Kebijakan Tak Berpihak Tambah Kerentanan Masyarakat Adat

Masyarakat adat kerap dilihat sebagai kelompok rentan karena cara hidupnya yang berbeda dengan kelaziman modern. Padahal kerentanan itu justru datang dari berbagai kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat adat. Kerentanan itu kian bertambah ketika produk-produk hukum, kebijakan, dan program yang diloloskan selama pandemi tidak disusun dengan semangat melindungi masyarakat adat. Hal tersebut dipaparkan oleh Maksum Syam, Direktur Sajogyo Institute dalam forum berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19”, diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Kebijakan Tak Berpihak Tambah Kerentanan Masyarakat Adat

Masyarakat adat kerap dilihat sebagai kelompok rentan karena cara hidupnya yang berbeda dengan kelaziman modern. Padahal kerentanan itu justru datang dari berbagai kebijakan yang tak berpihak pada masyarakat adat. Kerentanan itu kian bertambah ketika produk-produk hukum, kebijakan, dan program yang diloloskan selama pandemi tidak disusun dengan semangat melindungi masyarakat adat. 

Hal tersebut dipaparkan oleh Maksum Syam, Direktur Sajogyo Institute dalam acara  KSIxChange#36: ALMI Special Scientist Series pada Selasa (21/9) lalu. Forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19” itu diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). 

Forum tersebut menghadirkan pembicara yang memaparkan situasi kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Selain Maksum, pembicara lainnya adalah peneliti pendidikan Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya, peneliti seni dan budaya Universitas Negeri Jakarta Apriani Murwanti, peneliti ilmu sosial budaya dan agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Najib Burhani, peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto, dan peneliti kesehatan Universitas Hasannudin Sudirman Nasir. Inaya Rakhmani dan Evi Eliyanah dari ALMI menjadi moderator diskusi. Acara yang disiarkan di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dilengkapi dengan kehadiran penerjemah dan juru bahasa isyarat.

Maksum menegaskan, masyarakat adat punya hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Namun, sampai saat ini pengakuan keberadaan mereka hanya sebatas pengakuan identitas. “Seharusnya pengakuan itu menyeluruh, diikuti dengan pengakuan pada sumber daya dan ruang hidup. Yang terjadi sekarang ruang hidup masyarakat adat belum diakui sehingga ada konflik dengan negara dan swasta,” ujar Maksum. 

Lebih lanjut, Maksum menyebut bahwa setidaknya ada tiga masalah utama mengapa pengakuan negara kepada ruang hidup dan sumber daya masyarakat adat menjadi sulit. Ketiga masalah tersebut adalah tumpang tindihnya klaim penguasaan lahan, pengakuan bersyarat yang mahal dan panjang, hingga belum sinkronnya peraturan hak masyarakat adat.

Aturan yang tumpang tindih

Meski keberadaan masyarakat adat telah dijamin Undang-Undang, tumpang tindih klaim penguasaan lahan terus terjadi. Hal ini lantaran prioritas perlindungan masyarakat hukum adat kerap bertentangan dengan prioritas lain. Maksum mencontohkan bagaimana masyarakat adat di Pandumaan Sipituhuta di Sumatera Utara kesulitan mendapat wilayah adat seiring dengan penetapan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba oleh pemerintah. “Kepentingan hak hidup masyarakat terganjal kepentingan, prioritas, dan obsesi negara atas pengembangan kawasan pariwisata sebagai sumber ekonomi tanpa melihat aspek keberlanjutannya,” kata Maksum. 

Selain dengan negara, masyarakat adat juga harus berhadapan dengan kepentingan kapital. Ini misalnya terjadi di Sorolangun, Jambi, ketika masyarakat adat Orang Rimba sulit mendapat wilayah akibat adanya klaim hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit.

Di sisi lain, pengakuan terhadap tanah adat bukan proses yang bisa dilalui dengan cepat. “Perlu waktu yang lama dan biaya yang tidak murah,” ungkap Maksum. 

Di Sulawesi Tengah, misalnya, masyarakat adat perlu biaya hingga Rp 700 juta untuk mendapatkan pengakuan dalam bentuk peraturan daerah. Uang sebanyak itu diperlukan untuk proses konsultasi publik, lobi dan dengar pendapat yang membutuhkan waktu hingga dua tahun. 

Ketika masyarakat adat mau mengajukan penetapan hutan adat melalui jalur yang telah ditentukan, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), prosesnya lambat. Ini misalnya terjadi dalam pengajuan pengesahan hutan adat Rejang Lebong yang sudah diajukan kepada pemerintah sejak tahun 2018. Sampai saat ini, belum ada titik terang terkait pengajuan tersebut. 

Perlunya sinkronisasi hukum

Persoalan yang dihadapi masyarakat adat semakin kompleks dengan belum sinkronnya peraturan hak masyarakat adat. UU Cipta Lapangan Kerja yang memprioritaskan pengembangan ekonomi skala besar berbasis kawasan berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat adat disahkan dengan cepat. Di sisi lain, pembahasan Rancangan UU Masyarakat Adat justru stagnan. “Ironinya itu semua terjadi di tahun-tahun ketika pandemi merebak. Ketika pemerintah seharusnya memprioritaskan hak ruang hidup masyarakat adat,” ujar Maksum.

Maksum menyebut solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk mengurangi kerentanan masyarakat adat adalah pengesahan RUU Masyarakat Adat. Lebih lanjut, pengesahan RUU tersebut dapat memastikan sinkronisasi berbagai aturan yang menghambat proses percepatan penetapan wilayah adat, serta bisa merealisasikan perintah Mahkamah Konstitusi nomor 35/2012 tentang Hutan Adat. “Sehingga ujungnya dapat mengentaskan konflik di wilayah adat, baik di wilayah hutan maupun lahan non-APL (area penggunaan lain),” terang Maksum.

Langkah tersebut perlu diikuti dengan upaya lain, seperti menghentikan perizinan dan usaha yang berpotensi membuat konflik dengan masyarakat hukum adat. Negara juga perlu memberikan perhatian kepada bentuk-bentuk pengelolaan agraria berbasis adat. 

Pada akhirnya, Maksum menyebut bahwa masyarakat adat yang dianggap rentan itu sesungguhnya justru adalah kelompok yang tangguh. Secara internal, mereka memiliki modal sosial yang kuat. Mereka juga memiliki sistem pemenuhan kebutuhan yang tidak bergantung pada mekanisme pasar. Cara masyarakat mengelola sumber daya terbukti membuat mereka tidak banyak terpengaruh krisis ekonomi nasional maupun global, termasuk ketika pandemi berlangsung. 

Kerentanan mereka muncul karena kebijakan yang tak berpihak. “Selain itu jangan lupakan pemenuhan hak kesehatan di kala pandemi seperti ini, terutama vaksinasi bagi masyarakat adat,” tutup Maksum. 

  • Share: