Kondisi dan Prospek Kemampuan Pendidikan Tinggi untuk Mengembangkan Ilmu Pengetahuan

Seminar sehari yang merupakan kerjasama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang didukung oleh KSI pada hari Kamis, 20 Agustus, 2015, berjalan sangat meriah.

Kondisi dan Prospek Kemampuan Pendidikan Tinggi untuk Mengembangkan Ilmu Pengetahuan

Seminar sehari yang merupakan kerjasama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang didukung oleh KSI pada hari Kamis, 20 Agustus, 2015, berjalan sangat meriah. Seminar yang berjudul "Kondisi dan Prospek Kemampuan Pendidikan Tinggi untuk Mengembangkan Ilmu Pengetahuan" ini dihadiri oleh lebih dari 150 peserta. Selain dari jumlah peserta, antusiasme penanya dalam mengajukan pertanyaan yang kritis merupakan bukti nyata bahwa banyak kalangan akademisi yang peduli tentang masa depan pendidikan tinggi di Indonesia.

Seminar dibagi menjadi 3 sesi dengan 8 pembicara menyampaikan topik yang berkaitan dengan bagaimana mengembangkan pendidikan tinggi yang lebih baik di masa depan. Para pembicara adalah Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner dari (AIPI-Komisi Ilmu Sosial), Prof. Amin Abdullah (Ketua Komisi Budaya AIPI), Rektor Universitas Sanata Dharma, John Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., Prof. Dr. Bambang Purwanto (UGM) dan Prof. Dr. Noorhaidi Hasan (Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga), Prof. Dr. Mien A. Rifai (AIPI) dan Dr. Hilman Latif (Direktur LP2M UMY).

Prof. Dr. Taufik Abdullah, ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI, dalam sambutan pembukaannya menyentil, "kita sibuk dengan linearitas, linearitas dan linearitas". Perspektif linearitas mengenai pendidikan tinggi membuat pandangan yang kaku untuk pengembangan pengetahuan.

Pada sesi pertama, Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner menjelaskan pentingnya penelitian di universitas sebagai tolok ukur dan stimulus bagi kemajuan bangsa. Dia menyoroti kemunduran terkait dengan pendidikan tinggi di negara kita yang umumnya disebabkan oleh kompleksitas yang sifatnya administratif. Pembicara kedua, Prof. Amin Abdullah mengemukakan satu alasan mengapa penelitian belum begitu berkembang di Indonesia yaitu karena peneliti dan dosen terlalu nyaman dalam mengajar. "Intinya adalah transfer pengetahuan yang terbatas, bukan penciptaan pengetahuan dan keterampilan," kata Amin. Jika peneliti dan dosen memiliki mentalitas ilmiah baru, semangat interdisipliner / multidisipliner / pendekatan ilmiah trans-disipliner, mereka akan dapat melihat dan menganalisis dengan cara baru yang akan melahirkan sesuatu yang baru. Rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Drs. John Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D., membahas sisi filosofis dari pendidikan tinggi, dengan mengatakan pendidikan adalah masalah bagaimana untuk menghasilkan output yang akan dipersembahkan untuk lingkungan dan kesejahteraan.

Prof. Dr. Bambang Purwanto dalam sesi kedua mengakui bagaimana konsep penelitian dalam bidang pendidikan tinggi masih terlalu eksklusif dan terbatas pada orang-orang yang memiliki akses saja. Prof. Noorhaidi menambahkan kurangnya hubungan antara dosen dan mahasiswa dalam kerjasama penelitian, dan terbatasnya kerjasama penelitian / jaringan dengan lembaga lain. Apa yang akan terjadi adalah stagnasi, "Jadi pertanyaannya, adalah apakah dosen Indonesia siap bersaing dengan dosen dari negara tetangga dari segi kualitas?"

Seorang mahasiswa yang bernama Al-Munawwar bin Rusli dari Sulawesi Utara mengajukan pertanyaan kritis dengan mempertanyakan masa depan pendidikan tinggi di Indonesia berkaitan dengan "ABG" (Akademisi, Bisnis, dan Pemerintah). Prof. Nurhaidi mengatakan masih ada harapan terhadap pendidikan tinggi di Indonesia untuk setara dengan universitas lain di negara-negara maju. Sebagaimana ditekankan oleh Prof. Noorhaidi  akan pentingnya untuk mempertahankan budaya akademik di universitas, birokrasi pemerintahan seharusnya tidak menjadi kendala bagi akademisi kampus untuk berkembang dan maju.

Pada sesi terakhir, Prof. Mien A. Rifai menyampaikan keluhan dari berbagai publikasi akademik termasuk akreditasi berkualitas rendah yang dipublikasikan, di tengah-tengah berlimpahnya skripsi, tesis master dan disertasi doktor. Hilman Latif, Ph.D., mengutarakan pengalaman UMY untuk mendorong penulisan artikel di  kalangan dosen UMY dengan skema insentif.

Pembicara terakhir, Prof. Dr. Sangkot Marzuki menyebutkan bahwa di balik penelitian, baik secara mandiri atau di bawah universitas, pendidikan tinggi harus diberikan otonomi seluas mungkin, terutama dalam bidang manajemen  keuangan dan arah kebijakan. Dengan kewenangan yang diberikan para manajer lembaga penelitian / perguruan tinggi dapat bekerja untuk kemajuan pengetahuan dan tanpa tekanan, bukan karena kepentingan politik atau kepentingan lain. Moderator Ahmad Zainal Arifin menutup diskusi dengan sebuah pernyataan yang menarik, "Hari ini bukan acara seminar, melainkan suatu momentum untuk kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia."

  • Share: