Perspektif GESI dalam R & D untuk Kebijakan Publik yang Inklusif

“Isu gender adalah langkah pertama yang harus dimiliki oleh Kementerian dan Lembaga, karena tanpa mengetahui isu gender di bidangnya mereka tidak akan mampu menentukan kegiatan yang tepat untuk mengatasi isu gender tersebut”.

Perspektif GESI dalam R & D untuk Kebijakan Publik yang Inklusif

“Isu gender adalah langkah pertama yang harus dimiliki oleh Kementerian dan Lembaga, karena tanpa mengetahui isu gender di bidangnya mereka tidak akan mampu menentukan kegiatan yang tepat untuk mengatasi isu gender tersebut”.

Demikian disampaikan oleh Ibu Ir Destri Handayani ME, Direktorat Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Bappenas dalam acara Knowledge Sharing Session yang diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) beberapa waktu lalu.

Meskipun isu gender telah diperkenalkan dalam diskursus pembangunan sejak 20 tahun yang lalu, namun seringkali pembangunan mengalami kegagalan karena tidak berbasis pada pengetahuan yang berkualitas, yaitu pengetahuan yang meletakkan unsur kesetaraan gender dan inklusi social sebagai komponen penting dalam proses pembangunan.

KSI menyelenggarakan Knowledge Sharing Session tentang Perspektif Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial dalam Riset untuk Pembangunan, pada tanggal 7 Desember 2016 di hotel Aryaduta, Jakarta.

Sebagai persiapan dari kegiatan Knowledge Sharing tersebut, KSI bekerjasama dengan salah satu pakar gender Indonesia, Ibu Lies Marcoes, untuk melakukan studi terhadap 16 produk pengetahuan yang dihasilkan oleh 16 lembaga penelitian yang merupakan mitra KSI. Studi tersebut menemukan bahwa sekitar 6 produk pengetahuan tidak menyinggung aspek GESI sama sekali, 7 naskah memuat aspek inklusi sosial tetapi tidak memasukkan aspek kesetaraan gender, dan hanya 3 naskah memuat aspek GESI secara utuh meski masih terbatas pada aspek kesetaraan gender. Ibu Lies mengatakan, bila produksi pengetahuan melalui riset tidak menggunakan kacamata GESI, maka rekomendasi kebijakan yang dihasilkan tidak akan berpihak pada perempuan dan kaum marginal. Artinya, cita-cita pembangunan Nawa Cita, khususnya agenda nomor 2 dan 4 dengan sasaran komitmen untuk membuat kebijakan atau tindakan khusus terhadap kelompok marginal termasuk perempuan dan anak, tidak akan tercapai.

Temuan tersebut dikonfirmasi oleh beberapa lembaga riset yang juga hadir, baik sebagai pemateri seperti SMERU dan Sajogyo Institute, maupun peserta diskusi. Pembelajaran dari SMERU misalnya, meskipun aspek inklusi sosial seperti isu ketimpangan sosial dan kemiskinan menjadi salah satu fokus riset, namun diakui bahwa aspek gender belum dieloborasi secara lebih mendalam. Senada dengan yang disampaikan oleh Lies Marcoes, Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Penjangkauan SMERU, Ibu Widjajanti Isdijoso mengatakan bahwa tantangan dari arah data, SMERU belum melakukan pemilahan data primer dengan baik. Sedangkan data sekunder yang tersedia tidak dipilah, sehingga sulit untuk mengintegrasikan aspek gender dalam penelitian. Beliau juga menggarisbawahi kurangnya pemahaman, ketertarikan, kepekaan dan terpaan terhadap isu GESI untuk menghasilkan riset yang dapat menjadi dasar untuk penyusunan kebijakan publik yang inklusif.

Persoalan pentingnya pemahaman terhadap perubahan paradigma dan kepekaan terhadap GESI juga menjadi sorotan dalam program pembangunan infrastruktur di Indonesia. Secara umum, pembangunan infrastruktur di Indonesia belum menggunakan perspektif GESI. Eko Setyo Utomo dari program INDII menyampaikan bahwa tidak banyak teknisi pembangunan infrastruktur yang memahami pentingnya GESI dan pelibatan perempuan, anak serta kalangan marginal dalam proyek pembangunan infrastruktur. GESI dianggap terlalu teoritis dan tidak aplikatif untuk diintegrasikan dalam proyek infrastruktur. Kondisi tersebut menuntut para praktisi GESI untuk mampu menjelaskan kepada pemerintah dan teknisi bahwa integrasi GESI dalam pembangunan infrastruktur mudah untuk diaplikasikan, nyata kebutuhannya, dan terkait langsung dengan praktik kerja para teknisi. Karena pada akhirnya, isu infrastruktur seperti sanitasi dan transportasi public sangat penting baik baik bagi perempuan maupun laki-laki, namun seringkali dibedakan.

Pembelajaran lain yang turut memerkaya diskusi disampaikan oleh Ibu Siti Maemunah dari Sajogyo Institute, lembaga riset yang fokus pada isu agraria dan pembangunan pedesaan meletakkan aspek GESI sebagai bagian utama dalam penelitian. Belum mengatakan bahwa sulitnya kesempatan untuk bertemu dengan perempuan dalam komunitas tradisional, menjadi tantangan utama para peneliti yang bekerja dengan perempuan. Karenanya, menggali perspektif GESI dalam penelitian membutuhkan waktu lama. Peneliti dituntut untuk tidak hanya perlu beradaptasi cepat dengan kondisi lokal, namun harus mampu memainkan peran sosial seperti menjadi guru yang memungkinkan mereka untuk bertemu dengan perempuan. Beragam metode pengambilan data harus ditempuh, termasuk mengikuti kegiatan perempuan sepanjang hari. Saat ini, tidak banyak peneliti yang dilengkapi dengan keterampilan untuk memberikan ruang pada perempuan untuk tampil dan bersuara.

Diskusi juga menyinggung tentang peran mitra pembangunan yang menjadi pihak penentu integrasi GESI di dalam program riset. Di satu sisi, mereka menjadi pihak yang secara efektif menggerakkan integrasi GESI dalam riset. “Bila tidak ada permintaan donor, GESI tidak dilakukan”, ujar salah seorang peserta diskusi. Namun di sisi lain, mitra pembangunan dapat menjadi penghambat, misalnya pada saat pihak lembaga riset mencoba memilah data berdasarkan jenis kelamin, pihak mereka justru meminta untuk tidak dilakukan karena studi dianggap tidak terkait dengan isu gender.

Bagaimana agar Pembangunan Nasional Berbasis Riset GESI?

Hal pertama yang perlu dipahami khususnya oleh para peneliti dan pembuat kebijakan adalah bahwa alur strategi riset GESI harus untuk perubahan, bukan riset semata untuk riset itu sendiri. Sehingga seluruh langkah penelitian mulai dair disain, pendekatan, metode pengumpulan data, cara membaca dan menganalisis data, membuat rekomendasi dan kesimpulan didasari oleh pemahaman yang kuat tentang bagaimana pengelolaan pengetahuan untuk perubahan yang inklusif.

Pembelajaran dari para narasumber menekankan bahwa riset bertujuan untuk visibilitas perempuan, anak, dan masyarakat marjinal lainnya. Karenanya riset harus dilakukan secara partisipatif dan tidak berjarak. Kelemahan riset selama ini tidak menuliskan narasi tentang GESI, sehingga isu tersebut tidak muncul. Padahal, sebagaimana yang disampaikan oleh Eko, ketidakadilan semakin kompleks, maka tidak cukup didekati dengan pendekatan normatif tapi harus inovatif, agar solusi yang dihasilkan lebih cerdas dalam mengatasi persoalan.

KSI mendukung penuh pengarusutamaan GESI dalam program pembangunan. “Kami memiliki Gender Task Force untuk memastikan bahwa perspektif GESI terintegrasi dalam kegiatan riset seharunys yang menjadi dasar penyusunan kebijakan pembangunan yang inklusif di Indonesia”, ujar Petra Karetji, Team Leader KSI. Terkait dengan peningkatan kualitas riset, KSI juga memfasilitasi terbentuknya Aliansi untuk Riset Berkualitas pada bulan September 2016 lalu. Aliansi ini merumuskan bersama nilai-nilai dan prinsip yang ada dalam penelitian berkualitas, serta menekankan pentingnya peer-review terhadap penelitian yang dilakukan, serta bertukar sumberdaya antar lembaga penelitian. Diharapkan dukungan KSI dalam aspek GESI dapat mendorong tercapainya program pembangunan nasional Nawa Cita di Indonesia.

  • Share: