Advokasi Sajogyo Institute Kawal Kebijakan Reformasi Agraria

Sajogyo Institute bergerak dalam pengembangan pengetahuan agraria dan pembaruan perdesaan melalui penelitian, pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan, dengan tujuan untuk membangun massa kritis dalam gerakan menegakkan keadilan agraria dan membangun kemandirian desa. Pendekatan penelitian yang dipakai Sajogyo Institute adalah Kaji Tindak Partisipatoris. Dengan pendekatan tersebut, Sajogyo Institute melakukan “Studi Kajian Kebijakan Pendaftaran Tanah dan Usulan Tanah Objek Reforma Agraria” sebagai bagian dari advokasi kebijakan agar petani mendapatkan hak atas tanah (redistribusi tanah).

Advokasi Sajogyo Institute Kawal Kebijakan Reformasi Agraria

Sajogyo Institute didirikan pada 10 Maret 2005 dan merupakan lembaga yang bergerak dalam pengembangan pengetahuan agraria dan pembaruan perdesaan melalui penelitian, pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan, dengan tujuan untuk membangun massa kritis dalam gerakan menegakkan keadilan agraria dan membangun kemandirian desa. Karakter khas dari warisan tradisi intelektual empat serangkai (Alm. Prof. Sajogyo, Almh. Prof. Pudjiwati, Alm. Prof. Tjondronegoro dan Alm. Prof. Gunawan Wiradi) membentuk salah satu tradisi ilmu-ilmu sosial-ekonomi di Indonesia yang memiliki keberpihakan kuat pada masyarakat marginal: mayoritas penduduk desa, petani gurem, buruh tani, kelompok perempuan, dan lain-lain. Melalui keberpihakan ini, keempatnya mendapatkan tempat tersendiri dalam khazanah pemikiran dan praksis ilmu sosial di tanah air yang dikenal sebagai Mazhab Bogor. Dengan semangat dasar dari para pendirinya, Sajogyo Institute mengembangkan kelembagaannya selaras dengan tantangan dan tuntutan zaman. Kerja-kerja penelitian, pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan Sajogyo Institute berada pada isu-isu berikut: a) Politik konsesi, perubahan tata guna lahan, dan rantai komoditas global, b) Perjuangan akses perempuan atas tanah dan sumber daya alam, c) Gerakan-gerakan sosial perdesaan untuk perjuangan kedaulatan tanah, dan d) Perubahan politik dan kebijakan agraria.

 

Pendekatan penelitian yang dipakai Sajogyo Institute adalah Kaji Tindak Partisipatoris. Kaji Tindak Partisipatoris diambil dari pendekatan penelitian Participatory Rural Appraisal (PRA), atau Participatory Learning and Action (PLA), dengan slogan ‘Belajar Bersama, Bertindak Setara’. Esensinya dari pendekatan ini adalah belajar dan bertindak bersama masyarakat melalui proses aksi-refleksi yang terus menerus selama dan pada setiap tahapan kegiatan. Dengan pendekatan tersebut, Sajogyo Institute melakukan “Studi Kajian Kebijakan Pendaftaran Tanah dan Usulan Tanah Objek Reforma Agraria” sebagai bagian dari advokasi kebijakan agar petani mendapatkan hak atas tanah (redistribusi tanah). Studi tersebut dilakukan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Kedua lokasi tersebut dipilih sesuai kriteria subjek dan objek advokasi Sajogyo Institute, yakni adanya agenda reforma agraria yang disusun dari bawah atau dari masyarakat sendiri, dan memiliki aktor reformis di tubuh pemerintahannya. 

Keadilan Reforma Agraria: Upaya yang Terus Berjalan

Sejak 2014, Sajogyo Institute telah berkiprah signifikan dalam mendorong lahirnya Peraturan Presiden Reforma Agraria sebagaiagenda prioritas Presiden Joko Widodo. Beberapa upaya yang dilakukan Sajogyo Institute antara lain, a) Bersama Konferensi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyusun Buku Putih (White Paper) Reforma Agraria sebagai basis naskah akademik Perpres Reforma Agraria, b) Menginisiasi substansi, menjadi fasilitator, dan memberikan rekomendasi pada rangkaian kegiatan Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA), dan c) Memproduksi Naskah Kebijakan Usulan Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria.

Dengan segala dinamika politik yang berkembang, terutama pada era pemerintahan Joko Widodo, Sajogyo Institute pada 2019 kembali melakukan studi Reforma Agraria di Kabupaten Sigi dan Malang sebagai respons atas diterbitkannya Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria (selanjutnya disebut Perpres 86/2018) sebagai pengejawantahan janji politik presiden yang tertuang dalam Nawacita kelima, yaitu “Meningkatkan Kualitas Hidup Indonesia… melalui Reforma Agraria”. Pada riset ini, Sajogyo Institute mengadakan desk study untuk menggali perkembangan kebijakan inventarisasi tanah dan pendaftaran tanah di Indonesia sejak masa kepemimpinan Soekarno hingga hari ini. Melalui penelitian tersebut, Sajogyo Institute menemukan perbedaan yang sangat signifikan dalam kebijakan di tiap periode pemerintahan. Berangkat dari temuan ini, Sajogyo Institute merumuskan kajian perkembangan kebijakan inventarisasi tanah untuk Reforma Agraria dari waktu ke waktu. 

Guna melaksanakan Reforma Agraria, pemerintah mencadangkan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta hektar yang terdiri dari komponen legalisasi aset, redistribusi aset, dan pelepasan kawasan hutan. Secara nasional, capaian realisasi Reforma Agraria umumnya berjalan baik[1], walaupun di kawasan hutan capaian tersebut tidak signifikan. Namun, di daerah yang pernah mengalami konflik seperti Kabupaten Sigi, dan daerah yang benar-benar membutuhkan tanah pertanian seperti Kabupaten Malang, capaiannya masih kurang. 

Dari penelitian lapangan dan kebijakan yang telah dilakukan, Sajogyo Institute memetakan tiga masalah utama dalam program Reforma Agraria. Pertama, banyaknya penapisan dalam program Reforma Agraria itu sendiri terutama dalam konteks Reforma Agraria dalam kawasan hutan. Selain Perpres 86/2018, kawasan hutan memiliki peraturan tersendiri untuk penyelesaian tapal batas kawasan hutan, yaitu Perpres 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Dari peraturan ini, terdapat turunan peraturan dan petunjuk teknis sebagai bahan penilaian untuk menentukan TORA. Dari sini muncul berbagai persoalan, seperti banyaknya indikator penilaian yang tidak bersesuaian dengan usulan TORA dari masyarakat. 

Masalah lainnya adalah digunakannya peraturan biasa dalam penyelesaian konflik selama ini, yang semestinya perlu ditopang peraturan yang komprehensif. Akibatnya, tidak ada kemajuan berarti dalam proses penyelesaian konflik. Ketiga, dibutuhkannya political will, terutama dari tingkat pemerintahan pusat, untuk menyiasati keterbatasan peraturan dalam penyelesaian konflik agraria. Dalam konteks permasalahan tersebut, Sajogyo Institute berupaya menjadi perantara antara Organisasi Tani Lokal (OTL) dengan pihak pemerintah agar redistribusi tanah di lokasi-lokasi yang telah menjalani proses usulan TORA dapat terlaksana. 

Advokasi Inklusif

Sajogyo Institute melakukan advokasi kebijakan Reforma Agraria dengan melibatkan Organisasi Tani Lokal (OTL) maupun kelompok tani calon penerima manfaat TORA secara aktif. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, Sajogyo Institute bersama OTL dan kelompok tani mendorong proses kebijakan Reforma Agraria ke pihak terkait, baik pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) maupun Dinas Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) setempat. Sajogyo Institute juga melakukan penguatan dan konsolidasi organisasi, baik secara horizontal antar anggota dalam organisasi dan kelompok tani, maupun secara vertikal melibatkan organisasi masyarakat sipil lain yang sejalan dengan agenda Sajogyo Institute dan kelompok tani. Selanjutnya Sajogyo Institute dan OTL mengusulkan dan mendorong proses redistribusi tanah di lokasi prioritas sesuaikebutuhan OTL maupun kelompok tani. 

Agar proses advokasi berjalan efektif dan strategis, Sajogyo Institute mendorong advokasi ini untuk dikerjakan dengan skema kolaborasi dengan beragam pihak. Di Kabupaten Malang, Sajogyo Institute melibatkan Forum Komunikasi Petani Malang Selatan (Forkotmas) sedangkan di Kabupaten Sigi Sajogyo Institute melibatkan kelompok tani dari masing-masing desa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, serta komunitas mahasiswa, akademisi lokal, juga individu-individu yang memiliki semangat dan jiwa keadilan Reforma Agraria.

Dalam advokasi kebijakan Reforma Agraria, Sajogyo Institute juga mengedepankan pendekatan kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI). Sajogyo Institute mengupayakan agar semua pertemuan, baik dengan pihak pemerintah, akademisi, kelompok tani, dan komunitas lokal, selalu mempertimbangkan keterwakilan perempuan dan kelompok miskin. Dalam proses diskusi terarah di Kantor Wilayah (Kanwil) Sulawesi Tengah, misalnya, Sajogyo Institute mengundang perwakilan perempuan dari Desa Bunga untuk hadir dan berpartisipasi. Pelibatan perempuan dan kelompok miskin dalam advokasi kebijakan TORA merupakan hal yang penting karena mereka memiliki peran dan kepentingan yang signifikan dan krusial dalam proses usulan TORA dan merupakanpenerima subjek TORA.

Analisis peranan dan keterlibatan perempuan serta kelompok miskin di perdesaan dalam mendorong TORA di daerah bertujuan untuk mengubah pandangan Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan Tim Pendaftaran Tanah untuk melihat lebih jeli lagi subjek penerima manfaat Reforma Agraria. Bagi Sajogyo Institute, perempuan dan kelompok miskin di perdesaan adalah subjek prioritas untuk menerima redistribusi tanah sehingga harus dikawal terus sampai proses redistribusi tanah benar-benar terlaksanasecara inklusif.

Dukungan Knowledge Sector Initative (KSI)

Dukungan dari KSI memungkinkan Sajogyo Institute melakukan beberapa studi dan kerja-kerja advokasi kebijakan Reforma Agraria. Tema kajian ketimpangan tanah yang didukung KSI telah membantu mempopulerkan isu ketimpangan penguasaan tanah ke publik di mana Sajogyo Institute fokus pada advokasi, publikasi, dan diseminasi hasil studi. Tema ini setidaknya memberikan gambaran penting bahwa setiap kajian tata kelola tenurial harus selalu memperhitungkan ketimpangan penguasaan tanah. Dalam kondisi pandemi COVID-19 ini KSI juga telah memberikan kesempatan kepada Sajogyo Institute untuk mengembangkan bentuk-bentuk pengumpulan data dan pendistribusian hasil penelitian Sajogyo Institute berbasis daring.

 

[1] Per-Desember 2020, legalisasi aset mencapai 155,4% atau 6,99 juta ha dari target 4,5 juta ha dan redistribusi tanah mencapai 27,57% atau 1,24 juta ha dari target 4,5 juta ha

  • Share: