Latar Belakang
Tanggal 1 September 2016, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) merayakan ulang tahunnya yang ke-45. Usia yang cukup panjang bagi keberadaan lembaga think tank di Indonesia. Perubahan lingkungan organisasi baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri menjadi bagian yang melekat dalam perjalanan CSIS selama lebih dari empat dekade. Tidak hanya lingkungan organisasi yang berubah, kondisi internal juga berubah. Peneliti yang pensiun meninggalkan organisasi diganti peneliti muda, kepemimpinan organisasi berubah silih berganti, demikian pula mitra dan jaringan kerja yang tidak selalu sama dari waktu ke waktu. Kendati demikian CSIS masih berpegang pada visi yang sama dengan saat lembaga ini didirikan, yaitu mengembangkan proses perumusan kebijakan melalui penelitian, dialog dan debat publik. Visi tersebut dilandaskan pada aktivitas utama lembaga pengkajian yaitu pemahaman yang mendalam tentang masalah sosial, ekonomi dan politik baik ditingkat lokal maupun regional.
Meskipun visi yang dirumuskan sejak 45 tahun yang lalu itu tidak berubah, dinamika lingkungan dan tuntutan baru yang muncul dalam sepuluh tahun terakhir mengharuskan CSIS untuk melakukan penyesuaian dan perubahan, mulai dari penentuan fokus kajian, strategi advokasi kebijakan maupun sistem pengelolaan organisasi.
Pada masa awal berdirinya, kajian dan analisis CSIS adalah memberi masukan dan pemikiran bagi pemecahan masalah-masalah strategis dan internasional. CSIS dipandang telah berperan penting mendukung pemerintahan Soeharto pada kurun waktu 70-an sampai awal 80-an. Persepsi atas peran dan keterlibatan CSIS dalam perumusan kebijakan di masa Orde Baru tersebut tidak terlepas dari kedekatanbeberapa pendirinya yaitu Letnan Jenderal (Purn) Ali Moertopo dan Mayor Jenderal (Purn) Soedjono Hoemardani dan kemudian Jenderal (Pur) LB Moerdani dengan Presiden Soeharto. Kedekatan itulah yang memberi akses istimewa kepada CSIS untuk berinteraksi langsung dengan pembuat kebijakan di pusat kekuasaan. Beberapa kalangan menilai saat itu pengaruh kajian dan pemikiran CSIS dalam penentuan arah pembangunan masa orde baru sangatlah kuat. Meskipun sebetulnya hubungan dengan pemerintah mengalami pasang surut seperti disampaikan oleh Harry Tjan Silalahi, salah seorang pendiri CSIS, bahwa“hubungan CSIS kala itu juga naik turun, bahkan CSIS pernah juga tidak disukai pemerintah karena memberi kritik”. Pergantian rezim pemerintahan dan perubahan prioritas kebijakan, dari waktu ke waktu mendorong CSIS untuk menyesuaikan fokus studi dan aktivitas intelektual lain yang terkait agar sesuai dengan agenda baru dan prioritas pembuat kebijakan khususnya kebijakan luar negeri, penguatan demokrasi serta peningkakan kemakmuran rakyat.
Generasi muda peneliti yang bergabung dengan CSIS setelah pertengahan 80-an tidak lagi sepenuhnya menikmati kedekatan hubungan antara CSIS dengan para pengambil keputusan di pusaran kekuasaan. Komunikasi dan hubungan erat dengan pengambil keputusan yang tetap bertahan biasanya dibangun secara pribadi. Kemudahan akses yang dimiliki institusi untuk dapat secara langsung menyampaikan pendapat atau mempengaruhi kebijakan telah melemah. Artinya CSIS perlu membangun strategi dan cara-cara baru agar gagasan dan rekomendasi kebijakan dapat sampai ke tangan pembuat kebijakan, diimplementasikan dan mampu membawa perubahan. Intinya dengan atau tanpa kedekatan dengan pusat pemerintahan CSIS harus terus memproduksi dan menyuarakan rekomendasi yang bermanfaat.
Sumber Perubahan
Saat ini CSIS menghadapi tantangan lebih besar daripada sekedar pergantian rezim. Berbagai tantangan yang muncul dalam dunia yang semakin terhubung telah mendorong CSIS melakukan perubahan secara mendasar.CSIS mengenali dan mencermati terjadinya perubahan konstelasi kekuasaan di tingkat global yang dipicu oleh stagnansi dan resesi di Eropa maupun munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dikawasan Asia sehingga terbentuk East Asia Centrality. Semakin menguatnya pengaruh Cina di kawasan merupakan realitas baru yang memerlukan kajian mendalam. Demikian pula perkembangan mutakhir di tingkat global menjadi pijakan bagi fokus dan kajian CSIS yang tujuan utamanya membantu pembuat kebijakan merespons lingkungan internasional sehingga menguntungkan Indonesia dan rakyatnya. Mari E. Pangestu, salah seorang anggota Yayasan CSIS, dalam sesi refleksi terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi organisasi menyampaikan bahwa, “banyak dari elemen organisasi CSIS yang masih tetap relevan untuk diperjuangkan”. Kunci utama agar CSIS dapat tetap bertahan adalah kemampuannya beradaptasi menghadapi tantangan baru serta mempertahankan kredibilitas keilmuan di tengah perubahan tatanan global yang sangat signifikan.
Perubahan fokus kajian CSIS tidak cukup jika hanya diputuskan para direktur atau ketua departemen. Tetapi harus dirumuskan secara bersama sehingga menjadi kesepakatan dan komitmen kolektif semua peneliti. Di masa lalu proses perumusan fokus studi secara kolektif dilakukan secara kurang terencana dan tidak intensif sehingga hanya menghasilkan rumusan topik-topik baru tanpa penjabaran yang detil. Penyusunan rencana strategis dan program tahunan yang dilakukan CSIS dengan dukungan KSI menandai tradisi baru dalam penentuan area kajian CSIS karena dilaksanakan dalam forum partisipatif dengan tahapan kegiatan yang cukup rinci. Proses baru ini mendorong semua pihak yang terlibat untuk memberikan komitmennya secara penuh. Area studi dan topik kajian yang yang dirumuskan melalui perencanaan strategis diantaranya adalah Laut Cina Selatan, Poros Maritim, Kebijakan Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan serta Studi tentang ASEAN. Selain itu muncul tema-tema seperti Trans Pacific Partnership (TPP), Persaingan Regional, Kebijakan Perdagangan dan Industri sebagai fenomena mutakhir yang dimasukkan sebagai agenda penelitian kontemporer selain kajian dengan topik “tradisional” seperti manajemen ekonomi makro, pembangunan sektor riel serta ketenagakerjaan.
Selain perubahan desain area studi yang didasarkan pada realitas di lapangan, CSIS juga memberikan perhatian pada beberapa isu penting yang pada saat ini mungkin tidak menonjol tetapi diperkirakan akan menjadi sumber perubahan di masa depan seperti digital economy dan cyber politics. Penataan serta penajaman fokus kajian dan kegiatan CSIS selain untuk mempertahankan relevansi kehadirannya secara bersamaan juga dimaksudkan untuk memperjelas peta jalan yang akan dilalui CSIS ke depan maupun menentukan agenda perubahan yang memberikan manfaat secara konkret kepada masyarakat. Antisipasi terhadap isu-isu penting dalam kurun waktu 5 tahun ke depan juga akan memudahkan perencanaan bagi pengadaan sarana-sarana penunjang yang diperlukan untuk melaksanakan kajian dan studi tersebut.
Perkembangan teknologi informasi yang telah merambah hampir semua bidang merupakan penentu penting lainnya bagi langkah perubahan di CSIS, tidak hanya dalam menentukan area atau fokus studi, tetapi juga perubahan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan, format atau “kemasan” bagi diseminasi produk maupun strategi advokasi kebijakan.
Kehadiran teknologi komunikasi dan informasi misalnya telah mempermudah kolaborasi riset serta diversifikasi portofolio kompetensi. Dengan waktu yang cepat CSIS dapat menghubungi serta melibatkan calon mitra untuk bekerja sama maupun mencari narasumber dari luar untuk terlibat dalam proyek ataupun studi di mana CSIS tidak mempunyai keahlian tertentu. Inilah sesuatu yang tidak mudah dilakukan pada masa lalu.
Pengaruh teknologi terhadap efisiensi kinerja, khususnya dalam hal membangun jaringan dan diversifikasi keahlian memang semakin kuat. Jika sebelumnya CSIS lebih banyak menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga di luar negeri saat ini kerjasama dengan berbagai lembaga di dalam negeri baik pemerintah maupun non pemerintah semakin meningkat kira-kira sampai 3 kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Kerjasama dengan lembaga-lembaga asing termasuk dengan universitas, lembaga think tankmaupun lembaga international tidak lagi hanya bersifat “bilateral” tetapi juga dalam format “multilateral” atau dalam bentuk konsorsium. Penandatanganan memorandum of intent (MOI) dengan berbagai institusi di luar negeri seperti dengan Universitas Griffith Australia, Universitas Columbia Amerika Serikat,Development Research Centre (DRC) China maupun dengan Centro Studi Internazionali (CESI) Roma, Italia menegaskan desain kerjasama CSIS yang lebih terstruktur dan konkret disamping keterlibatan yang intensif dalam jaringan “track two” seperti dalam ASEAN ISIS, CSCAP (The Council for Security Cooperation in the Asia Pacific) maupun PECC (Pacific Economic Cooperation Council). Di dalam negeri selain melalui format kemitraan, kerjasama dengan institusi lain diikat dalam bentuk keanggotaan jaringan, misalnya CSIS merupakan salah satu lembaga pendiri Policy Research Network (PRN) yang di dukung USAID serta menjadi anggota alliansi lembaga penelitian yang digagas KSI (Knowledge Sector Initiative) dengan dukungan DFAT Australia.
Munculnya berbagai lembaga kajian kebijakan yang baru di dalam negeri yang jumlahnya kurang lebih 27 organisasi serta ribuan lainnya di luar negeri menjadi tantangan sekaligus dorongan bagi CSIS untuk memperbaiki “mode of operation” yang mampu mendukung kegiatan kunci secara maksimal. Perbaikan dan peningkatan daya dukung organisasi, efisiensi dan optimalisasi sumber daya, maupun pengembangan kemampuan tenaga peneliti menjadi bagian penting dari keseluruhan cerita perubahan yang terjadi di CSIS saat ini dengan tetap memegang teguh prinsip independensi.
Keberadaan sistem dan kejelasan proses serta prosedur pada setiap gugus kegiatan, jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan sumber daya, ketersedian berbagai infrastruktur pendukung merupakan prasyarat bagi terciptanya kemapanan organisasi. Hal-hal tersebut saat ini sudah ataupun sedang dalam tahap penyelesaian. Melalui proses konsultasi dan interaksi yang panjang, KSI mempermudah CSIS untuk menata dan membenahi organisasi. Bagian tersulit adalah melibatkan dan membangun kesadaran semua anggota organisasi tentang perlunya secara konsekuen mentaati aturan dan ketentuan organisasi yang telah disepakati bersama. Dengan bantuan konsultan CSIS telah memiliki Standard Operational Procedure (SOP) pengelolaan keuangan, pelaksanaan kerja, pengelolaan proyek, penilaian kerja serta pemberian insentif. Pembenahan sedang dilakukan bagi prosedur monitoring dan evaluasi, knowledge management serta penggalangan dana untuk pembiayaan lembaga yang lebih “sustainable” guna menopang keberadaan CSIS dalam jangka panjang. Dengan mempertimbangkan budaya organisasi yang terbangun lebih dari empat decade, kebutuhan untuk penataan manajemen mekanistis harus berjalan beriringan dengan harapan untuk terus menjaga hubungan yang informal dan fleksibel diantara anggota organisasi sehingga semangat “kekeluargaan” yang mewarnai pendirian dan pertumbuhan CSIS tetap dapat diakomodasi.
Kualitas dan Advokasi Kebijakan
Kualitas kajian dan analisis CSIS adalah titik terpenting bagi keberadaan sebuah lembaga think tank seperti CSIS. Pendekatan-pendekatan baru yang dapat menjamin kualitas kajian dan analisis sekaligus bernilai praktis bagi proses pembuatan kebijakan menjadi arena pencarian para peneliti yang tidak berbatas. Pendekatan multidisipliner untuk memecahkan persoalan kebijakan yang kompleks serta gabungan pendekatan kualitatif dan kuantitatif telah menjadi antitesis bagi pendekatan yang menekankan intuisi atau kepentingan politik semata. Pendekatan keamanan dan ancaman yang sebelumnya dipakai untuk membahas isu-isu internasional telah digantikan dengan pendekatan yang lebih komprehensif untuk memberikan gambaran yang lebih utuh. Misalnya kajian tentang sengketa teritorial antara China dan ASEAN tidak cukup jika hanya dilihat dari pendekatan keamanan tetapi perlu dipahami dari sudut ekonomi, sosial dan budaya.
Pilihan antara pembuatan studi yang mendalam dengan bobot akademis dan karenanya memerlukan waktu penyelesaian yang relatif lama dihadapkan dengan pemberian saran kebijakan yang bersifat segera, berakhir pada kesimpulan bahwa keduanya harus mampu dijalankan peneliti CSIS. Saran atau rekomendasi kebijakan yang harus disiapkan dalam jangka pendek dan segera harus didasarkan pada studi-studi dasar yang mendalam dan komprehensif.
Selain membuat kombinasi yang tepat antara kedua kebutuhan yang berbeda, pendekatan untuk melibatkan para pihak pembuat kebijakan kunci sejak awal perencanaan studi sampai penulisan akhir menjadi bagian dari strategi advokasi kebijakan yang cukup berhasil pada beberapa tahun terakhir ini. Perumus kebijakan akan cenderung menerima saran kebijakan yang dihasilkan oleh suatu studi jika dari awal mereka mengetahui cakupan, tujuan dan aktivitas studi serta mengetahui alasan mengapa studi tersebut penting. Dalam hal ini upaya-upaya membangun kolaborasi antara CSIS dengan instansi pemerintah dalam pelaksanaan studi semakin ditingkatkan yang sebagian diantaranya didukung oleh KSI. Termasuk dalam upaya ini adalah menyelenggarakan dialog-dialog kebijakan, konsultasi publik pada setiap tahapan penelitian untuk memastikan agar penelitian yang dilaksanakan diterima dan dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan. Pendekatan ini dilaksanakan bersamaan dengan langkah-langkah komunikasi kebijakan atau outreach yang biasa dilakukan sebelumnya seperti penulisan lewat surat kabar, pendekatan personal maupun lobi. Hubungan personal dengan para pembuat keputusan sekarang tidak secara eksklusif dilakukan oleh peneliti senior atau “high level” manajemen tetapi menjadi tanggung jawab seluruh peneliti baik yang baru masuk atau yang sudah senior.
Upaya advokasi kebijakan saat ini dipermudah oleh penggunaan media sosial. Munculnya teknologi informasi menghadirkan kesempatan dan tantangan untuk menyampaikan hasil-hasil penelitian secara lebih mudah. Perbaikan website, pembuatan blog, penyediaan on cloud menjadi langkah-langkah baru untuk memperkuat peran CSIS tidak hanya sebagai pusat pengkajian dan analisis tetapi juga memfasilitasi forum multi aktor seperti media, LSM, lembaga penelitian lain dan universitas yang juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan publik, di samping seminar-seminar, diskusi dan press release yang selenggarakan CSIS. Upaya mempengaruhi kebijakan ditingkatkan frekuensinya dengan adanya keharusan bagi semua peneliti untuk menulis policy brief bagi setiap studi yang dilakukannya.
Dengan terjadinya perubahan organisasi yang signifikan, tuntutan untuk memperoleh tenaga peneliti yang berkomitmen dan berkontribusi dalam setiap perubahan menjadi tantangan yang cukup berat. Sebab selain perlu membangun proses rekrutmen dan seleksi yang baik, pengadaan tenaga peneliti maupun tenaga pendukung yang berkualitas dihadapkan pada keterbatasan keuangan. Oleh sebab itu rekrutmen tenaga peneliti perlu dilakukan dengan sangat hati-hati sehingga praktek rekrutmen yang dulu hanya mengandalkan referensi dan “mouth to mouth” harus diganti dengan proses yang lebih terbuka, transparan, dan ketat dengan mengedepankan sistem merit sehingga diperoleh karyawan-karyawan dengan aspirasi dan gagasan baru. Saat ini CSIS menetapkan lima tahapan seleksi yang harus dilalui mulai dari pemenuhan kelengkapan administrasi, mengikuti tes hingga lolos dari masa percobaan dan dinyatakan diterima sebagai tenaga peneliti atau tenaga pendukung. Rekrutmen dan seleksi perlu disertai penguatan kapasitas peneliti agar tidak hanya mempu melakukan kajian, menulis dan membuat analisis tetapi juga mengkomunikasikan hasil penelitian, menjadi narasumber di media, hingga membuat kertas kebijakan untuk keperluan publikasi di media massa.
Kualitas kepemimpinan yang diperlukan CSIS adalah kepemimpinan yang dapat menggerakkan semua komponen dalam organisasi untuk memastikan peningkatan produksi pengetahuan berbasis bukti yang ketat,kelancaran transfer pengetahuan, semakin terbukanya akses kepada pembuat kebijakan, media dan masyarakat, serta mengalirnya ide dan saran kebijakan yang tepat.
Melangkah ke Depan
Perubahan dalam arti pembenahan organisasi ke arah yang lebih baik masih akan berlanjut. Agenda perubahan yang akan terus dilaksanakan adalah memperkuat strategi advokasi kebijakan dengan meningkatkan jaringan, khususnya dengan pemerintah dan kalangan bisnis agar usulan-usulan perubahan kebijakan publik yang diajukan CSIS semakin dapat direspons. Dengan tujuan yang sama pemanfaatan media sosial akan lebih ditingkatkan agar dapat menjangkau publik yang lebih luas serta memperkuat visibilitas CSIS. Agenda ini dimaksudkan untuk mencari inovasi-inovasi bagi pemanfaatan hasil kajian. Agenda kedua adalah melakukan penataan manajemen pengetahuan sehingga penggunaan pengetahuan yang telah dihasilkan oleh kajian-kajian CSIS dapat dimanfaatkan secara maksimal. Agenda ketiga adalah memantapkan pola-pola pencarian dana untuk menjamin keberlangsungan organisasi.
Medelina K. Hendytio
Centre for Strategic and International Studies