Kebijakan Tepat Sasaran Butuh Iklim Riset yang Kondusif

Penyusunan kebijakan publik yang tepat sasaran guna mewujudkan visi Indonesia emas 2045 membutuhkan asupan pengetahuan yang bermutu. Untuk itu, adanya iklim riset yang mampu mendorong kolaborasi sekaligus menjamin independensi riset menjadi syarat penting. Pentingnya integrasi pengetahuan dalam proses penyusunan kebijakan itu menjadi tema utama kegiatan Knowledge to Policy (K2P) yang digelar sebagai rangkaian kegiatan penutupan program Knowledge Sector Initiative (KSI).

Kebijakan Tepat Sasaran Butuh Iklim Riset yang Kondusif

Penyusunan kebijakan publik yang tepat sasaran guna mewujudkan visi Indonesia emas 2045 membutuhkan asupan pengetahuan yang bermutu. Untuk itu, adanya iklim riset yang mampu mendorong kolaborasi sekaligus menjamin independensi riset menjadi syarat penting.

Pentingnya integrasi pengetahuan dalam proses penyusunan kebijakan itu menjadi tema utama kegiatan Knowledge to Policy (K2P) Conference pada Selasa (22/3) dan Rabu (23/3). Konferensi ini digelar sebagai rangkaian kegiatan penutupan program Knowledge Sector Initiative (KSI). Peluncuran buku Perjalanan Perubahan Mitra Knowledge Sector Initiative yang berisi kumpulan artikel tentang proses mitra KSI dalam mengolah pengetahuan menjadi kebijakan membuka acara yang disiarkan di kanal Youtube Katadata ini.

KSI memulai kiprah di Indonesia pada 2013. Selama hampir satu dekade, KSI telah melaksanakan banyak program guna menjawab tantangan kompleksitas persoalan yang dihadapi Indonesia. Program KSI dititikberatkan ada penelitian kebijakan yang berkualitas dan komunikasi yang efektif; alokasi anggaran yang lebih besar dan lebih baik untuk penelitian kebijakan; serta manajemen, ketersediaan maupun aksesibilitas data dan informasi yang lebih baik untuk penyusunan kebijakan.

Simon Ernst selaku Counsellor Development Effectiveness and Sustainability, Kedutaan Besar Australia, membuka rangkaian acara. Ia menyatakan, Pemerintah Australia sangat senang bisa mendukung Pemerintah Indonesia dalam pembuatan kebijakan berbasis pengetahuan. Lembaga-lembaga think tank di Indonesia yang menjadi mitra KSI sejauh ini telah menghasilkan lebih dari 80 kebijakan berbasis bukti, baik di pusat maupun daerah.

Ada sembilan sesi webinar "Ruang Bincang" dan enam sesi presentasi singkat "Titik Temu" dalam acara ini. Sesi-sesi tersebut membahas berbagai tema, mulai dari transformasi ekonomi, ekonomi hijau, kesehatan, pendidikan, tata kelola kebijakan inklusif, pengelolaan data, hingga iklim riset. Total ada 86 pembicara dan penanggap yang terlibat, baik dari perwakilan pemerintah, akademisi, serta 16 lembaga think tank yang selama ini menjadi mitra KSI.

Dalam Ruang Bincang 1, misalnya, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas sekaligus Chair Development Working Group G20 Scenaider Clasein Hasudungan Siahaan menyampaikan pidato kunci. Keduanya menyebut pentingnya transformasi ekonomi pascacovid, dari semula bertumpu pada sektor ekstraktif menjadi berbasis pada ilmu pengetahuan. Pengembangan platform digital diharapkan bisa mendorong tranformasi ekonomi tersebut.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri yang menjadi salah satu penanggap mengatakan, kajian CSIS pada 2019 menemukan bahwa pemanfaatan teknologi digital bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal sebesar satu persen. Akan tetapi, pemanfaatan teknologi digital bukannya tanpa risiko. Sejumlah studi memperlihatkan bahwa pemanfaatan teknologi digital bisa mengubah struktur pekerjaan. Selain itu, ada sebagian kalangan yang mendapat manfaat lebih besar dibanding kelompok lain sehingga tidak inklusif. Untuk itu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan agar penggunaan TIK bisa mendorong pembangunan inklusif, yakni ketersediaan infrastruktur, peningkatan keterampilan dan literasi digital, serta kerangka regulasi yang mendukung. 

Selain dari CSIS, tiga panelis lain yakni Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), The SMERU Research Institute, dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyampaikan tanggapan berdasarkan hasil kajian yang sudah dilakukan oleh lembaga masing-masing. Dengan demikian, satu tema dilihat dari beragam sudut pandang sehingga bisa memperkaya diskusi bagi proses perumusan kebijakan. Pola serupa diterapkan dalam sesi-sesi lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kolaborasi dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti sangatlah penting supaya tidak ada hal penting yang terlewatkan.

            

Memo kebijakan                                                                                                                         

Pentingnya kolaborasi itu menjadi topik utama yang dibahas dalam Ruang Bincang 9. Mengawali diskusi, Advisor Center for Innovation and Policy Governance (CIPG), Yanuar Nuhgroho menggarisbawahi bahwa aspek-aspek kolaborasi selalu disinggung dalam delapan Ruang Bincang Konferensi K2P, serta dibahas dalam diskusi terarah yang dilakukan sebelumnya. Melihat pentingnya kolaborasi tersebut, 18 lembaga riset independen (LRI) menyampaikan rekomendasi melalui Memo Bersama 18 Lembaga Riset Kebijakan.

Dalam menjelaskan isi memo, Yanuar bersama Sekretaris The SMERU Institute Heni Kurniasih memaparkan bahwa kolaborasi multipihak sangat diperlukan untuk menjawab berbagai tantangan dan persoalan melalui penyusunan kebijakan yang tepat sasaran. Dalam penyusunan kebijakan tersebut, kehadiran LRI bisa melengkapi peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terutama dalam riset bidang sosial-humaniora. Untuk itu, perlu kerangka kebijakan yang mendukung. Hadirnya kerangka kebijakan yang mendorong ruang untuk berkolaborasi serta menjamin independensi riset akan menciptakan iklim riset yang kondusif, yang akan berkontribusi positif bagi proses penyusunan kebijakan berbasis bukti yang tepat sasaran. 

Ada empat rekomendasi yang disampaikan dalam memo tersebut. Pertama, perlunya kebijakan untuk melindungi dan menjamin independensi bagi peneliti. Kedua, kebijakan tersebut perlu dituangkan dalam kerangka regulasi sebagai turunan dari Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek). Ketiga, kebijakan ini diimplementasikan dalam kerangka kelembagaan yang mengacu pada UU Sisnas Iptek. Kelima, perlunya penetapan mekanisme akuntabilitas. 

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Fasilitas Riset and Inovasi BRIN Agus Haryono menjelaskan, sebagai funding agency, pihaknya menyediakan pendanaan untuk kegiatan riset dan inovasi. Saat ini ada delapan jenis skema fasilitasi riset yang ditawarkan. Skema tersebut akan terus berkembang ke depan. Selain itu, BRIN telah mengembangkan regulasi turunan terkait klirens etik, termasuk izin peneliti asing. “Kami berharap aturan-aturan yang sedang kami buat tidak menyulitkan bagi periset karena kita membutuhkan kolaborasi sebesar-besarnya dengan berbagai pihak,” terangnya.

Kepala Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN Trina Fizzanty mengatakan, BRIN akan memanfaatkan peran strategisnya dalam menjembatani kolaborasi antarperiset BRIN dan periset eksternal, termasuk dengan LRI. “Kami melihat kehadiran LRI adalah sebuah aset nasional, karena tidak hanya bergerak dari sisi diseminasi dari pengetahuan ke kebijakan, tetapi juga menghasilkan pengetahuan. Kolaborasi diperlukan agar kita dapat memberikan evidence yang solid bagi pembuat kebijakan,” ucapnya.

Independensi riset merupakan faktor penting dalam memproduksi pengetahuan yang akuntabel. Pada akhirnya, instansi pemerintah dan lembaga think tank perlu menjalankan perannya masing-masing sekaligus menjalin kolaborasi guna meningkatkan kualitas riset di Indonesia. Independensi dan kolaborasi menjadi aspek kunci untuk membentuk iklim riset yang kondusif untuk masa depan Indonesia. 

 

  • Share: