Pembangunan Rendah Karbon Bisa Kurangi Kemiskinan Ekstrim

Akibat pandemi, tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia meningkat dari 3,08 persen menjadi 3,2 persen pada 2020. Pembangunan rendah karbon diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan ekstrim tersebut.

Pembangunan Rendah Karbon Bisa Kurangi Kemiskinan Ekstrim

Akibat pandemi, tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia meningkat dari 3,08 persen menjadi 3,2 persen pada 2020. Pembangunan rendah karbon diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan ekstrim tersebut.

Demikian salah satu poin serial diskusi KSI for Research, Development and Innovation atau KSI4RDI bertajuk “Klaster kemiskinan kronis dari aspek pembangunan rendah karbon dan perlindungan sosial” pada Kamis (30/9). Acara ini diselenggarakan Pusat Analisis Kebijakan dan Kinerja (PAKK) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dukungan dari Knowledge Sector Initiative (KSI). Narasumber diskusi daring ini adalah Peneliti SMERU Research Institute Mayang Rizky dan Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso. Acara ini dimoderatori oleh Tenaga Ahli PAKK Bappenas Gusti Raganata.

Pembangunan rendah karbon bertujuan mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah emisi yang meminimalkan eksploitasi sumber daya alam. Bappenas saat ini tengah menyiapkan platform baru pembangunan ini sebagai bagian dari implementasi ekonomi hijau.

Peneliti SMERU Mayang Rizky menjelaskan, selama ini tingkat kemiskinan ekstrim di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan angka kemiskinan nasional yang mencapai sekitar 9 persen. Selama 1981 hingga 2019, tren angka kemiskinan pun terus menurun. Akan tetapi, ketika angka kemiskinan semakin rendah, laju pengentasan kemiskinan menjadi lambat karena persoalan yang harus diselesaikan semakin kompleks. Ketika pandemi datang, laju pengentasan kemiskinan kian melambat dan angka kemiskinan ekstrim pun meningkat.

Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo menargetkan kemiskinan ekstrim akan hilang pada 2024. Visi ini sejalan dengan salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang mencita-citakan berakhirnya kemiskinan dalam bentuk apapun dan di manapun. Dalam konteks itu, pemerintah memang telah meluncurkan sejumlah program untuk mengentaskan kemiskinan ekstrim, antara lain program sembako dan Program Keluarga Harapan atau PKH. Hanya saja, tidak semua kelompok miskin ekstrim mendapat bantuan tersebut. “Belum semua keluarga yang termasuk miskin ekstrim menerima bantuan. Dari perangkat pemerintah (daerah) juga mengakui bahwa mereka mempunyai kendala dalam hal meng-update DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial),” kata Mayang.

Berdasarkan penelitian tentang kemiskinan ekstrim yang dilakukan SMERU, dari 2,8 juta rumah tangga yang tergolong miskin ekstrim menurut DTKS, hanya 2,2 juta yang menerima Program Sembako dan 1,9 juta yang mendapat bantuan PKH. Itu berarti, ada bantuan yang tidak tepat sasaran, dan hal itu dapat berdampak pada laju pengentasan kemiskinan ekstrim.

Menurut Mayang, perlu upaya khusus untuk menyukseskan agenda penghapusan kemiskinan ekstrim pada 2024. SMERU merekomendasikan agar program penanggulangan kemiskinan yang sudah berjalan saat ini diperluas cakupannya. Data DTKS perlu dimutakhirkan agar dapat menjangkau rumah tangga miskin ekstrim yang belum mendapat bantuan. Selain itu, perlu program khusus dan tambahan, seperti bantuan bagi penyandang disabilitas dan lansia di keluarga miskin ekstrim.

Terkait dengan pengurangan kemiskinan ekstrim melalui program pembangunan rendah karbon, ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan. Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso mengatakan, dua di antaranya adalah Program Perhutanan Sosial (PPS) dan diversifikasi ekonomi.

PPS merupakan program pemberian hak bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengelola hutan. Melalui PPS, jumlah perambahan hutan diharapkan berkurang sehingga bisa mencegah deforestasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Hasil riset Article 33 menyimpulkan bahwa selama kurun 2010-2018, PPS memang berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebesar 5,32 persen. Meskipun demikian, laju deforestasi masih tetap di angka 18 persen. “Deforestasi ini proses jangka panjang dan faktor yang mempengaruhinya cukup banyak,” kata Santoso.

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah melalui diversifikasi ekonomi. Program ini merupakan upaya reformasi agar daerah tidak bergantung pada satu sektor ekonomi atau memiliki beragam sumber pertumbuhan. Dengan begitu, eksploitasi terhadap sumber daya alam tak terbarukan diharapkan bisa menurun, sekaligus mendorong perubahan sektor ekonomi ke arah yang lebih ramah lingkungan atau berkelanjutan.

Menurut Santoso, diversifikasi ekonomi dapat membawa kesejahteraan. Namun, hal itu butuh waktu. Bahkan dalam jangka pendek, ada biaya-biaya yang perlu ditanggung, termasuk biaya penyesuaian untuk realokasi sektor. Daerah yang semula fokus di batu bara dan ingin merambah sektor pariwisata maupun perkebunan, misalnya, perlu menginvestasikan biaya untuk masuk ke sektor baru tersebut. “Diversifikasi ini secara ekonomi politik bukan policyyang populer, meski pemerintah daerah menyambut hangat. Namun konsekuensinya yang tidak populer. Ini kebijakan yang tidak nyaman,” ujarnya.

Peneliti Article 33 Sandy Maulana menambahkan, berdasarkan penelitian Article 33, sejauh ini belum ada bukti bahwa program yang bersifat komunal atau kelompok seperti PPS dan diversifikasi ekonomi mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin ekstrim. Sebab dalam banyak kasus, kelompok miskin ekstrim hanya menjadi penonton dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang menyasar individu, bukan hanya mengintervensi komunitasnya.

Berdasarkan pengayaan sudut pandang dan elaborasi oleh peneliti SMERU dan Article 33 diatas, PAKK Bappenas akan menyusun policy brief tentang pembangunan rendah karbon yang memberikan pengaruh terhadap penanggulangan kemiskinan ekstrim. Policy brief ini diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi terhadap aspek-aspek strategis dari pembangunan rendah karbon untuk pengurangan kemiskinan ekstrim kepada pimpinan maupun pemangku kepentingan terkait.

KSI4RDI (KSI for Research, Development, and Innovation) merupakan wadah untuk mempertemukan dan memperluas jaringan kelembagaan di antara sektor pengetahuan di Indonesia terutama dalam penelitian, pembangunan dan inovasi. Serial diskusi KSI4RDI diharapkan dapat memfasilitasi interaksi dan kolaborasi antar penghasil pengetahuan dan pembuat kebijakan untuk mendukung proses knowledge-to-policy. Kegiatan serial diskusi KSI4RDI kali ini ditujukan untuk mendukung peran PAKK Bappenas dalam memberikan masukan dan rekomendasi kebijakan berbasis pengetahuan. Pertukaran informasi ini diharapkan dapat memperkaya dan menajamkan keluaran analisis agar responsif terhadap kebutuhan perumusan kebijakan.

  • Share: