Pengetahuan dan hasil riset sangat diperlukan dalam penanganan pandemi virus corona atau COVID-19. Tujuannya agar kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah pusat maupun daerah bersifat inklusif dan berkelanjutan. Karena itu, perlu ada penyelarasan antara kebutuhan riset yang diinginkan kepada kelompok peneliti dan pengetahuan hasil penelitian sebagai bahan pengambil kebijakan pemerintah.
“Kemenristek/BRIN membentuk Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 untuk menyelaraskan dan mengakselerasi riset dan inovasi yang bisa digunakan pemerintah, swasta, maupun masyarakat untuk menghadapi pandemi,” kata Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional Ali Ghufron Mukti saat berdiskusi di KSIxChange #24 dengan tajuk “Penyelarasan Riset Pandemi COVID-19 dalam Proses Pengambilan Kebijakan yang Berkelanjutan dan Inklusif, Selasa, 30 Juli 2020.
Ghufron mengatakan riset dan inovasi yang diperlukan oleh pemerintah adalah yang membantu mencegah, mendeteksi, dan merespon secara cepat penanggulangan pandemi COVID-19. Kelompok peneliti diharapkan menghasilkan riset dan inovasi di bidang pencegahan berupa vaksin maupun suplemen, screening, diagnosis, pengobatan dan teknologi alat kesehatan terkait COVID-19. Sementara sektor industri akan terlibat dalam memproduksi massal hasil riset dan inovasi kesehatan.
Contoh sukses hasil penyelarasan riset dan inovasi adalah produksi ventilator yang sangat dibutuhkan oleh pasien COVID-19 dengan gangguan pernafasan. Karena kebutuhan atas alat ini sangat tinggi, Konsorsium mendorong kelompok peneliti segera mengembangkan ventilator dan menghubungkan industri.
“Kerja sama triple helix yang singkat ini menghasilkan ventilator yang jauh lebih murah dibandingkan produk impor,” kata Ghufron.
Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Hadiat mengatakan perlu komunikasi penelitian untuk menyelaraskan hasil riset dan inovasi. Riset yang dilakukan oleh kelompok peneliti mesti dikomunikasikan untuk menghasilkan kebijakan publik yang bisa diimplementasikan sesuai kebutuhan masyarakat. Hadiat menuturkan komunikasi bisa berjalan baik dengan peningkatan ekosistem pengetahuan dan inovasi di Indonesia.
“Peningkatan ekosistem ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola regulasi, mendorong partisipasi dan kolaborasi, memenuhi kebutuhan SDM, meningkatkan kapasitas inovasi, dan menguatkan kapasitas respon terhadap kondisi global maupun nasional,” kata Hadiat.
Di sini, ujar Hadiat, Bappenas bertugas merencanakan kebijakan penanganan COVID-19 berdasarkan bukti dan pengetahuan. Rancangan yang dibuat oleh Bappenas berdasarkan masukan pakar ahli, pengalaman baik dari negara lain, serta penyesuaian dengan konteks dan situasi Indonesia. Setelah itu, Bappenas berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga di pusat maupun daerah untuk mengimplementasikan rencana penanganan COVID-19.
“Kami, di Bappenas, membentuk Gugus Tugas COVID-19 yang bertugas menyusun kebijakan tanggap darurat, dokumen studi bersama, dan menyusun kebijakan perencanaan dan penganggaran RKP,” kata Hadiat.
Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI) Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan banyak peneliti atau lembaga penelitian yang terjebak pada zona nyamannya sendiri sehingga sulit menyelaraskan riset dan inovasi. Mereka membuat penelitian yang sesuai passion bukan berdasarkan kebutuhan pemangku kebijakan dan masyarakat.
“Konsorsium riset dan inovasi penting untuk mengurangi ego disiplin dan ego antar-lembaga sehingga lebih selaras dan menghasilkan kebijakan yang inklusif,” kata Profesor Nuke.
Untuk mengatasi ego disiplin dan ego antarlembaga, Nuke menyarankan fokus pada kolaborasi yang terjalin di Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19. Setiap institusi harus saling berkomunikasi satu sama lain sejak riset dimulai untuk meminimalisir kesalahan kebijakan. Mereka perlu menyepakati pembagian output yang dihasilkan untuk mencapai target bersama.
Nuke juga meminta ilmuwan di bidang sosial untuk tidak menunggu tetapi aktif bergerak dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk menghasilkan solusi perubahan masyarakat yang lebih baik. Ia menyarankan para ilmuwan untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi agar diperhitungkan oleh pemerintah pusat maupun daerah sehingga bisa mempengaruhi kebijakan.
“Ilmuwan bisa dekat dengan pemangku kebijakan tapi indepedensi tetap harus terjaga“ ujar Nuke.
Langkah ke depan, diskusi KSIxChange #24 ini menjadi forum pembuka untuk kegiatan serial diskusi KSI4RDI yang akan dilaksanakan bekerjasama dengan Kementerian dan Lembaga terkait seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) dan Gugus Tugas Nasional. Serial diskusi ini juga akan melibatkan berbagai aktor yang terlibat dalam ekosistem pengetahuan yang berkelanjutan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai lembaga penelitian kebijakan. Tujuan utama dari diskusi ini adalah untuk membahas lebih lanjut sinergi rencana studi pembelajaran di berbagai sektor/cluster terkait kajian Pandemi Covid-19.
Diskusi online KSIxChange #24 ini bertujuan untuk memperkuat penyelarasan hasil riset pandemi COVID-19. Knowledge Sector Initiative (KSI), bersama Bappenas dan Pemerintah Australia, melakukan kolaborasi dengan Kementerian Ristek/BRIN, LIPI, dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) untuk mempromosikan dan meningkatkan wacana publik tentang penggunaan bukti dan pengetahuan dalam pengambilan keputusan terkait penanganan COVID-19 di pemerintah dan masyarakat.**