tidak mungkin bekerja sendirian.
Meski demikian, mereka tidak menyangka kalau menjadi bagian dari 7 mitra KS dengan menyisihkan ratusan lembaga. Ketika Sandra Hamid dan Lies Marcoes Natsir dari TAF menanyakan cita-cita ke depan, SurveyMETER menegaskan kembali untuk berkomitmen pada data berkualitas yang merupakan hulu dari kebijakan. “Karena paling bloon maka kami mengikuti apapun yang digariskan TAF. Kami ingat betul setiap kami akan meeting dengan lembaga lain, hal lain yang kami persiapkan adalah melawan rasa minder. Karena kami lihat program advokasi kebijakan mereka sudah di mana-mana. Sementara kami belum tahu apa-apa, tak tahu kancah,” kenang Bondan.
Mulai saat itu SurveyMETER dipaksa berubah seratus delapan puluh derajat. Serangkaian penataan organisasi dilakukan. Mulai dari melengkapi struktur dengan adanya direktur eksekutif, direktur riset, direktur pegembangan kapasitas, dan bagian-bagian; memfokuskan penelitian pada tiga isu: pendidikan, kesehatan, dan kebencanaan; mempercepat pembangunan kantor sendiri; menghidupkan website, sampai merancang ulang perpustakaan. Dalam proses ini mereka banyak belajar tentang rencana strategis organisasi, monitoring dan evaluasi, dan yang lainnya. Mereka juga membenahi sumber daya internal dengan memberikan beasiswa studi staf, mengikuti ragam pelatihan dan studi banding, serta merekrut staf baru.
Dalam berjejaring SurveyMETER mulai berkomunikasi dengan lembaga lain melalui kunjungan, mengirimflyers profile, hingga tawaran kerja sama kepada lembaga lokal, nasional, dan regional. Di level lokal mereka merekatkan jaringan dengan Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam sharing data IFLS serta dengan Forum Pengurangan Risiko Bencana Merapi (FPRB) Jawa Tengah dan DIY dalam pelaksanaanlongitudinal study Dampak Bencana Merapi. Di level nasional, mereka bertemu AKATIGA Bandung, Centre for Ageing Studies University of Indonesia (CAS-UI) melalui Tri Budi W Rahardjo, dan Yayasan Emong Lansia (YEL) pimpinan Eva AJ Sabdono. Di kancah regional dan internasional, YEL menjadi perantara mereka dalam berkenalan dengan HelpAge Internasional. “Setelah bertemu mereka kami meneguhkan diri untuk mengembangkan penelitian bidang kesehatan dengan isu kelanjutusiaan dan kota ramah lansia,” tutur Direktur Eksekutif SurveyMETER, Ni Wayan Suriastini.
Langkah berjejaring pada periode KS, 2010-2012, dimulai dengan berbagi pengetahuan dengan peneliti, akademisi dan pengambil kebijakan dalam dua kali lokakarya penggunaan data IFLS pada tahun 2011. Lokakarya yang diikuti 30 lembaga ini menjadi lompatan jauh SurveyMETER dalam berjejaring. Di akhir periode mereka menggelar Lokakarya Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan, dan Langkah Lanjut, pada 19-20 November 2012 di Phoenix Hotel Yogyakarta. Lokakarya tersebut berhasil menyertakan 29 pembicara dan 150-an pemangku kepentingan masalah penuaan penduduk dari pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan lembaga internasional. Keberhasilan tersebut berkat gandengan tangan CAS-UI dan YEL. Di Lokakarya ini mereka bertemu Luh Ketut Suryani dari Suryani Institut for Mental Health Bali.
Memetik Buah Pertama di Periode KSI
Setelah menjadi mitra KS yang dilanjutkan dengan KSI, 2013-sekarang, SurveyMETER berubah total. Moto kerja dari “bekerja untuk kualitas” bertransformasi menjadi “menginspirasi dan memperkuat kebijakan berbasis data penelitian”. KSI mengantarkan SurveyMETER menjadi lembaga dengan struktur organisasi yang rapi, jaringan lebih luas, posisi tawar lebih kuat di hadapan klien, serta mendapat pengakuan dari dunia akademis dan pemerintah. Namun begitu, mengenai berkontribusi pada kebijakan, target mereka tidak muluk-muluk, hanya lokal. Alasannya, menurut Bondan, hanya ingin menjalani perubahan langkah demi langkah.
Di internal lembaga, para staf semakin termotivasi dalam berkegiatan. Suasana kerja di kantor lebih nyaman, terlebih fasilitas kantor yang sudah membaik. Kapasitas sebagian besar staf peneliti sudah meningkat. “Setelah mengikuti in house training STATA dan pelatihan analisis, saya dipercaya pimpinan untuk membuat tabulasi. Sekarang saya bisa membaca hasil data, melakukan analisis regresi, hingga menyiapkan materi laporan dan presentasi” ujar Endra Dwi Mulyanto, salah satu staf.
Dalam perkembangan kemudian, SurveyMETER cukup kewalahan mengelola kegiatan penelitian dari mitra dan program KSI. Mulai akhir tahun 2012 hingga pertengahan 2013, mereka cukup kerepotan menjalankan 4 studi independen dan pendampingan desa yang didukung KSI. Namun tekad untuk berubah harus terus berjalan. “Di satu sisi, saya termotivasi dengan penataan organisasi program KSI tapi di sisi lain saya bertanggungjawab dalam melaksanakan survei dari klien yang menjadi sumber penghidupan. Jadi belum pintar membagi waktu masih jadi kendala saya,” tutur Roni Hermoko, satu staf lain.
Satu dari 4 penelitian independen yang menjadi langkah awal SurveyMETER dalam mempengaruhi kebijakan adalah Studi Asesmen Kapasitas Kota Ramah Lanjut Usia (KRL) dengan sampel 14 kota di 11 provinsi. Mereka mendiseminasikan hasil studi ini dalam bentuk lokakarya terbatas kepada pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan pada 2013. Rangkaian diseminasi tersebut menjadi catatan penting mereka dalam keberhasilan mempengaruhi kebijakan. Mereka mengawali diseminasi kepada WHO Jakarta,CAS UI, dan YEL pada 10 April 2013. Selanjutnya, kepada Pemerintah Kota Payakumbuh, Denpasar, Yogyakarta, Depok, Balikpapan, dan Pemerintah Provinsi Bali.
Sambutan terhadap diseminasi tersebut beragam dan dinamis. Kota Surabaya menolak diseminasi karena memiliki parameter sendiri dalam memandang kota ramah lansia. Beberapa kota lain menolak secara halus dengan alasan anggaran terbatas atau menunggu program pemerintah pusat. Namun daerah lain menyambut antusias dengan menjadikan hasil studi KRL sebagai rujukan kebijakan. Provinsi Bali menyambut hasil studi KRL dengan merancang peta jalan menuju Pulau Dewata Ramah Lanjut Usia 2030[1]. Kota Denpasar menjadikannya sebagai satu acuan dalam merumuskan komitmen kebijakan integrasi Kota Layak Anak, Kota Ramah Lansia dan Ruang Terbuka Hijau dalam Kota Sehat di Kota Denpasar yang ditetapkan padaSeptember 2014.[2] Di Jakarta, hasil studi KRL menjadi data rujukan deklarasi Jakarta sebagai Kota Ramah Demensia dan Ramah Lanjut Usia oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada 11 September 2015.[3]
Kota Balikpapan menyambutnya dengan antusias. Setelah mengikuti diseminasi pada 3 Juli 2013, Walikota Rizal Effendi mengatakan akan segera membenahi indikator kota ramah lansia yang pencapaiannya rendah. “Saya bercita-cita Balikpapan akan memiliki taman yang nyaman bagi para lansia, di mana mereka dapat duduk sembari menikmati udara segar, olah raga, membaca buku hingga memancing”, kata Rizal saat itu.
Satu tahun kemudian Kota Balikpapan “menyalin” rekomendasi hasil studi sebagai dasar perencanaan dantarget pencapaian dalam pembuatan Rencana Aksi Daerah (RAD) Kota Balikpapan Menuju Kota Ramah Lanjut Usia tahun 2030 yang ditetapkan pada September 2014.[4] Selanjutnya, pada Mei 2015 ditetapkanPeraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Lanjut Usia[5] disusul dengan deklarasi ikon baru “Balikpapan Menuju Kota Ramah Lansia” oleh walikota pada 16 Juni 2015.[6]
Keberhasilan mempengaruhi kebijakan tersebut menjadi buah pertama SurveyMETER dari pengelolaan organisasi dan berjejaring. Keberhasilan di Bali dan Denpasar karena berjejaring dengan Suryani Institut for Mental Health yang merupakan satu lembaga berpengaruh di Bali. Di di Jakarta acara deklarasi merupakan puncak rajutan kemitraan dengan CAS-UI dan YEL serta banyak lembaga pemerhati kelanjutusiaan yang digerakkan Alzheimer Indonesia. Demikian juga keberhasilan di Balikpapan bermula dari gandengan tangan CAS-UI.
Terbaru, pada 2 Agustus 2016 SurveyMETER meluncurkan dan memaparkan data IFLS-5 2014-2015 di Jakarta. Turut serta dalam acara tersebut pemangku kepentingan dan kebijakan nasional dari Kantor Staf Kepresidenan RI, BAPPENAS, Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kemenkes, Kementerian Sosial, dan banyak lagi. Sebelumnya mereka telah meluncurkan data berharga ini kepada para akademisi, ilmuan dan peneliti internasional dalam Population Association of America (PAA) Annual Meeting 2016 pada 31 Maret-2 April di Washington DC dan nasional dalam The 13th Indonesian Regional Science Association (IRSA) pada 25-26 Juli 2016 di Universitas Brawijaya Malang.
Epilog
Sedikit peristiwa di atas mungkin saja dicatat sebagai capaian membanggakan. Namun tekad SurveyMETER adalah terus berikhtiar mempromosikan pentingnya data penelitian sebagai rujukan kebijakan. Mereka pun tidak sedang membangun reputasi karena masih banyak kekurangan. Karena perkembangan dan persaingan kian kompetitif, mereka berharap dapat terus memperbaiki organisasi, meningkatkan sumberdaya, serta memperluas jaringan di kalangan pemerintah, akademis, masyarakat sipil, dan media.
“Kami belum ada apa-apanya. Peristiwa apapun yang dilihat orang sebagai perubahan, semoga itu menjadi awal yang baik untuk semua. Tugas kami setiap hari adalah terus berkomitmen pada kualitas. Kalaupun satu waktu menjadi lembaga think tank yang menjadi rujukan banyak kalangan, itu bukan tujuan akhir kami. Semuanya hanya karunia Tuhan yang mesti disyukuri,“ Bondan menutup cerita.
Jejen Fauzan
Peneliti SurveyMETER