Swakelola merupakan salah satu cara pengadaan barang/jasa pemerintah yang dikerjakan sendiri oleh kementerian, lembaga, perangkat daerah, bekerja sama dengan unit pemerintah lain atau melibatkan kelompok masyarakat (pokmas). Cara ini sudah lama dilakukan pemerintah, namun tipe swakelola dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas) merupakan hal yang baru. Dalam pengadaan barang/jasa, ormas memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan pemerintah maupun penyedia swasta. Keunggulannya terletak dalam pendekatan terhadap masyarakat dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang tidak diminati pelaku usaha. Di bidang penelitian, sudah banyak ormas yang bekerja sejak puluhan tahun lalu dan menghasilkan studi-studi akademik serta rekomendasi kebijakan yang berkualitas.
“Ormas bukanlah pemain baru di dunia pembangunan. Ada banyak ormas di Indonesia yang memiliki pengalaman panjang di berbagai bidang sehingga pelibatan ormas melalui skema ini dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas dan jangkuan layanannya,” ujar Isono Sadoko dari Pusat Analisis Sosial AKATIGA.
Hingga 2018, belum ada payung hukum yang memungkinkan ormas ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sudah membolehkan swakelola, namun bukan dengan ormas. Akibatnya, ormas, termasuk lembaga penelitian nirlaba, tidak bisa berpartisipasi kecuali dengan mendirikan badan usaha. Kondisi tersebut mencerminkan pengadaan barang/jasa pemerintah belum berpengaruh pada penelitian dan pemberdayaan masyarakat secara langsung.
Upaya memperbaiki peraturan kemudian difasilitasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) dengan mempertemukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dengan organisasi penelitian dan advokasi AKATIGA, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Dilakukan sejak pertengahan 2014, upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan ini menjadi dasar hukum bagi kebijakan swakelola dan menjadi solusi untuk dapat melibatkan ormas yang berbadan hukum yayasan atau perkumpulan dan terdaftar di Kemenkumham. Dalam Perpres tersebut, cara pengadaan barang/jasa dengan melibatkan ormas disebut sebagai Swakelola Tipe III.
“Swakelola Tipe III memberikan ruang buat organisasi kemasyarakatan untuk terlibat dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa di mana ruang itu tidak bisa dimasuki oleh pelaku usaha. Harapannya masyarakat juga menjadi bagian yang tidak hanya sekedar menjadi objek pembangunan, dia juga harus sebagai bagian yang terlibat dalam proses pengadaannya,“ ujar Roni Dwi Susanto, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).
Dorong Inklusivitas Pembangunan
Setelah Perpres Nomor 16 Tahun 2018 diterbitkan, KSI bersama salah satu lembaga mitra, yakni AKATIGA, kembali bekerja sama dengan LKPP untuk mendorong implementasi Swakelola Tipe III. Selain memberi masukan kepada LKPP terkait penelitian yang membutuhkan kolaborasi pemerintah dan ormas, serangkaian kegiatan sosialisasi di berbagai forum juga dilakukan. Usaha ini dilengkapi dengan produksi video dan buku saku untuk mempermudah sosialisasi penggunaan Swakelola Tipe III.
KSI mendorong implementasi Swakelola Tipe III karena model ini berpotensi meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan bagi kelompok masyarakat yang sering luput disasar oleh usaha komersial. Terbukti, setahun setelah peraturan tersebut diluncurkan, dua mitra KSI yang ikut dalam mekanisme pengadaan Swakelola Tipe III membantu pemerintah merumuskan kebijakan yang menyasar kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Lembaga riset yang fokus pada kebijakan pro-masyarakat miskin, SMERU, menyusun dua studi yakni Kajian Penyelenggaraan SMP Terbuka serta Kajian Penyelenggaraan Sekolah untuk Anak Pesisir Pantai. Sementara itu, lembaga riset untuk perubahan sosial, Article 33 Indonesia, melakukan kajian Perhitungan Satuan Biaya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pengembangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Pendidikan. Ketiga studi tersebut didanai Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan (Disdik) dengan mekanisme Swakelola Tipe III.
Kajian yang disusun oleh SMERU dan Article 33 Indonesia menjadi dasar bagi pemerintah DKI dalam menentukan solusi untuk berbagai permasalahan terkait masing-masing objek penelitian. Dalam hal penyelenggaraan sekolah untuk anak pesisir pantai, misalnya, permasalahan utama yang teridentifikasi adalah adanya kesenjangan kualitas pendidikan antara daerah pesisir dan non-pesisir. Masyarakat daerah pesisir memiliki kualitas pendidikan yang relatif lebih rendah dibandingkan masyarakat di daerah non-pesisir. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor, antara lain kurangnya sarana dan prasarana, dan kultur setempat yang memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anak.
Untuk meminimalkan kesenjangan kualitas pendidikan tersebut, SMERU dalam kajiannya mengevaluasi ketersediaan dan akses sekolah bagi anak-anak pesisir. Kemudian mereka mengidentifikasi kebutuhan anak-anak pesisir terhadap sekolah dan jenjang pendidikannya hingga tersusun konsep penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak pesisir. Hasil studi ini menjadi rekomendasi bagi Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkeadilan dan tidak diskriminatif sesuai amanat undang-undang.
Demikian pula dengan penyelenggaraan SMP Terbuka (SMPT). SMPT merupakan salah satu satuan pendidikan alternatif untuk memberikan akses kepada tamatan Sekolah Dasar (SD) dan setara yang mengalami kendala untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Di DKI Jakarta, SMP yang dapat diakses tanpa biaya cenderung hanya sekolah negeri yang memiliki daya tampung terbatas sehingga harus menerapkan seleksi berdasarkan nilai akademis. Sementara itu, masih banyak lulusan SD yang nilai akademisnya terbatas dan tidak mampu melanjutkan ke SMP swasta karena terbentur masalah biaya. Bagi kelompok ini, keberadaan SMPT menjadi penting agar tidak putus sekolah.
Penyelenggaraan SMPT di DKI Jakarta sebenarnya sudah berjalan sejak tahun 1990-an. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat banyak kendala, khususnya terkait persoalan kelembagaan, pelaksanaan, mekanisme penerimaan peserta didik baru (PPDB), serta koordinasi dan pengawasan. Oleh sebab itu, Disdik DKI Jakarta menggandeng lembaga penelitian untuk melakukan kajian sebagai dasar pembuatan kebijakan peningkatkan mutu dan perluasan akses SMPT sesuai kebutuhan masyarakat. Mengikuti rekomendasi hasil studi, pemerintah provinsi DKI Jakarta berharap dapat meningkakan kualitas dan pengelolaan SMPT di seantero wilayahnya.
Dalam hal studi satuan biaya untuk PAUD, hasil perhitungan ini memberikan landasan yang kuat bagi pemerintah DKI Jakarta untuk merasionalisasi biaya operasional pendidikan yang diberikan kepada PAUD. Sementara kajian tentang BLUD Pendidikan memberikan alternatif dalam pengelolaan kelembagaan pendidikan di DKI Jakarta terutama di tingkat SMA.
Mekanisme Swakelola Tipe III memiliki beberapa keunggulan dibandingkan Swakelola tipe lain, baik bagi lembaga pemerintah sebagai pemberi kontrak maupun lembaga nirlaba sebagai pelaksana kontraknya. Dari sisi lembaga pemerintah, Swakelola Tipe III menyediakan alternatif pilihan yang lebih baik untuk mendapatkan proses dan output riset yang berkualitas karena menjangkau lembaga-lembaga yang memiliki spesialisasi khusus di bidang yang hendak diteliti. Sebelum terbitnya Swakelola Tipe III, hal ini tidak dimungkinkan karena lembaga-lembaga tersebut tidak dapat berpartisipasi melalui skema Swakelola lain. Lembaga penelitian nirlaba juga dinilai lebih efisien karena sudah memiliki kekayaan pengalaman penelitian sebelumnya dibandingkan entitas komersial yang tidak berkecimpung dalam bidang ini.
Dari sisi lembaga penelitian nirlaba, skema Swakelola Tipe III memberikan alternatif pendanaan kegiatan dan peluang untuk memengaruhi kebijakan agar lebih pro-masyarakat miskin dan termarginalkan. SMERU mencatat bahwa mekanisme ini memungkinkan mereka bekerja lebih dekat dengan pemerintah daerah dan memiliki pengaruh terhadap kebijakan di tingkat lokal. Mendukung hal tersebut, Article 33 Indonesia berpendapat bahwa mekanisme ini lebih akuntabel dan efisien dalam bekerja dengan pemerintah. Oleh karena itu, jika lembaga penelitian dan pemerintah dapat mengoptimalkan penggunaan Swakelola Tipe III, dapat dipastikan partisipasi dan kontribusi lembaga-lembaga tersebut dalam mendukung pembangunan dan perumusan kebijakan berbasis bukti menjadi lebih nyata.