Meletakkan Dasar Kebangkitan Ilmuwan Muda – Pendirian Akademi Ilmuwan Muda Indonesia

Buku SAINS45 dan berdirinya ALMI, ditambah tersedianya Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), merupakan perwujudan dari mimpi Ternate 6 tahun lalu. ALMI akan bergerak dan mengajak setiap elemen masyarakat untuk berbudaya ilmiah unggul dan ingin mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan pesan Eyang Habibie, yaitu bahwa ilmuwan Indonesia terkemuka sangat diperlukan guna turut memecahkan masalah bangsa Indonesia, bukan sekedar mengejar hadiah Nobel.

"Yang kita kejar bukan Nobel. Yang kita kejar yaitu selesaikan permasalahan di Indonesia secara profesional. Enggak bisa diselesaikan satu orang, satu generasi," kata Habibie usai pengukuhan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan peluncuran buku SAINS45 di kediamannya, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat malam, 19 Agustus 2016

Prolog

Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) merupakan amanat dari perubahan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 sebagai respon terhadap berkembangnya jaman dan tantangan baru dalam ilmu pengetahuan. Selama ini, sebagian besar anggota AIPI adalah ilmuwan yang sudah senior dan mungkin belum bisa menampung para doktor dan profesor baru dengan keilmuwan yang lebih baru. Tulisan ini bercerita tentang proses berdirinya ALMI, mulai dari bagaimana mendapat anggota pionir hingga inagurasinya, dan apa tugas kedepannya.

Menjadi Anggota ALMI Pionir

Ternate, Mei 2010, saya diundang Prof. Sangkot Marzuki—Ketua Akademi AIPI—dalam acara pertemuan ilmuwan muda (PhD dan profesor dibawah 45 tahun) dari berbagai disiplin ilmu dan menduduki jabatan di berbagai institusi pendidikan dan lembaga penelitian maupun pemerintahan di Indonesia. Kami dipertemukan dengan Prof. Bruce Alberts dari US Science Envoy (utusan khusus ilmu pengetahuan Amerika) dan berdialog tentang keadaan dunia penelitian. Ilmuwan muda Indonesia sesungguhnya mempunyai potensi untuk turut memecahkan masalah dan membangun bangsa ini, tetapi karena kurang didukung dengan fasilitas penelitian yang berkualitas, minimnya dana penelitian dan forum diskusi ilmuwan lintas dan multi disiplin, serta tidak adanya koneksi antara hasil penelitian dengan industri dan kebijakan publik, membuat potensi ini tidak berkembang.

Di akhir pertemuan ini disimpulkan 1) Perlunya pendanaan untuk penelitian besar dan multi-tahun, yang lepas dari berbagai masalah administratif, dan 2) perlunya wadah organisasi bagi ilmuwan muda Indonesia yang berprestasi, sebagai future leaders.

Pertemuan Ternate berbuntut panjang. Prof. Sangkot dan Prof. Bruce sepakat untuk mengadakan forum ilmiah lintas dan multi disiplin antara ilmuwan Indonesia dan Amerika. Bersama 5 peneliti lain (dari 30an peserta Ternate), saya diutus Prof. Sangkot untuk ke Irvine, California untuk melihat dan belajar dari Kavli Frontier of Science Symposium. Keenam orang ini menjadi pionir dan panitia penyelenggaraan US-Indonesia Kavli Frontiers of Science Symposium 2011 yang pertama, yang kemudian terus terselenggara hingga tahun ini (tahun ke-enam), bahkan sudah ditambah peserta dari Australia. Mereka juga sebanyak dua kali telah menyelenggarakan International Social Science and Humanities Symposium. Kedua simposium ini adalah salah satu acara ilmiah paling bergengsi yang pernah saya ikuti. Peserta simposium yang umumnya bergelar doktor dan profesor diseleksi secara ketat dengan menyaring biodata dan perjalanan karir mereka. Rangkaian acara dari Ternate, dan kedua simposium inilah yang menjadi cikal cikal bakal lahirnya akademi ilmuwan muda Indonesia.

***

Tahun 2013 Prof. Sangkot mengumpulkan beberapa alumni Kavli di Belitung dan menggagas pembuatan buku yang diinspirasi dari buku Dutch Research Agenda; sebuah buku yang berisi kumpulan area penelitian dan pertanyaan yang dinilai penting dan akan terjadi di masa mendatang, di Belanda dan dunia. Buku ini berformat ilmiah popular karena ditujukan untuk politisi, peneliti dan pejabat di universitas, lembaga penelitian, dan pihak lain yang terkait. Bisakah kita membuat Indonesia Research Agenda?

Disini muncul ide angka 17–8–45 yang diterjemahkan menjadi 17 peneliti menulis 45 topik pertanyaan atau ilmu pengetahuan yang dikelompokkan menjadi 8 klaster.  Bulan April 2014 saya mendengar secara langsung tentang ide penulisan buku ini. Dua-belas alumni peserta Kavli ditambah 5 peneliti senior AIPI dan 1 koordinator studi dikumpulkan Prof. Sangkot. “Mari kita pikirkan apa masalah di Indonesia? Ilmu pengetahuan apa yang perlu dikembangkan untuk mengatasi masalah tersebut,” itulah kira-kira kalimat Prof. Sangkot untuk memacu kami berpikir dan mulai menulis.

Kedua-belas ilmuwan tersebut adalah Aiyen Tjoa (Universitas Tadulako, Palu), Yudi Darma dan Yessi Permana (Institut Teknologi Bandung, Bandung), Teguh Dartanto dan Robby Muhammad (Universitas Indonesia, Jakarta), Alan Koropitan (Institut Pertanian Bogor, Bogor), Jamaluddin Jompa dan Sudirman Nasir (Universitas Hasanuddin, Makassar), Najib Burhani (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Ronny Martien, Pri Utami, dan saya sendiri (Universitas Gajah Mada, Jogjakarta). Masing-masing mempunyai latar belakang pendidikan dan keilmuwan yang berbeda. Ditambah lima dari AIPI: Prof. Sangkot (Ketua AIPI), Prof. Mayling (Anggota Komisi Bidang Ilmu Sosial), Prof. Daniel (Bidang Ilmu Pengetahuan Dasar), Prof. Satrio (Mantan Dirjen Dikti) dan DR. Budi (Sekjen AIPI) menjadi lengkap 17 ilmuwan. Terakhir ditambah Nana Saleh (Universitas Hasanudin) yang ditugasi sebagai koordinator studi .

Berdelapan belas kami, setiap bulan di satu akhir pekan, selama hampir satu tahun, bersama-sama membaca, menulis, berdebat, dan saling memberi masukan untuk  menyusun buku ini. Hal berat yang pertama adalah kami banyak yang belum berpengalaman menulis suatu concencus writing sehingga masing-masing masih terkotak dalam keilmuwanannya sendiri, atau bahwa topik yang akan ditulis dinilai sudah usang, tidak relevan dan tidak akan dapat dikembangkan ke depan. Dalam keadaan seperti itu, kita biasanya kami pindah topik dulu, mencerna semua, membaca ulang dan diskusi lagi. Lambat laun kami lebih saling mengisi dan kompak.

Untuk menambah wawasan dan bahan tulisan, Prof. Sangkot membawa seluruh tim penulis (ilmuwan, editor, supporting stafflain) ke Australia untuk mengadakan Science Enrichment Program. Disana kami berkunjung ke Australia Academy of Science (AAS) dan ke pusat-pusat penelitian yang topik penelitiannya sesuai dengan pengelompokan tim: Life Sciences, Marine Science, Social Science, Physics, Chemical Science dan Geology. Saya masuk kelompok Life Sciences mengunjungi Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO), Charles-Perkins Center (mengenal penelitian Mikrobiom—yang kemudian menjadi salah satu topik dalam buku), Millenium Institute (penelitian obesitas yang memang menjadi masalah kesehatan di Australia) dan lan-lain. Secara keseluruhan, rombongan mengunjungi Canberra, Sydney, Hobart dan diakhiri di Melbourne.  Terima kasih pada Knowledge Sector Initiative (KSI) yang telah memberikan dukungan untuk program yang luar biasa ini. Selain menambah wawasan keilmuwan kami, program ini juga lebih menyatukan kami sebagai tim.

Berharap mendapat masukan dari masyarakat ilmiah yang lebih luas, draf buku kami presentasikan ke peneliti lain di berbagai perguruan tinggi, antara lain di Semarang, Jambi, Palu, Makassar dan Bandung. Masukan dari ilmuwan lain cukup beragam, ada yang mendukung, tapi ada juga yang mencibir—topik sudah usang, tidak jelas tujuan buku, dan lain-lain. Biasanya setelah konsultasi publik seperti itu, kami melakukan evaluasi, baik secara penyelenggaraan maupun terhadap isi tulisan kami.

Seluruh proses tersebut akhirnya menghasilkan sebuah buku yang kemudian disebut sebagai SAINS45—Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Satu Abad Kemerdekaan. Berisi 45 pokok-pokok pikiran keilmuwan yang diperlukan dan dapat dikembangkan untuk menjawab berbagai masalah di Indonesia yang dikelompokkan menjadi 8 klaster, yaitu Identitas, Keragaman, dan Budaya; Kepulauan, Kelautan, dan Sumber Daya Hayati; Kehidupan, Kesehatan, dan Nutrisi; Air, Pangan dan Energi; Bumi, Iklim dan Alam Semesta; Bencana dan Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana; Material dan Sains Komputasi; dan Ekonomi, Masyarakat  dan Tata Kelola.

Mei 2015 buku SAINS45 edisi konsultasi diluncurkan di kediaman Prof. Habibie untuk kami serahkan kepada Menteri Pendidikan saat itu, Bpk. Anies Baswedan. Betapa bangganya kami semua.

Kedua-belas orang penulis dan 1 koordinator studi SAINS45 inilah yang menjadi ALMI Pionir.

***

Di sela-sela kesibukan menyusun SAINS45, kami mulai menggagas usulan  Ternate yang kedua, yaitu perlunya wadah organisasi bagi ilmuwan muda Indonesia yang berprestasi. Kami merancang bentuk, nama dan AD/ART organisasi. Akhirnya, muncullah nama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Nama ALMI sendiri merupakan perdebatan panjang. Kalau akan benar-benar pas, ya seharusnya AIMI, tetapi ternyata istilah AIMI sudah digunakan oleh Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.

Pemilihan 27 anggota tambahan (untuk menggenapi menjadi 40) dilakukan dengan proses membuat daftar pendek (short list) dari 230an alumni Kavli dan pemungutan suara tertutup

Jadilah ALMI… sebuah estafet generasi ilmuwan, dari AIPI ke ALMI…

ALMI dan SAINS 45 Diluncurkan

19 Agustus 2016, bertempat di Kediaman Bpk. B.J. Habibie, dengan disaksikan oleh tokoh-tokoh ilmuwan nasional anggota AIPI, diluncurkanlah buku SAINS45 dan Inagurasi Anggota ALMI. Perasaan yang membuncah,  segala jerih payah menyusun buku, membidani ALMI, dan perjalanan panjang sejak mulai Ternate di tahun 2010 mencapai puncaknya malam ini. Bahagia dan amat sangat bangga, bangga menjadi bagian dari sejarah kebangkitan ilmuwan muda Indonesia. Tidak semua ilmuwan mendapat kesempatan seperti yang saya alami. Hal senada diungkapkan Aiyen (dosen Fak. Pertanian Univ Tadulako), “….. tak menyangka terpilih ikut KAVLI, menulis SAINS45 dan akhirnya menjadi anggota ALMI... berharap melalui ALMI dapat membangkitkan kapasitas keilmuan Indonesia.”

ALMI Sudah Berdiri… What’s Next?

Dalam sidang paripurna pertama tanggal 20–21 Agustus 2016 disepakati draf ART ALMI, dimana tertulis bahwa pendirian ALMI mempunyai tujuan untuk mendorong peran ilmuwan muda dalam memajukan ilmu pengetahuan dan budaya ilmiah unggul di Indonesia dalam rangka peningkatan daya saing bangsa. Tujuan ini dilaksanakan oleh empat kelompok kerja: Sains Garda Depan, Sains dan Kebijakan, Sains dan Masyarakat, serta Sains dan Pendidikan. Program kerja antara lain: mendorong kolaborasi lintas disiplin dan institusi, membuat kajian masalah dan bahan ilmiah, dan advokasi kepada pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya ilmu pengatahuan untuk pengambilan kebijakan dan kehidupan di masyarakat. Saat ini ALMI juga berencana membuat kerjasama resmi dengan Kantor Staf Presiden (KSP), L’Oreal, dan terlibat dalam Science Symposium AIPI–AAS di Canberra.

Buku SAINS45 dan berdirinya ALMI, ditambah tersedianya Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI), merupakan perwujudan dari mimpi Ternate 6 tahun lalu. ALMI akan bergerak dan mengajak setiap elemen masyarakat untuk berbudaya ilmiah unggul dan ingin mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan pesan Eyang Habibie, yaitu bahwa ilmuwan Indonesia terkemuka sangat diperlukan guna turut memecahkan masalah bangsa Indonesia, bukan sekedar mengejar hadiah Nobel.

***

Yanri Wijayanti Subronto

Staf Pengajar, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Anggota, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia

  • Share: