Lebih Sigap Menanggulangi Bencana Melalui Koordinasi Lintas Sektoral

(Only available in Bahasa Indonesia)

Yogyakarta 27 Mei 2006. Seorang ibu berlari sambil menggendong bayinya dan tergesa meninggalkan harta bendanya. Sirene ambulans meraung menyeruak menambah hiruk-pikuk kepanikan tenaga kesehatan dan tim Search and Rescue (SAR). Suasana Yogyakarta berubah seketika. Pukul 05:55 bumi berguncang selama 57 detik memorakporandakan setiap sudut kota. Kedamaian mendadak pecah oleh suara kepanikan penduduk yang berlarian tak tentu arah karena gempa bumi berskala besar.

Akibat gempa tersebut sebanyak 17 kecamatan mengalami kerusakan parah, 350.000 rumah rusak berat,kondisi sebagian besar fasilitas pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Bantul lumpuh, 5.737 nyawa penduduk melayang dan lebih dari 8.900 orang lainnya mengalami luka-luka. Kerusakan yang sangat mengerikan. Waktu itu, penduduk yang berhasil selamat dari ganasnya gempa hanya tertegun diam sambil meratapi kehilangan anak, orang tua, saudara, dan kerabat yang dicintainya.

Haruskah kita menyalahkan kehendak Tuhan atas begitu banyaknya korban yang meninggal? Atau kita hanya diam dan membiarkan semua ini berlalu tanpa mengambil pembelajaran?

Instrospeksi Diri

Kita mungkin harus bercermin dan melihat ke dalam, apakah kita sudah benar-benar siap menghadapi kejadian bencana seperti ini? Pertanyaan itu terus-menerus menghantui kami, Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM dan semua pihak yang selama ini berkecimpung di area bencana. Mungkin selama ini kita telah dininabobokan oleh kesombongan dan arogansi bahwa tim kitalah yang paling hebat dalam menangani bencana. Seakan-akan kita tidak perlu bantuan atau pun bekerja sama dengan tim lain untuk menanganibencana.

Memang, kesombongan itu hadir seiring dengan berhasilnya penanggulangan bencana yang terjadi sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa gempa Yogyakarta menghadirkan dampak yang sangat dahsyat disertai masalah yang begitu kompleks yang tidak dialami pada bencana-bencana sebelumnya. Dengan gempa Yogyakarta kita semua seperti ditampar oleh Tuhan, seolah-olah Dia berkata “Mana kesombonganmu? Aku hanya mengguncangkan sedikit bumiKu, dan kamu semua sudah tidak berdaya menghadapinya”.

Diakui atau tidak, jumlah korban meninggal yang begitu banyak tidak hanya terjadi pada saat gempa terjadi. Namun, banyak korban yang meninggal akibat lambatnya pertolongan pertama dan penanganan pada saat kondisi korban dalam keadaan kritis. Hal tersebut tak lepas dari kacaunya koordinasi lintas sektor terutama antara tim SAR dan Emergency Medical Team (EMT).

Siapa yang salah? EMT, SAR atau pemerintah? Kini bukan saatnya lagi mencari siapa yang salah karena hal itu hanya buang waktu saja. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana membangun sistem yang efektif guna memperbaiki kekacauan koordinasi lintas sektor yang selama ini terjadi. Kekacauan koordinasi tersebut terbukti telah menimbulkan dampak yang begitu fatal, di mana banyak korban meninggal yang harusnya bisa ditolong oleh tim kesehatan tetapi akhirnya terlambat penanganan karena tidak ada komunikasi dan kerjasama di antara keduanya.

Tidak hanya itu, lemahnya koordinasi juga berimbas pada penyaluran personil dan logistik yang tidak merata. Kerap terjadi daerah yang lebih parah kondisinya malah mendapatkan bantuan yang lebih sedikit daripada daerah yang lebih ringan kondisinya. Tentu hal tersebut sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak gempa waktu itu.

Saling Memandang Merangkul Asa

Di tengah panasnya situasi tersebut, datang sebuah harapan baru saat kami mengetahui ada inisiasi dariInternational Search and Rescue Advisory Group (INSARAG) yang bekerjasama dengan Indonesian Office of World Health Organization (WHO Indonesia). Kami tentu tidak membiarkan semangat itu pergi begitu saja. Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM yang didukung penuh oleh Knowledge Sector Initiative(KSI) berhasil mengobarkan api semangat untuk menyatukan tim SAR dan EMT dalam sebuah koordinasi kerja yang harmonis saat terjadi bencana.

Puncak dari inisiasi tersebut adalah terlaksananya kegiatan simulasi penanganan bencana secara lintas sektoral di Indonesia, yang bertema INSARAG Asia-Pacific Regional Earthquake Response Exercise yang dilaksanakan pada tanggal 25 – 28 Juli 2016.  Melalui kegiatan simulasi tersebut, kami berusaha untuk menyatukan berbagai pihak yang selama ini berkeras untuk sejenak melupakan ego, duduk bersama, dan berdiskusi dalam satu meja serta berusaha memahami peran dan tanggung jawab tim lain yang pada akhirnya dapat menyinkronkan carut-marutnya koordinasi yang selama ini terjadi saat terjadi bencana.

Dalam kegiatan tersebut, kami juga melakukan penelitian untuk mengevaluasi proses koordinasi dan kolaborasi selama simulasi penanganan bencana dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan ternyata pada dasarnya seluruh komponen yang terlibat dalam penanganan bencana telah menyadari arti pentingnya kolaborasi dan kerja sama tetapi masih terdapat kendala berupa belum adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas.

Hal lain yang penting untuk dicermati adalah ego dan arogansi yang selama ini terlihat berasal dari kurangnya pemahaman tentang peran dan tugas masing-masing di lapangan saat menghadapi kondisi bencana. Kurangnya pemahaman tersebut dipicu oleh sedikitnya kesempatan untuk berlatih bersama, meningkatkan hubungan profesional, menjalin komunikasi, dan berinteraksi satu sama lain.

Cahaya Dari Ufuk Timur

Secercah harapan lahir dari kegiatan simulasi penanganan bencana tersebut, di mana kegiatan tersebut telah benar-benar membuka mata para pemimpin tentang kondisi saat penanganan bencana. Para pemimpin dapat melihat sendiri bagaimana anggota mereka bekerja bahu-membahu untuk menanggulangi bencana, dan tidak sepantasnya egoisme dan arogansi pemimpin menjadi penghalang bagi terciptanya kolaborasi di lapangan.

Salah satu petinggi SAR mengatakan bahwa SOP terbaru tentang penanganan bencana yang melibatkan berbagai pihak merupakan hal inti yang harus dibangun bersama. Hal yang sama juga diutarakan oleh petugas EMT yang berasal dari Indonesian Office of World Health Organization (WHO) bahwa melalui SOP penanganan bencana yang baik, koordinasi lintas sektoral dapat berjalan, evakuasi korban, dan pertolongan pertama pada korban dengan kondisi kritis dapat lebih cepat, serta penyebaran logistik dan personil juga dapat lebih merata, sehingga kekacauan koordinasi seperti kejadian gempa Yogyakarta 2006 tentu tidak terulang kembali.

Semangat untuk meningkatkan koordinasi antara SAR dan EMT kembali kami hadirkan pada kegiatan simulasi kegagalan teknologi nuklir yang didukung oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta serta melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Yogyakarta. Tujuan inti dari kegiatan ini adalah untuk melanjutkan konsep dan gagasan mengenai SOP koordinasi lintas sektoral yang telah dimulai pada kegiatan INSARAG.

Dalam kegiatan tersebut terdapat skenario yaitu terjadi ledakan bom di pusat reaktor nuklir di BATAN sehingga seketika situasi menjadi kacau dan terjadi kepanikan massal karena banyak korban berjatuhan. SAR dan EMT kembali dihadapkan pada kondisi di mana mereka harus berkoordinasi dengan satu komando. Salah seorang petugas EMT yang berasal dari dinas kesehatan mengatakan bahwa pada simulasi kali ini lebih mudah untuk menerapkan jalur komando dan koordinasi lintas sektor karena sudah memiliki gambaran nyata ketika menjalani simulasi pada kegiatan INSARAG. Sependapat dengan hal tersebut, Kepala Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (PUSDALOP PB) BPBD Yogyakarta menyebutkan bahwa kegiatan ini merupakan cermin dari kesadaran masing-masing pihak untuk bertemu, bekerja sama, dan berkolaborasi dalam penanggulangan bencana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa walaupun belum sempurna namun hal ini sudah selangkah lebih maju, bahkan dari negara lain di mana banyak negara yang belum ada aksi nyata dalam kolaborasi lintas sektor.

Satu makna penting yang dapat diambil dari kedua kegiatan tersebut adalah setidaknya semua pihak telah menyadari arti pentingnya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor. Hingga saat ini, KSI juga telah banyak mendukung kami dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK UGM untuk melakukan upaya demi disahkannya undang-undang kebencanaan yang terbaru oleh pihak terkait. Hal itulah yang dibutuhkan guna meningkatkan sistem penanganan bencana yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Perjuangan untuk meningkatkan koordinasi dan kolaborasi lintas sektor ini tentu masih jauh dari kata selesai. Untuk masa yang akan datang, diperlukan lebih banyak lagi latihan dan simulasi penanggulangan bencana yang dilaksanakan terintegrasi secara lintas sektoral agar semakin meningkatkan pemahaman dan pembagian tugas saat terjadi bencana. Hal itu juga akan mengikis sifat “merasa paling hebat” akibat tidak tahu kemampuan tim lain. Semakin banyak belajar, tentu membuat kita semakin paham bahwa banyak hal yang masih harus dipelajari terutama bagaimana koordinasi dan komunikasi antar tim terutama saat terjadi kepanikan dan lumpuhnya fasilitas komunikasi yang tidak jarang dialami saat bencana.

 

Bayu Fandhi Achmad

Divisi Manajemen Bencana PKMK Fakultas Kedokteran UGM

  • Share: