(Only available in Bahasa Indonesia)
Cerita Perubahan dari Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan
Maret 2016
Penelitian Versus Kebijakan Kesehatan
“Kesadaran untuk melakukan penelitian yang lebih bisa mendukung program kesehatan sebenarnya sudah lama dan sejak dulu ada. Tetapi dulu kami cenderung hanya meneliti saja. Tidak pernah memikirkan apakah hasil penelitian akan bermanfaat secara langsung dan segera bagi program kesehatan atau tidak,” demikian pendapat sejumlah peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan ketika ditanya tentang relasi penelitian yang dilakukannya dengan program dan kebijakan kesehatan.
Meski hanya dikemukakan oleh beberapa peneliti, kesaksian tersebut dapat dijadikan indikasi awal yang melukiskan kecenderungan umum proses penyusunan kebijakan program dan kesehatan di lingkungan Kementerian Kesehatan. Kecenderungan itu adalah program dan kebijakan seringkali tak dirumuskan berdasarkan bukti-bukti hasil penelitian yang kuat. Sebaliknya, penelitian belum memberi arah bagi kebijakan penanggulangan masalah kesehatan yang memang kerap muncul dengan cepat dan berkembang dinamis di masyarakat.
Program ditetapkan kerap hanya berdasarkan asumsi yang belum teruji kelayakannya di lapangan. Para peneliti bekerja keras tetapi cenderung tidak peduli dengan arah program. Orang-orang program, karena merasa paling memahami masalah dan menguasai fakta-fakta lapangan menganggap para peneliti hanya bisa duduk di menara gading dan tidak menginjak bumi. Sementara para peneliti karena kompetensi keilmuannya cenderung kurang bisa mengkomunikasikan hasil-hasil penelitiannya dalam bahasa yang mudah dipahami sehingga bisa dengan cepat dijadikan dasar pengambilan keputusan bagi orang-orang di lingkungan program.
Dalam urusan produksi jumlah penelitian, Balitbangkes termasuk sangat produktif. Sepanjang lima tahun 2011-2015 Balitbangkes telah memproduksi 1.319 penelitian, sebanyak 220 diantaranya dilakukan pada tahun 2015. Tetapi hanya sedikit saja penelitian yang benar-benar sudah digunakan untuk mendukung program pelayanan kesehatan. Penelitian sisanya, sebagaimana dituturkan Cahaya Indriaty, salah seorang aparatur Humas Balitbangkes, tersimpan rapi di rak perpustakaan.
Pada akhir tahun 2015 Balitbangkes melakukan revitalisasi struktur organisasi, antara lain dengan membentuk 4 pusat penelitian yaitu Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Puslitbang Intervensi Kesehatan Masyarakat, dan Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan. Restrukturisasi tersebut dimaksudkan untuk membuat organisasi lebih mampu membantu kebutuhan program. Tetapi revitalisasi tersebut tidak dengan serta merta mampu membangun keserasian kerja antara penelitian dan penyusunan kebijakan kesehatan.
CORA: Kehendak Perubahan
Masalah ini bukan tidak disadari Balitbangkes. Sudah sejak setahun terakhir Balitbangkes berniat mengubah paradigma riset yang selama ini dipegang dan diyakininya. Niat untuk berubah ini terutama dipicu oleh Rencana Strategi Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Ketiga kebijakan dasar kesehatan tersebut memandatkan Balitbangkes untuk lebih sigap melakukan penelitian yang berorientasi kepada program pembangunan kesehatan dasar dan berkontribusi kepada pengembangan sistem pelayanan kesehatan nasional.
Mandat tersebut ditegaskan oleh Menteri Kesehatan, Prof. Dr. dr. Nila Moeloek, Sp.M(K) pada 10 Februari 2016 ketika melantik sejumlah pejabat baru di lingkungan Kementerian Kesehatan. Menurutnya, “Di masa depan Balitbangkes akan menjadi tumpuan pembangunan kesehatan karena berperan memonitor dan mengevaluasi program-program kesehatan secara nasional.”
Arah baru kebijakan Kementerian Kesehatan tersebut menetapkan Balitbangkes sebagai lokomotif kebijakan dengan sejumlah peran dan kewenangan yang strategis, yaitu mengawal kebijakan kesehatan dengan menghasilkan informasi kesehatan yang berasal dari penelitian berkualitas dan terpercaya, serta memberikan argumen, informasi dan bukti (evidence) yang akurat untuk mendukung setiap program kesehatan. Balitbangkes juga diharapkan mampu menyediakan informasi yang akurat dan cepat agar pengambil keputusan dan perencana program mampu mengembangkan alternatif kebijakan (policy options) untuk setiap masalah pembangunan kesehatan.
Tuntutan perubahan itu direspon cukup cepat oleh Balitbangkes. Semenjak pelaksanaan Renstra yang baru tahun 2015, lembaga ini giat mewujudnyatakan apa yang disebut sebagai CORA (client oriented research activity), yakni sebuah pendekatan riset berorientasi pada kebutuhan klien, yaitu pengambil keputusan dan kebijakan baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota. CORA dianggap sebagai pendekatan yang tepat untuk mengimplementasikan evidence-based health policy (kebijakan kesehatan berbasis bukti). Dengan pendekatan CORA dimaksudkan Balitbangkes harus lebih giat meneliti masalah kesehatan terkini yang menjadi kebutuhan kesehatan masyarakat secara cepat, menyusun hasil penelitian ke dalam opsi-opsi kebijakan yang aplikatif, mengembangkan tools berupa obat, vaksin, atau pendekatan baru, dan mengkomunikasikan hasilnya secara luas sebagai sumber belajar bagi masyarakat.
Upaya menginternalisasi pendekatan CORA ke dalam manajemen dan kultur riset juga telah dilakukan pada akhir 2015. Misalnya, dengan pendekatan ini, Balitbangkes telah menginisiasi Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) dan riset Penyakit Tidak Menular (PTM) Tumor Payudara dan Lesi Prakanker Serviks yang dilakukan di 34 provinsi dengan 76 kabupaten/kota dan 76 kecamatan. Penelitian ini dilakukan untuk merespon kebutuhan mengenai pencapaian indikator pembangunan kesehatan secara nasional yang telah ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2015–2019 maupun di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Menurut Delima, salah seorang peneliti Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemologi Klinik, saat ini jumlah penelitian yang dilakukan dengan pendekatan CORA telah mencapai 70 persen.
Cara Baru Mengkomunikasikan Hasil Riset
Gayung perubahan ini bersambut. Tuntutan perubahan paradigma riset di lingkungan Balitbangkes bersambut dengan adanya tawaran dari Knowledge Sector Initiative (KSI). KSI menganggap penting upaya perubahan yang sedang berlangsung di lingkungan Balitbangkes sejalan pendekatan evidence based policy making (penyusunan kebijakan berbasis bukti) yang tengah dipromosikannya. Sementara Balitbangkes memandang KSI sebagai mitra yang bisa mempercepat proses perubahan, terutama dalam hal peningkatan kapasitas mengkomunikasikan hasil-hasil riset.
Salah satu bentuk kerjasama ini adalah dukungan serial workshop peningkatan kapasitas peneliti Balitbangkes untuk bisa menuliskan hasil riset ke dalam format dan kemasan yang mudah dipahami pengambil keputusan dan perencana kebijakan.Policy brief (lembar kebijakan) disepakati sebagai format publikasi yang tepat untuk itu. Meningkatnya kapasitas menulis policy briefdiyakini bisa memperkuat fungsi Balitbangkes dalam mengkomunikasikan hasil-hasil riset sehingga lebih mudah dipahami, baik oleh para pengambil keputusan dan perencana kebijakan maupun publik yang lebih luas. Menurut Cahaya, karena Balitbangkes lebih banyak mengerjakan penelitian berskala nasional, dukungan KSI akan mempercepat mobilisasi dan sistematisasi data-data.
Menyusun hasil riset dalam bentuk opsi kebijakan sebenarnya sudah dilakukan para peneliti di Balitbangkes, hanya saja belum dimasukkan sebagai Indikator Kinerja Program (IKP) Balitbangkes dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) di Satuan Kerja (Satker) Balitbangkes. Baru sejak tahun 2015, sejalan dengan dukungan KSI, opsi dan rekomendasi kebijakan tersebut dijadikan indikator kinerja Balitbangkes dan Satker Balitbangkes.
Kerjasama dan dukungan ini telah melahirkan sejumlah perubahan penting. Misalnya, Balitbangkes mulai mengembangkan workshop penyusunan policy brief dengan biaya Satker sendiri. Balitbangkes juga lebih kerap menyelenggarakan pertemuan pamanfaatan hasil penelitian kepada para pejabat pengambil keputusan, dan penanggung jawab program baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten/kota.
Dukungan KSI juga telah dipandang sangat relevan dan bermanfaat dalam mendukung tercapainya target Renstra Balitbangkes 2015-2019, terutama terkait jumlah rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari hasil penelitian dan yang diadvokasikan ke pembuat kebijakan/ program. Pada tahun 2015 Balitbangkes telah berhasil memenuhi target kinerjanya dengan menghasilkan 24 hasil penelitian terpilih di beberapa bidang. Masing-masing policy brief juga dilengkapi dengan infografis dan illustrasi yang lebih ramah publik.
Pada level peneliti, serial workshop penulisan policy brief yang diselenggarakan atas dukungan KSI telah membangunkan kesadaran para peneliti untuk menulis dan mengkomunikasikan hasil riset dalam format yang sederhana. Seperti dituturkan Delima, “Memang peneliti jadi harus membiasakan diri untuk membuat dua versi hasil penelitian. Selain menulis laporan resmi dengan bahasa dan tata cara ilmiah yang lebih kaku, juga harus memikirkan versi hasil penelitian dengan format dan bahasa yang lebih komunikatif. Kami jadi diingatkan bahwa peneliti tak boleh hanya menggunakan cara pandangnya sendiri, tetapi juga harus menimbang kepentingan dan cara pemahaman khalayak pembaca hasil penelitiannya.”
M. Rijadi dari Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan menyebut tuntutan menulispolicy brief membuat para peneliti lebih antisipatif sejak menyusun proposal penelitian. Keharusan ini memaksa para peneliti untuk bersikap lebih koordinatif karena mereka harus mewadahi kepentingan pemegang program kesehatan yang menjadi mitra kerjanya.
Perubahan Belum Selesai
Meskipun perubahan-perubahan nyata sudah dan sedang berlangsung, tetapi perubahan ini masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Pertama, sejauh ini penyusunan policy brief masih berjalan dan sejumlah peneliti mengaku belum memiliki pengalaman yang cukup untuk menghasilkan policy brief yang efektif. Cahaya dan Delima mengatakan, “Tidak semua peneliti pintar menulis hasil penelitiannya secara komunikatif. Proses penulisan policy brief masih dilakukan dengan tergesa-gesa, mungkin karena merupakan sesuatu yang baru bagi sebagian peneliti.” Kewajiban menulis policy brief belum cukup terinternalisasi dalam kinerja keseharian peneliti. Meskipun sudah dijadikan sebagai indikator kinerja peneliti, menulis policy brief masih diperlakukan sebagai “kegiatan ikutan” dan belum mendapatkan dukungan fasilitas memadai.
Kedua, menurut M. Rijadi, menulis policy brief, karena merupakan sebuah tradisi baru, memerlukan lingkungan pendukung yang kondusif untuk berkembang. Harus ditumbuhkan kesadaran bahwa policy brief yang diangkat dari hasil penelitian sesungguhnya hanyalah alat advokasi atau alat berkomunikasi. Policy brief hanya instrumen atau alat bantu untuk meyakinkan bahwa sebuah kebijakan perlu dibuat, diteruskan, diperbaiki, dikembangkan, atau dihentikan. Tetapi penelitian yang kuat, dan policy brief yang komunikatif tidak serta merta mampu mengubah kebijakan. Diperlukan kebijakan dan tata kelola kelembagaan yang lebih sinergis untuk melakukan harmonisasi riset dan kebijakan. Di sisi lain belum ada penghargaan ataupun insentif yang memadai dalam bentuk angka kredit jabatan fungsional peneliti atas penyusunan policy brief.
Ketiga, kesediaan Balitbangkes untuk membuka hasil-hasil riset kepada publik, dalam bentuk publikasi ilmiah melalui jurnal ilmiah, publikasi populer, diseminasi informasi hasil litbangkes di tingkat pusat dan daerah, dan pembangunan Galeri Riset Kesehatan perlu diteruskan dengan merancang strategi publikasi yang lebih masif dan terencana. Sebagaimana dituturkan M Rijadi, “Policy brief dengan tema-tema tertentu yang aktual menyangkut penyakit yang sedang mewabah misalnya, perlu dipublikasikan secara luas melalui media massa dan media sosial. Dengan strategi ini, masyarakat mudah mengakses informasi kesehatan yang berbasis riset, kredibel dan terpercaya.”
Cahaya Indriaty, SKM.,M.Kes
Kepala Sub Bagian Jejaring dan Hubungan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan