Only in Bahasa Indonesia
Upaya meningkatkan riset inklusif membutuhkan dukungan berupa infrastruktur dan sistem yang bisa mendorong pelaksanaan riset tersebut. Dengan demikian, riset yang inklusif tidak hanya tumbuh namun juga bisa berdampak pada proses pengambilan kebijakan sehingga menghasilkan kebijakan yang inklusif.
Demikian salah satu pokok bahasan dalam diskusi tematik yang dilaksanakan secara daring pada KSI4RDI#6 yang diadakan Knowledge Sector Initiative pada Selasa (2/9). Acara kali ini merupakan sesi kedua dari rangkaian diskusi yang bertema “GESI Streamline: Why is the Gender Equality and Social Inclusion (GESI) approach Important in Research?”. Sesi kedua ini mendiskusikan situasi terkini tren penelitian berbasis kesetaraan gender dan inklusi sosial, dengan fokus pada penelitian inklusif dan isu disabilitas. Hadir sebagai pembicara Karen R Fisher selaku Social Policy Research Centre Disability Policy Research Program dari University of New South Wales dan Direktur Advokasi dan Anggaran Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi. Moderator dalam diskusi ini adalah Dina Afrianty selaku Founder dan President Australia-Indonesia Research and Advocacy Network (AIDRAN). Diskusi ini disiarkan secara langsung di kanal Youtube The Conversation Indonesia.
Karen menuturkan, dalam penelitian sosial, perlu dipahami adanya konteks berupa relasi kuasa yang tidak seimbang. Penyandang disabilitas perlu ditempatkan dalam konteks tersebut. Selama ini, mereka tidak dilibatkan sehingga kesulitan untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Penyandang disabilitas juga hanya punya sedikit peluang untuk melakukan penelitian. “Kalaupun ada bisanya risetnya merupakan riset terapan sehingga ada banyak keterbatasan,” ujarnya.
Menurut dia, komitmen terhadap suatu penelitian yang inklusif diawali dengan adanya pemahaman akan masalah dan tujuan penelitian, baik tujuan praktis, politis maupun filosofis. Ia lantas menceritakan pengalamannya saat organisasi penyandang cedera saraf tulang belakang Australia (SCIA) menghubungi lembaganya. Organisasi ini membutuhkan penelitian tentang kondisi mereka. Lembaganya pun menerima permintaan itu dan kemudian berkolaborasi untuk mengadakan penelitian yang inklusif, dengan tujuan mendorong adanya perubahan kebijakan berbasis bukti. “Hasil riset ini diluncurkan oleh pemerintah, yakni kementerian yang bertanggung jawab pada masalah disabilitas dan juga parlemen. Orang yang berbicara dalam peluncuran hasil riset ini adalah orang yang mengalami cedera saraf tulang belakang,” tuturnya.
Berdasarkan pengalaman itu, ia menyimpulkan bahwa penelitian yang inklusif bisa sukses ketika hal itu dilakukan dengan berkolaborasi bersama banyak pihak termasuk dengan lembaga non pemerintah, melibatkan orang-orang yang punya pengalaman dengan isu disabilitas untuk menjadi peneliti maupun penasihat penelitian, menggunakan metode yang luas, menganalisis peran dari para pendukung penyandang disabilitas ketika melakukan penelitian, serta menggunakan medium yang mudah dibaca maupun dilihat baik saat melakukan penelitian maupun dalam pelaporannya.
Guna mendorong peneliti agar bisa semakin meningkatkan kualitasnya, Karen menekankan pentingnya membangun insfrastruktur riset yang inklusif baik dengan meningkatkan kerjasama antarlembaga guna membangun kapasitas bersama, serta membangun kolaborasi dengan lembaga non pemerintah, industri, universitas maupun pemerintah. Selain itu, peningkatan kapasitas bagi para peneliti juga penting.
Fajri Nursyamsi menuturkan, setelah Indonesia meratifikasi konvensi disabilitas, ada lembaran baru dalam melihat perspektif disabilitas. Dari sisi pendekatan, isu disabilitas semula dilihat dari aspek fisik dan mental seseorang sehingga intervensi yang dilakukan bertujuan mengubahnya menyesuaikan diri dengan lingkungan, misalnya dengan kebijakan yag sifatnya sukarela, berbasis amal dan pengobatan medis. Kini, pendekatan itu berubah menjadi model sosial dan berbasis pemenuhan hak dengan memandang disabilitas sebagai dampak dari konstruksi sosial dan lingkungan, sehingga fokusnya mengubah lingkungan agar bisa sesuai dengan kondisi disabilitas. Kebijakan pun diarahkan sebagai bentuk pemenuhan hak warga negara. “Ketika kebijakan bantuan sifatnya sukarela, maka itu menjadi prioritas terakhir. Kalau basisnya pemenuhan hak, maka anggarannya menjadi prioritas,” jelasnya.
Di bidang penelitian, lanjut dia, pengarusutamaan isu disabilitas bisa dilakukan antara lain dengan memperhitungkan dampak penelitian terhadap penyandang disabilitas, menyediakan aksesibilitas dan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas untuk terlibat dalam penelitian, serta memasukkan anggaran untuk penyediaan aksesibilitas dan akomodasi layak bagi penyandang disabilitas dalam penelitian prioritas pemerintah.
Menurut dia, saat ini pengarusutamaan isu disabilitas dalam penelitian di Indonesia masih menghadapi tantangan. Secara umum, cara pandang terhadap penyandang disabilitas masih sama, bahwa penyandang disabilitaslah yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Selain itu, isu disabilitas masih diposisikan sebagai isu tersendiri sehingga para peneliti kurang terinsipirasi untuk mengaitkan penelitiannya dengan isu disabillitas. Kemudian dari sisi dorongan belum ada insentif maupun kewajiban untuk menjadikan isu disabilitas diperhitungkan dalam setiap penelitian. “Selain itu, dari sisi sumber daya manusia, peneliti yang merupakan penyandang disabilitas ataupun yang aktif dalam jaringan organisasi penyandang disabilitas masih minim,” tambahnya.
Melihat hal itu, dukungan sangatlah diperlukan guna mengarusutamakan isu disabilitas dalam penelitian. Antara lain dengan memasukkan aspek pengarusutamaan isu disabilitas sebagai salah satu poin untuk menilai kualitas penelitian, menggunakan hasil penelitian dengan isu disabilitas sebagai dasar penyusunan kebijakan, membangun skema penganggaran bagi penelitian dengan isu disabilitas, serta membangun sistem serta fasilitas pendukung penelitian yang inklusif.
Sebagai penutup, Dina Afrianty dari AIDRAN yang bertindak selaku moderator menambahkan bahwa isu disabilitas sangat interseksionalitas. Terdapat persinggungan beberapa faktor didalamnya seperti gender, kelas, kemiskinan, geografis dsb. Maka dari itu penting untuk mencermati beberapa persinggungan yang sangat kompleks tersebut sehingga akan menghasilkan analisis yang kaya dan mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dalam penilitian. Menjadi penting untuk memaksimalkan framework yang telah ada di Indonesia untuk mendukung upaya mainstreaming isu inklusi sosial utamanya penyadang disabilitas dalam agenda pembangunan yang berfokus pada penanganan Covid-19. “Dan yang terpenting adalah menghadirkan isu-isu disabilitas di ruang publik sehingga semua orang akan menjadi sadar betapa pentingnya untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan disabilitas sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan dalam tatanan kehidupan masyarakat”, ungkap Dina.
KSI4RDI (KSI for Research, Development and Innovation) adalah diskusi interaktif yang di inisiasi oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) kemitraan antara pemerintah Indonesia dan Australia dengan pendanaan dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT). Kegiatan diskusi KSI4RDI GESI Streamline bertujuan untuk mendukung peningkatan penggunaan bukti dalam konteks kesetaraan gender dan inklusi sosial dalam proses pembuatan kebiajakan yang secara langsung akan mendorong para pembuat kebijakan menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan tepat sasaran.
Baca juga ulasan KSI4RDI GESI Streamline edisi pertama
Gelaran serial diskusi KSI4RDI#4 GESI Streamline sesi kedua mempertemukan peneliti/produsen pengetahuan dan pelaku sektor program pembangunan/ kemanusiaan dari Australia dan Indonesia untuk mendiseminasikan contoh praktik baik yang dilakukan oleh organisasi/lembaga dalam mengarusutamakan pendekatan GESI yang berfokus pada inklusi sosial terhadap penyandang disabilitas dalam penelitian dan program.