Budaya Dialog Birokrat, Awal Sinergi Birokrasi dan Peneliti

“Proses reformasi birokrasi yang berjalan sekarang ini harus lebih dipertajam dan kuat menyasar masalah-masalah dasar birokrasi. Harusnya meningkatkan kapasitas birokrasi dalam memenuhi kemauan publik, tetapi hal ini belum terjadi. Yang terjadi sekarang justru bergeser menjadi remunerasi. Hasilnya adalah birokrasi yang semakin mahal tetapi performanya tidak meningkat,” begitu dikatakan Sofian Effendi, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menanggapi perkembangan reformasi birokrasi yang telah berjalan hingga sekarang ini.

(Only available in Bahasa Indonesia)

Budaya dialog di kalangan pemerintah tiba-tiba mencuat. Munculnya kebiasaan baru untuk berdialog berdasarkan produksi pengetahuan di kalangan pemerintah diharapkan berpotensi menghasilkan kebijakan yang lebih tepat dan akurat.

“Proses reformasi birokrasi yang berjalan sekarang ini harus lebih dipertajam dan kuat menyasar masalah-masalah dasar birokrasi. Harusnya meningkatkan kapasitas birokrasi dalam memenuhi kemauan publik, tetapi hal ini belum terjadi. Yang terjadi sekarang justru bergeser menjadi remunerasi. Hasilnya adalah birokrasi yang semakin mahal tetapi performanya tidak meningkat,” begitu dikatakan Sofian Effendi, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menanggapi perkembangan reformasi birokrasi yang telah berjalan hingga sekarang ini.

Memperkuat pernyataannya tersebut, Sofian Effendi menyampaikan contoh berupa terkatung-katungnya penetapan kebijakan-kebijakan kunci tata kelola aparatur sipil negara. Misalnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang sesungguhnya bisa menjadi fondasi bagi pengembangan birokrasi modern, berintegritas, dan professional, namun hanya menjadi dokumen pajangan yang tidak bisa dijalankan karena ketiadaan peraturan pemerintah. Begitu pula kebijakan seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi dimana publik mengenalnya sebagai lelang jabatan, yang sempat memberi harapan akan lahirnya birokrat yang bersih dan independen namun masih perlu banyak perbaikan dan penyempurnaan.

Salah satu permasalahan yang menyebabkan terjadinya kenyataan ini menurut Sofian adalah karena pengambilan keputusan kebijakan publik kita yang masih kurang melibatkan hasil-hasil kajian riset.

“Untuk mendapatkan kebijakan publik yang baik harus berdasarkan data dan fakta-fakta. Nah, fakta-fakta itulah yang bisa kita dapatkan dari riset. Dengan demikian kita bisa mendapatkan kebijakan-kebijakan publik yang lebih tepat, sasarannya lebih jelas dan lebih terukur,” paparnya.

Menjembatani Kesenjangan

Kenyataan inilah yang mendorong saya, Eko Prasojo bersama Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional (TIRBN) untuk menjembatani kesenjangan hubungan antara kementerian dan lembaga, terutama yang berwenang dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan aparatur sipil negara, dengan lembaga riset baik perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat.

Kebetulan TIRBN yang dibentuk sejak periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan kebetulan saya, ketuai merupakan lembaga yang bertugas memberikan pertimbangan mengenai reformasi birokrasi tersebut kepada Wakil Presiden, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), maupun Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan KASN, meskipun hanya dalam tataran memberi masukan dan tidak kewenangan sampai ke eksekusi.

Lebih menguntungkan lagi selama enam bulan terakhir ini, TIRBN banyak mendapat dukungan dari Knowledge Sector Inisiative(KSI) dalam upaya mendukung proses pembuatan kebijakan terutama peraturan pelaksaan UU baik kepada Kementerian PANRB, BKN, maupun KASN tersebut. Setidaknya ada empat kebijakan reformasi birokrasi yang TIRBN dukung bersama KSI yaitu RPP Pegawai Negeri Sipil (PNS), RPP Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Peraturan Kepala KASN untuk Sistem Merit, dan Peraturan Menteri PANRB tentang Pengisian Jabatan Terbuka.

Di sini, TIRBN menyadari bahwa penyusunan kebijakan harus mengadopsi pengetahuan yang didapat dari kajian penelitian. Karena itu yang terpenting adalah mengenai prosesnya. Bagaimana pemerintah, Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga riset dan lembaga non pemerintah, bisa bertukar pikiran, berdebat mengenai permasalahan reformasi birokrasi yang ada. Karena itu bersama KSI kita memfasilitasi dialog-dialog dalam bentuk seminar, workshop dan focus group discussion.

Peran besar KSI dalam hal ini tidak hanya pada dukungan fasilitas dialog-dialog resmi yang berhasil digelar, melainkan juga pada dukungan untuk komunikasi yang dibangun melalui koordinasi dan pertemuan-pertemuan informal yang ternyata itu lebih penting.

Pengalaman itu saya buktikan sendiri, “Ternyata benar, di Indonesia ini persoalan-persoalan penting justru bisa terpenuhi tujuannya dan diselesaikan secara informal. Kalau dalam situasi formal dan penting, seringkali justru ego masing-masing pihak yang muncul. Pertemuan dalam bentuk makan malam informal justru saya buktikan mampu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang berguna. Kesediaan para penentu kebijakan untuk menghadiri dialog-dialog formal yang akan kita gelar juga terpicu oleh pertemuan tak resmi tersebut.”

Dinamika Dialog

Di antara beberapa proses mediasi yang kami lakukan, seminar pemaparan hasil penelitian CSIS (Centre for Strategic and International Studies) mengenai “Pelaksanaan Sistem Merit untuk Jabatan Pimpinan Tinggi di Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Badan Kepegawaian Negara dan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan di Depok, pada 26 September 2016 lalu, merupakan proses mediasi yang paling dinamis.

Pasalnya, usai Wakil Direktur CSIS Medelina K. Hendytio memaparkan hasil penelitiannya di depan perwakilan sejumlah kementerian, lembaga riset, dan perguruan tinggi, dialog terbuka segera mengemuka.

Waktu itu, agar prinsip sistem merit bisa terpenuhi CSIS mengusulkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi seperti kompetensi, keterbukaan, netralitas, keadilan dan kesetaraan. Medelina menyebut bahwa seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi harus dilakukan berdasarkan analisis jabatan, diumumkan secara terbuka, menjamin independensi para calon dari aktivitas politik, dan mempertimbangkan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Sontak usulan inipun memicu berbagai komentar peserta seminar. Anggota Komisi Aparatur Sipil Negara Nuraida Mokhsen menyebut, “Penelitian ini terlalu umum, hanya fokus kepada hal-hal kecil yang bersifat administratif.”

“Merit kami terapkan empat tahap. Pertama adanya pansel, kedua syarat jabatan, ketiga metodologi, kemudian baru kita lihat prosesnya apakah sesuai dengan yang kita rencanakan. Empat tahap itu kalau kita secara baik mengawalnya hasilnya lumayanlah,” tambah Nuraida meyakinkan.

Pun Siliwanti, Direktur Aparatur Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional turut melengkapi dialog. “Harusnya patokan kesiapan itu jelas dulu. Lihat kembali tujuan sistem merit, apakah desain pekerjaannya sudah diperhatikan dengan baik, lihat standarnya, evaluasi secara reguler terhadap kinerja PNS untuk kemudian dibuatkan profil PNS yang sudah ada dan pembenahan terhadap data pegawai. Juga keterbukaan tidak hanya website, tetapi budaya dan high competitiveness.”

Perwakilan dari Badan Kepegawaian Negara Janry Simanjuntak yang memiliki harapan tinggi pada hasil penelitian ini juga menyatakan perbaikan prosedur teknis dan tata cara seleksi terbuka sebagaimana usulan CSIS tidak serta merta menjamin penegakan sistem merit seperti yang dipresentasikan.

“Harusnya ada breakdown dari kesimpulan yang dibuat, misalnya identifikasi keterampilan, ketegasan, dan kesimpulan sistem merit. Perlu dikembangkan alat untuk memonitor dan mendeteksi  penyimpangan terhadap prosedur sistem SDM berbasis merit, perlu dikembangkan sistem evaluasi dan feedback untuk memperbaiki sistem secara terus menerus,” tambahnya berharap.

Terlepas dari dialog yang terjadi, Sekretaris Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Dwi Atmaji yang tidak bisa hadir dalam seminar tersebut karena bentrok dengan acara lainnya, tetap menyatakan apresiasinya. 

”Kami sangat mengapresiasi dan menjadi masukan yang sangat berharga bagi KemenPANRB dan KASN. Kita benar-benar butuh lebih banyak evidence, bukti-bukti yang kuat, baik untuk menguji maupun memperkuat kebijakan yang kita buat,” ujar Dwi Atmaji menanggapi seminar tersebut.

Di luar beberapa dialog yang terjadi di atas, saya selaku fasilitator acara dari TIRBN sendiri, menilai, meskipun penelitian ini memiliki kelebihan karena sudah berdasar pada evidence, namun masih memiliki kelemahan karena kurang memperhatikan faktor eksogen dan perlu memperhatikan kebutuhan KASN akan hasil akhir dari kajian ini. Seharusnya penelitian ini bisa memberikan masukan berbeda untuk perbaikan Permenpan No.13 tahun 2015.

Dialog dan diskusi yang mulai muncul menurut kami justru bernilai positif. “Yang menarik justru terlihat mulai adanya perubahan perilaku di kalangan pemerintah. Jadi ada semacam kebiasaan baru untuk berdialog di kalangan pemerintah berdasar produksi pengetahuan yang biasanya itu hanya dibiarkan sebagai draft saja,” itu menurut kami di TIRBN yang ingin menjadi mediator dari proses transformasi sekarang.

Harapan Proses Baru

Dialog dan kontestasi yang dinamis dari para stakeholders terkait hasil penelitian CSIS boleh jadi merupakan indikasi awal berjalannya sebuah perubahan. Dialog dan kontestasi lanjutan terus terjadi pada pertemuan-pertemuan lain yang TIRBN fasilitasi. Kami berharap hal ini menjadi awal proses baru yang menempatkan produksi pengetahuan (knowledge production) sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Tidak seperti biasanya yang dibiarkan begitu saja menjadi draft.

TIRBN juga melihat proses perkembangan akan rasa memiliki (ownership) pemerintah terhadap hasil riset. Dalam setiap diskusi yang digelar TIRBN bersama KSI, selalu dihadiri oleh pejabat penting pembuat kebijakan. “Misalnya dihadiri langsung oleh Ketua KASN dan Komisioner. Itu hampir rata-rata 4 sampai 5 komisioner datang. Datang juga Deputy SDM, dan kepala BKN. Jadi the highest policy maker itu datang.”

Konon perubahan itu bisa terjadi jika didukung oleh tiga faktor yaitu: otoritas (authority), pengetahuan (knowledge) dan ketertarikan (interest), maka TIRBN ingin mensinergikan ketiga hal tersebut. Setidaknya sekarang sudah mulai mampu menjadikan kekuatan pengetahuan (knowledge power) menjadi lebih diperhatikan dibandingkan sekedar kekuatan kekuasaan (authority power) semata, melalui program-program yang kita adakan.

Lalu apakah perubahan ini akan bertahan dan berlanjut untuk jangka panjang? Sebuah perubahan akan bertahan jika dimasukkan dalam dokumen resmi rencana pembangunan, didukung masyarakat, dan pemanfaatan pengetahuan melalui forum-forum yang bisa mendukung pemerintah. Kami berharap seiring berjalannya waktu semua itu bisa TIRBN wujudkan.

Ke depan, dengan mencuatnya budaya dialog dan diskusi ini kami berharap, lembaga riset semakin terbuka dan komunikatif terhadap lembaga pemerintahan dan begitu pula sebaliknya, sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar fokus dan mampu memberikan masukan yang nyata dibutuhkan pembuat kebijakan khususnya terkait reformasi birokrasi yang sekarang dijalankan.

Eko Prasojo

Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional

  • Share: