Pelaku Ekonomi Kreatif Layu di Masa Pandemi

Kelangsungan ekonomi pelaku industri kreatif jadi tak menentu selama pandemi. Sumber ekonomi dari helatan acara, program, pameran, bazar, dan lain-lain yang terhenti di tengah pembatasan aktivitas oleh pemerintah menambah kerentanan pelaku ekonomi kreatif. Hal tersebut dipaparkan oleh Aprina Murwanti dalam forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19”. Forum tersebut diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Pelaku Ekonomi Kreatif Layu di Masa Pandemi

Kelangsungan ekonomi pelaku industri kreatif jadi tak menentu selama pandemi. Sumber ekonomi dari helatan acara, program, pameran, bazar, dan lain-lain yang terhenti di tengah pembatasan aktivitas oleh pemerintah menambah kerentanan pelaku ekonomi kreatif.

Hal tersebut dipaparkan oleh Aprina Murwanti dalam acara  KSIxChange#36: ALMI Special Scientist Series pada Selasa (21/9) lalu. Forum yang berjudul “Bagaimana Ilmu Sosial Humaniora Dapat Melindungi Kelompok Rentan Akibat Pandemi Covid-19” itu diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Forum tersebut menghadirkan pembicara yang memaparkan situasi kelompok-kelompok rentan di Indonesia. Selain Aprina, pembicara lainnya adalah peneliti pendidikan Universitas Negeri Semarang Zulfa Sakhiyya, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Maksum Syam, peneliti ilmu sosial budaya dan agama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Najib Burhani, peneliti ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto, dan peneliti kesehatan Universitas Hasannudin Sudirman Nasir. Inaya Rakhmani dan Evi Eliyanah dari ALMI menjadi moderator diskusi. Acara yang disiarkan di kanal Youtube The Conversation Indonesia ini dilengkapi dengan kehadiran penerjemah dan juru bahasa isyarat.

Potensi yang meredup

Pada kesempatan tersebut, Aprina memaparkan bahwa sejatinya sektor ekonomi kreatif memiliki prospek yang cerah terhadap perekonomian Indonesia. Pada 2019, misalnya, nilai kontribusi sektor ekonomi kreatif kepada ekspor Indonesia mencapai 20 miliar dolar Amerika Serikat. “Sebelum pandemi, pemerintah bahkan memproyeksikan kontribusi ekraf terhadap PDB di tahun 2020 seharusnya bisa mencapai Rp 1,274 triliun dan berpotensi menyumbang 19,8 juta lapangan kerja jika pandemi tidak merebak,” ungkapnya.

Namun, pandemi mengubah proyeksi tersebut. Pemerintah mencatat terdapat 226.586 pekerja kreatif yang terdampak pandemi. Aprina mengutip hasil survei Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) yang menyebut bahwa dari 139 responden, ada 61,35 persen yang mengalami pembatalan kerja atau proyek. Adapun sebanyak 32,8 persen responden kehilangan pemasukan sebesar Rp 5 juta hingga Rp 15 juta pada periode Maret - Juli 2020 lalu. “Situasinya menjadi pelik lantaran banyak dari komunitas dan organisasi seni masih harus menanggung biaya overhead seperti sewa tempat, listrik, dan gaji karyawan,” tambahnya.

Setali tiga uang, selama ini pekerja kreatif belum memiliki mekanisme jaminan sosial yang melindungi mereka. Aprina menyebut sejumlah faktor sebagai penyebabnya, mulai dari anggapan bahwa pekerja kreatif merupakan pekerja informal, tanpa kontrak kerja, dianggap pekerja mandiri, hingga dikonstruksikan berbeda dengan pekerja kerah putih dan kerah biru. “Hal-hal tersebut menjadi isu untuk memberikan mekanisme jaminan sosial tertentu lantaran sulitnya verifikasi dan sertifikasi,” terangnya.

Meskipun demikian, pekerja kreatif bukannya pasrah menghadapi situasi. Mereka tetap bersiasat. Outlook Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2020/2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebut, pengubahan bentuk acara dari format luring menjadi daring adalah salah satu siasat yang dilakukan. 

Berdasarkan sumber data yang sama, 75 persen pelaku ekonomi kreatif mencari ilmu lain yang dapat diterapkan pada situasi pandemi. Pada sisi lain, hampir 79 persen pelaku ekraf melakukan efisiensi biaya.

Siasat lain yang dilakukan terkait adanya persaingan pelaku usaha adalah dengan aktif merespons kompetitor, mengubah strategi bisnis, mencoba proyek baru, dan berani melakukan aktivitas lain yang benar-benar baru. “Namun hal tersebut juga tidak terlalu berdampak untuk bisa menggerakkan roda ekonomi kreatif seperti semula, lantaran presentase proyek dan acara ditangguhkan atau bahkan dibatalkan tetap lebih besar,” jelas Aprina.

Perlu penyederhanaan bantuan

Beberapa mekanisme bantuan sudah diagendakan pemerintah untuk membantu para pekerja di sektor ekonomi kreatif. Mulai dari bantuan langsung tunai hingga fasilitasi bidang kebudayaan. Namun, ada masalah di sisi pendataan hingga penyalurannya. 

Aprina menyebut hal itu muncul dari mulai dari aspek administratif sampai tumpang tindihnya kewenangan yang akhirnya membatasi bantuan. “Seperti bagaimana Kemenparekraf hanya memberikan bantuan bagi sub-bidang kreatif tertentu seperti kriya, film, dan animasi. Sedangkan sub-bidang lainnya tidak,”  tutur Aprina.

Aprina menilai penyederhanaan administrasi pendataan dan bantuan dapat menjadi salah satu solusi konkret. “Misalnya ketentuan hibah, yang sebelumnya sangat ketat karena hanya boleh digunakan untuk membiayai hal-hal tertentu, perlu disesuaikan di situasi pandemi,” sarannya.

Selain itu, perspektif dalam melihat pekerja kreatif juga perlu diubah. Selama ini, pekerja kreatif menjadi rentan lantaran pandangan bahwa mereka bisa bekerja secara fleksibel. Hal itu justru membuat mereka bisa tereksploitasi.

Untuk itu, Aprina menekankan perlunya pendekatan multiperspektif guna menemukan solusi yang tepat dalam membantu pekerja kreatif menghadapi pandemi. “Sebab bagaimanapun juga sektor ekonomi kreatif adalah wahana penjaga mental dan kohesi masyarakat di situasi tidak menentu ini,” tutupnya.

  • Share: