Upaya mengarusutamakan isu-isu kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) ke dalam pembangunan di Indonesia, khususnya lewat jalur perguruan tinggi, mencapai babak baru pada 20 Maret 2018. Setelah melewati serangkaian diskursus, perspektif GESI menjadi bagian dalam Buku Panduan Dana Hibah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Edisi XII/2018.
Buku Panduan Dana Hibah LPPM merupakan rujukan utama bagi lebih dari 4.000 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di perguruan tinggi se-Indonesia dalam penyusunan proposal bantuan dana hibah riset ke Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Pada tahun ini, DRPM akan mulai menerima proposal dana hibah riset mulai Mei hingga Juli 2018 mendatang.
“Setelah melewati serangkaian pertemuan intensif dengan berbagai lembaga penelitian dan pemerhati isu gender yang difasilitasi KSI (Knowledge Sector Initiative) sejak tahun lalu, pada Maret 2018, tim penyusun telah memfinalisasi rumusan redaksional unsur GESI di dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM Edisi XII. Buku panduan ini mengakomodasi isu GESI dengan menambahkan tema dan topik yang relevan untuk setiap fokus penelitian. Buku terbaru ini menyebut 17 kali kata gender, 16 kata perempuan, dan sembilan kali sosial inklusi,” ujar Direktur DRPM Kemristekdikti Prof. Ocky Karna Radjasa.
Disebutkannya GESI secara eksplisit ke dalam sejumlah bab di Buku Panduan Dana Riset LPPM tahun 2018 itu diharapkan mampu mengikis persoalan ketimpangan gender yang masih marak terjadi di Indonesia, termasuk lembaga perguruan tinggi. Kebijakan itu diyakini bakal meningkatkan proporsi jumlah peneliti perempuan dan laki-laki yang lebih seimbang di kampus.
Selain dalam bab pendahuluan dan tujuan pengabdian, perspektif GESI juga hadir secara eksplisit di dalam delapan area fokus penelitian seperti tertuang dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM itu. Kedelapan area fokus riset di kampus itu adalah integrasi energi baru dan terbarukan, obat dan kesehatan, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, pertahanan, maritim, mitigasi kebencanaan dan sosio-humaniora.
“Ini (menyebutkan GESI secara eksplisit ke dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM Edisi XII) adalah langkah terbaik mengingat istilah GESI belum disebutkan sebagai bidang prioritas seperti disebutkan dalam RIRN (Rencana Induk Riset Nasional 2015-2045). Tahun depan, agar isu (GESI) itu lebih mengemuka, kami akan melakukan pemeringkatan (LPPM) berbasis GESI. Ini akan menjadi momentum baik, tidak hanya bagi Kemristekdikti, melainkan juga perguruan tinggi,” ujar Radjasa.
Dengan demikian, jika kebijakan pemeringkatan LPPM berbasis GESI itu terwujud, setiap perguruan tinggi mau tidak mau bakal terdorong untuk lebih mengarusutamakan isu-isu kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam riset. Seperti halnya akreditasi, besaran dana hibah yang disalurkan DRPM Kemristekdikti ke kampus-kampus akan bergantung pada peringkat itu. Kian besar posisi atau peringkat LPPM, kian besar pula dana hibah yang bakal didapatkan.
Pada gilirannya, kebijakan itu bisa mendorong para perempuan untuk lebih tertarik menjadi dosen, bahkan menjalankan fungsi meneliti. Saat ini, masih terjadi ketimpangan yang cukup lebar terkait jumlah dosen laki-laki dan perempuan. Tren ini setidaknya tercermin dari data Pendidikan Tinggi (PD) Dikti per tahun 2016/2017 yang menyebutkan komposisi jumlah dosen laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 56,56 persen berbanding 43,44 persen. Dari jumlah itu, jauh lebih sedikit lagi akademisi perempuan yang fokus menjalankan fungsi riset karena terbentur stigma patriarki di dunia kampus, bahkan keluarga.
Sasaran Pembangunan Nasional
Padahal, seperti disampaikan aktivis kesetaraan gender, Lies Marcoes, kepedulian untuk mengarusutamakan GESI bukanlah hanya bermanfaat bagi perempuan. Lebih jauh dari itu, pengarusutamaan GESI yang lazim dilakukan di beberapa negara seperti Australia dan Amerika Serikat akan mendorong tercapainya sasaran pembangunan nasional. “Tanpa adanya (perspektif) GESI, hasil penelitian tidak hanya kurang akurat dan relevan, melainkan juga ‘tersesat’,” ujar Marcoes dalam wawancara khusus dengan KSI, akhir 2016 silam.
Kata “tersesat” yang dimaksud Marcoes--yang kini menjadi expert di KSI—adalah tidak terpenuhinya ekspektasi dari riset-riset itu. Ia mencontohkan, tanpa pemahaman holistik akan GESI, target-target mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Sasaran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia seperti mengentaskan angka gizi buruk, kelaparan, sanitasi, dan pemenuhan air bersih bakal sulit tercapai.
Di banyak daerah di Indonesia, seringkali perempuan—dalam hal ini ibu rumah tangga—memegang akses terpenting dalam keluarganya seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi anak hingga sanitasi. “Jadi, (pengarusutamaan GESI di dalam kebijakan pembangunan) itu bukanlah demi perempuan atau GESI itu sendiri, melainkan untuk hal yang lebih luas, yaitu bagaimana riset dan sains bisa efektif bekerja saat diaplikasikan para pengambil kebijakan,” ujar Marcoes.
Marcoes sempat mengungkapkan keprihatinannya akan rendahnya pemahaman GESI di masyarakat, bahkan di kampus dan lembaga-lembaga riset yang selama ini dikenal menjadi “kawah” sains dan tempat pertemuan paradigma.
Dalam risetnya bersama KSI, Marcoes mengungkapkan bahwa masih banyak lembaga riset di Tanah Air yang “asing” dengan GESI. Dari 16 produk riset yang dihasilkan 16 lembaga mitra KSI terungkap bahwa enam naskah produk atau hasil riset tidak menyinggung isu GESI sama sekali. Lalu, tujuh naskah lainnya telah memuat unsur inklusi sosial, namun tidak memasukkan aspek kesetaraan gender. Hanya tiga naskah sisanya yang telah memuat aspek GESI secara utuh, meskipun lebih menekankan ke isu-isu kesetaraan gender.
Marcoes menjelaskan, perspektif kesetaraan gender dan isu-isu inklusi sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan adalah komponen penting dalam proses pembangunan nasional. Untuk itu, ia sangat senang bahwa Kemristekdikti telah memotori paradigma baru itu dengan melembagakan GESI ke dalam panduan riset perguruan-perguruan tinggi. Marcoes dan sejumlah LSM seperti SMERU, Cakra Wikara Indonesia, dan Sajogyo Institute, telah lama berupaya memperjuangkan itu.
Upaya itu mulai menemui titik terang Agustus 2017 lalu, yaitu ketika KSI dan mitra-mitra risetnya diajak DRPM Kemristekdikti untuk membahas soal rancangan Buku Panduan Dana Hibah LPPM untuk Edisi XII 2018. Serangkaian diskusi dan seminar, seperti dilakukan 13 November 2017 lalu, akhirnya berbuah hasil manis lewat buku panduan itu. Saat ini yang menjadi tugas bersama adalah “mengawal” implementasi buku panduan itu di perguruan-perguruan tinggi.
Jika itu semua berjalan lancar, harapannya, dunia kampus kembali memelopori dan menjadi yang terdepan dalam upaya mengarusutamakan GESI dalam kebijakan pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan di Tanah Air. Upaya mengarusutamakan isu-isu kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) ke dalam pembangunan di Indonesia, khususnya lewat jalur perguruan tinggi, mencapai babak baru pada 20 Maret 2018. Setelah melewati serangkaian diskursus, perspektif GESI menjadi bagian dalam Buku Panduan Dana Hibah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Edisi XII/2018.
Buku Panduan Dana Hibah LPPM merupakan rujukan utama bagi lebih dari 4.000 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) di perguruan tinggi se-Indonesia dalam penyusunan proposal bantuan dana hibah riset ke Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Pada tahun ini, DRPM akan mulai menerima proposal dana hibah riset mulai Mei hingga Juli 2018 mendatang.
“Setelah melewati serangkaian pertemuan intensif dengan berbagai lembaga penelitian dan pemerhati isu gender yang difasilitasi KSI (Knowledge Sector Initiative) sejak tahun lalu, pada Maret 2018, tim penyusun telah memfinalisasi rumusan redaksional unsur GESI di dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM Edisi XII. Buku panduan ini mengakomodasi isu GESI dengan menambahkan tema dan topik yang relevan untuk setiap fokus penelitian. Buku terbaru ini menyebut 17 kali kata gender, 16 kata perempuan, dan sembilan kali sosial inklusi,” ujar Direktur DRPM Kemristekdikti Prof. Ocky Karna Radjasa.
Disebutkannya GESI secara eksplisit ke dalam sejumlah bab di Buku Panduan Dana Riset LPPM tahun 2018 itu diharapkan mampu mengikis persoalan ketimpangan gender yang masih marak terjadi di Indonesia, termasuk lembaga perguruan tinggi. Kebijakan itu diyakini bakal meningkatkan proporsi jumlah peneliti perempuan dan laki-laki yang lebih seimbang di kampus.
Selain dalam bab pendahuluan dan tujuan pengabdian, perspektif GESI juga hadir secara eksplisit di dalam delapan area fokus penelitian seperti tertuang dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM itu. Kedelapan area fokus riset di kampus itu adalah integrasi energi baru dan terbarukan, obat dan kesehatan, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, pertahanan, maritim, mitigasi kebencanaan dan sosio-humaniora.
“Ini (menyebutkan GESI secara eksplisit ke dalam Buku Panduan Dana Hibah LPPM Edisi XII) adalah langkah terbaik mengingat istilah GESI belum disebutkan sebagai bidang prioritas seperti disebutkan dalam RIRN (Rencana Induk Riset Nasional 2015-2045). Tahun depan, agar isu (GESI) itu lebih mengemuka, kami akan melakukan pemeringkatan (LPPM) berbasis GESI. Ini akan menjadi momentum baik, tidak hanya bagi Kemristekdikti, melainkan juga perguruan tinggi,” ujar Radjasa.
Dengan demikian, jika kebijakan pemeringkatan LPPM berbasis GESI itu terwujud, setiap perguruan tinggi mau tidak mau bakal terdorong untuk lebih mengarusutamakan isu-isu kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam riset. Seperti halnya akreditasi, besaran dana hibah yang disalurkan DRPM Kemristekdikti ke kampus-kampus akan bergantung pada peringkat itu. Kian besar posisi atau peringkat LPPM, kian besar pula dana hibah yang bakal didapatkan.
Pada gilirannya, kebijakan itu bisa mendorong para perempuan untuk lebih tertarik menjadi dosen, bahkan menjalankan fungsi meneliti. Saat ini, masih terjadi ketimpangan yang cukup lebar terkait jumlah dosen laki-laki dan perempuan. Tren ini setidaknya tercermin dari data Pendidikan Tinggi (PD) Dikti per tahun 2016/2017 yang menyebutkan komposisi jumlah dosen laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 56,56 persen berbanding 43,44 persen. Dari jumlah itu, jauh lebih sedikit lagi akademisi perempuan yang fokus menjalankan fungsi riset karena terbentur stigma patriarki di dunia kampus, bahkan keluarga.
Sasaran Pembangunan Nasional
Padahal, seperti disampaikan aktivis kesetaraan gender, Lies Marcoes, kepedulian untuk mengarusutamakan GESI bukanlah hanya bermanfaat bagi perempuan. Lebih jauh dari itu, pengarusutamaan GESI yang lazim dilakukan di beberapa negara seperti Australia dan Amerika Serikat akan mendorong tercapainya sasaran pembangunan nasional. “Tanpa adanya (perspektif) GESI, hasil penelitian tidak hanya kurang akurat dan relevan, melainkan juga ‘tersesat’,” ujar Marcoes dalam wawancara khusus dengan KSI, akhir 2016 silam.
Kata “tersesat” yang dimaksud Marcoes--yang kini menjadi expert di KSI—adalah tidak terpenuhinya ekspektasi dari riset-riset itu. Ia mencontohkan, tanpa pemahaman holistik akan GESI, target-target mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Sasaran Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia seperti mengentaskan angka gizi buruk, kelaparan, sanitasi, dan pemenuhan air bersih bakal sulit tercapai.
Di banyak daerah di Indonesia, seringkali perempuan—dalam hal ini ibu rumah tangga—memegang akses terpenting dalam keluarganya seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi anak hingga sanitasi. “Jadi, (pengarusutamaan GESI di dalam kebijakan pembangunan) itu bukanlah demi perempuan atau GESI itu sendiri, melainkan untuk hal yang lebih luas, yaitu bagaimana riset dan sains bisa efektif bekerja saat diaplikasikan para pengambil kebijakan,” ujar Marcoes.
Marcoes sempat mengungkapkan keprihatinannya akan rendahnya pemahaman GESI di masyarakat, bahkan di kampus dan lembaga-lembaga riset yang selama ini dikenal menjadi “kawah” sains dan tempat pertemuan paradigma.
Dalam risetnya bersama KSI, Marcoes mengungkapkan bahwa masih banyak lembaga riset di Tanah Air yang “asing” dengan GESI. Dari 16 produk riset yang dihasilkan 16 lembaga mitra KSI terungkap bahwa enam naskah produk atau hasil riset tidak menyinggung isu GESI sama sekali. Lalu, tujuh naskah lainnya telah memuat unsur inklusi sosial, namun tidak memasukkan aspek kesetaraan gender. Hanya tiga naskah sisanya yang telah memuat aspek GESI secara utuh, meskipun lebih menekankan ke isu-isu kesetaraan gender.
Marcoes menjelaskan, perspektif kesetaraan gender dan isu-isu inklusi sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan adalah komponen penting dalam proses pembangunan nasional. Untuk itu, ia sangat senang bahwa Kemristekdikti telah memotori paradigma baru itu dengan melembagakan GESI ke dalam panduan riset perguruan-perguruan tinggi. Marcoes dan sejumlah LSM seperti SMERU, Cakra Wikara Indonesia, dan Sajogyo Institute, telah lama berupaya memperjuangkan itu.
Upaya itu mulai menemui titik terang Agustus 2017 lalu, yaitu ketika KSI dan mitra-mitra risetnya diajak DRPM Kemristekdikti untuk membahas soal rancangan Buku Panduan Dana Hibah LPPM untuk Edisi XII 2018. Serangkaian diskusi dan seminar, seperti dilakukan 13 November 2017 lalu, akhirnya berbuah hasil manis lewat buku panduan itu. Saat ini yang menjadi tugas bersama adalah “mengawal” implementasi buku panduan itu di perguruan-perguruan tinggi.
Jika itu semua berjalan lancar, harapannya, dunia kampus kembali memelopori dan menjadi yang terdepan dalam upaya mengarusutamakan GESI dalam kebijakan pembangunan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan di Tanah Air.