Tiongkok, Korea Selatan, dan Singapura menjadi negara yang dianggap berhasil menangani pandemi virus corona atau Covid-19. Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte mengatakan kunci kesuksesan mereka bukan pada ideologi maupun bentuk pemerintahan, melainkan pada dua hal.
“Bukan persoalan demokrasi dan non-demokrasi, tetapi birokrasi yang bekerja dan disiplin, artinya tata kelola yang baik, serta percaya pada science dengan menerapkan evidence-based policy,” kata Philips saat mengisi diskusi daring KSIxChange 19 bertajuk “Posisi Think Tanks di Tengah Pandemi Covid-19” pada, Selasa, 31 Maret 2020.
Tiongkok yang bukan negara demokratis menangani pandemi covid-19 dengan kebijakan karantina. Sedangkan Korea Selatan dan Singapura sukses menangani wabah dengan cara tes cepat. Penanganan mereka sesuai dengan data dan kondisi yang sebenarnya sehingga menghasilkan kebijakan yang tepat. Philips memprediksi, kondisi ekonomi dan sosial di negara-negara ini akan cepat pulih kembali setelah wabah bisa diatasi.
Untuk mengikuti kesuksesan negara-negara tersebut, Philips mengatakan Pemerintah Indonesia perlu memahami perilaku Covid-19 dalam membuat keputusan. Pemerintah juga tak bisa menghasilkan kebijakan yang sesuai tanpa partisipasi seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga think tank dalam menyediakan kajian multidisiplin
“Think tank seperti CSIS bisa menjadi platform yang menyediakan kajian-kajian multidisiplin dan disalurkan ke lembaga pemerintah yang relevan,” ujar Philips.
Philips mengakui penggunaan data dan ilmu pengetahuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah memang belum menjadi tradisi di Indonesia. Lembaga-lembaga riset negara mestinya menjadi think tank yang rutin mengeluarkan kajian untuk menjadi rujukan. Tanpa hal ini, lembaga pemerintah dan sektor swasta akan melakukan tindakan spekulasi. Sebaliknya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan efektif dan efisien bila berlandaskan data dan ilmu pengetahuan.
Peneliti CSIS M Habib Abiyan memaparkan, untuk melawan Covid-19, Indonesia membutuhkan kebijakan dan taktik inovatif di luar ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah, juga antar-kementerian/lembaga. Kebijakan pertama ialah mempersiapkan skenario terburuk bila covid-19 datang bersamaan dengan bencana alam. Tujuannya untuk mengurangi risiko di masyarakat.
Kedua, mendorong kebijakan terkait penguatan medis mulai dari tenaga kesehatan, obat-obatan, hingga perlengkapan kesehatan untuk mendeteksi atau menyembuhkan Covid-19. Ketiga, memperkuat interaksi yang intensif dengan negara-negara yang berhasil melewati wabah. Tujuannya ialah mendapatkan praktik baik penanganan, dukungan kebutuhan domestik Indonesia, dan memfasilitasi ilmuwan tanah air untuk bergabung dalam jaringan internasional pengendalian Covid-19.
Terakhir, mendorong kebijakan terkait mobilisasi sumber daya nasional dari sektor non-pemerintah. Habib melihat konstribusi sektor swasta masih minim karena terbatasnya informasi yang mereka dapat. Pemerintah Indonesia mesti bergerak lebih cepat untuk merumuskan hal-hal tersebut. Lembaga think tank bisa dilibatkan untuk memberi rekomendasi strategi yang bisa diambil oleh pemerintah.
“Lembaga non-pemerintah dan masyarakat bisa proaktif bila pemerintah juga proaktif,” kata Habib.
Agar sektor swasta bisa aktif membantu pemerintah, peneliti CSIS Edbert Gani Suryahuda menyarankan Pemerintah Indonesia lebih transparan dan mendorong kolaborasi dengan lembaga think tank. Krisis akibat pandemi covid-19 tak hanya masuk ke ranah kesehatan tetapi juga ekonomi dan sosial. Kolaborasi dengan lembaga think tank diperlukan agar dampak wabah tak membesar.
“Pemerintah mesti memberikan akses ke para ahli untuk menganalisa data,” kata Gani.
Informasi dan data yang transparan dari pemerintah pusat diperlukan agar penanganan bisa didelegasikan ke masyarakat dan pemerintah daerah. Gani mengatakan ketertutupan informasi yang dilakukan demi menjaga stabilitas justru menimbulkan efek buruk bagi masyarakat. Kekosongan informasi memberikan ruang kepada conflict enterprenuer, menciptakan hoaks dan disinformasi secara masif. Panic buying ialah salah satu dampaknya.
Manfaat lain kolaborasi dengan think tank ialah membantu pemerintah menganalisis hal-hal kecil di luar kebijakan prioritas. Kolaborasi juga bisa digunakan untuk mencegah bias data yang membuat kebijakan tak tepat sasaran.
“Tanpa ada ketersediaan data yang jelas, kita tak tahu mesti bertarung seperti apa saat menghadapi Covid-19,” tutur Gani.
Direktur CSIS Philips J. Vermonte berharap pandemi ini menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mau berinvestasi pada penelitian dan pendidikan sehingga mendorong ekosistem riset dan sinergi kajian. Tujuannya agar menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan membentuk kesiapan masyarakat menghadapi bencana. Untuk saat ini, Phillips menyarankan seluruh elemen mulai dari pemerintah, lembaga penelitian, sektor swasta, dan masyarakat bisa berkolaborasi dan bekerja sesuai bidang masing-masing.
“Masalah seperti wabah virus harus dipahami secara scientific bukan politik. Politiknya minggir dulu karena yang penting bagi policy adalah data, bukan politik,” ujar Philips menutup diskusi.
Diskusi daring yang melibatkan 200 orang ini merupakan seri diskusi KSIxChange yang sudah berjalan sebanyak 19 kali oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). KSIxChange 19 kali ini merupakan bentuk dukungan kepada pemerintah untuk melibatkan lembaga penelitian sebagai think tank dalam mewujukan kebijakan publik berdasarkan bukti riset dan praktik baik. Kebijakan yang berbasiskan data akan mewujudkan solusi yang lebih inklusif dan sesuai kebutuhan masyarakat.**