(Only available in Bahasa Indonesia)
Beberapa kursi roda berjejer di ruang tunggu bandara. Pendamping bagi orang dengan disabilitas juga disediakan oleh maskapai penerbangan. Seseorang dengan disabilitas juga tidak perlu lagi menandatangani surat pernyataan sakit berat. Prosedur standar pelayanan penerbangan yang ada telah disesuaikan dengan kebutuhan penumpang disabilitas oleh salah satu maskapai penerbangan. Orang dengan disabilitas lebih mudah untuk berpergian dengan menggunakan pesawat terbang.
Sebelumnya, penumpang disabilitas dilarang naik pesawat terbang jika tidak menandatangani surat pernyataan sakit berat yang disodorkan oleh maskapai penerbangan. Isinya, maskapai penerbangan tidak bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu pada penumpang disabilitas. Jika menolak, penumpang diminta turun. Bukan hanya itu, penumpang disabilitas sering tidak didampingi petugas bandara maupun maskapai penerbangan. Padahal, jalur yang harus ditempuh dari ruang tunggu bandara menuju pesawat ataupun sebaliknya tidak ramah. Banyak bandara tidak menyediakan bidang miring (ramp) maupun lift.
Perubahan juga sudah dialami dalam sektor politik. Pada Pemilu Presiden 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan pelaksana agar pemilih dengan disabilitas dapat menggunakan hak pilihnya. Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjamin akses gerak bagi pengguna kursi roda. Pemilih dengan disabilitas netra mendapatkan formulir surat suara yang dapat mereka mengerti. Sementara pada medio atau pertengahan Oktober 2016, warga negara dengan disabilitas mental dinyatakan dapat masuk sebagai daftar pemilih dalam pilkada. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan atas perkara No. 135/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa sepanjang tidak ada keterangan dokter bahwa warga negara merupakan disabilitas mental permanen dan tidak memiliki masalah dalam memberikan hak pilih, mereka harus didaftar sebagai pemilih.
Apa yang terjadi sebelumnya? Pemilih dengan disabilitas netra harus didampingi panitia Pemilihan Umum (Pemilu) pada saat memilih. Ditambah, surat suara braille tidak tersedia. Pemilih tidak dapat menentukan orang kepercayaan untuk menemaninya di bilik suara. Pemilih yang menggunakan kursi roda juga tidak dapat secara langsung menggunakan hak pilihnya karena bilik suara yang tersedia tidak memadai. Hak memilih bagi orang dengan disabilitas mental juga pernah tidak diakui dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Orang dengan disabilitas tidak dianggap cakap sebagai subjek hukum.
Bukan perubahan yang terjadi dengan tiba-tiba. Gerakan disabilitas melakukan usahanya sedikit demi sedikit dan tidak makan waktu yang sebentar. Di luar beberapa kritik di dalamnya, pengesahan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Disabilitas) cukup layak dirayakan. “Ini adalah salah satu kemenangan karena menyatukan gerakan disabilitas yang beragam. Ini juga bisa menjadi ‘bensin’ baru bagi gerakan disabilitas,” tegas Fajri. Akhirnya, peraturan menjadi kabar baik!
PSHK Bergandengan Tangan dengan Gerakan Disabilitas
Fajri Nursyamsi, namanya. Ia biasa dipanggil dengan Fajri. Sebagai peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) sejak 2009, ia merasa mampu beradaptasi dengan medan dan pola kerja, apalagi ia punya kepercayaan diri yang tinggi sehingga bisa mengatasi tantangan—termasuk yang disebabkan kondisi kedisabilitasannya. “Kami tahu keadaannya, tetapi kami tidak menganggap keadaannya sebagai hambatan untuk bekerja bersama di PSHK,” tutur M. Nur Sholikin, Direktur Eksekutif PSHK, ketika ditanya proses rekrutmen Fajri sebagai peneliti. Situasi Fajri malah merupakan salah satu kekuatannya. Pengalaman pribadi dan perasaan begitu dekat dengan isu membuat Fajri dengan antusias mendampingi isu disabilitas dari hulu hingga hilir. Apalagi, ia juga dilengkapi dengan pengetahuan hukum yang mumpuni, lulus master hukum dengan bantuan Knowledge Sector Initiative (KSI).
Keterlibatan PSHK yang diwakili Fajri ini dimulai saat rapat di Komnas HAM pada 2011. Ketika itu, ia hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) untuk melengkapi draf revisi UU Penyandang Cacat. Sempat vakum dua tahun, PSHK kembali diundang dalam forum pembahasan disabilitas. Kali ini, PSHK tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas bersama dengan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Melalui Pokja tersebut, usulan RUU bukan lagi revisi UU Penyandang Cacat, melainkan merancang UU Penyandang Disabilitas. PSHK mengusulkan sistematika perancangan peraturan. Usul diterima. Setelahnya, aktivitas sehari-hari Fajri dipenuhi dengan mendengarkan pengalaman orang dengan disabilitas melalui surat elektronik, diskusi publik, dan FGD. Posisi PSHK yang bukan sebagai organisasi penyandang disabilitas justru menjadi strategis untuk menyambungkan kepentingan dari berbagai organisasi penyandang disabilitas. Ia menampung kebutuhan dari rekan-rekan disabilitas kemudian menormakannya dalam bentuk rumusan pasal RUU Penyandang Disabilitas.
Advokasi teman-teman dengan disabilitas berlanjut hingga turun ke jalan. Pada 18 Agustus 2015, karnaval disabilitas diadakan di Jakarta. Mereka mengenakan baju daerah dan berjalan dari Patung Arjuna Wijaya di daerah Monumen Nasional sampai ke Bundaran Hotel Indonesia. Salah satu hal yang diusung adalah mempercepat pembahasan RUU Disabilitas di DPR. Aksi lain diadakan pada hari perhubungan nasional pada 17 September 2015. Puluhan orang dengan disabilitas yang beragam—seperti pengguna kursi roda, para disabilitas netra, rungu, daksa, mental dan intelektual—secara bersama-sama melakukan uji akses sarana transportasi publik di Jakarta. Mereka berkumpul di Tugu Proklamasi menuju Stasiun Cikini bersama-sama.
Sticker bertuliskan ‘Tempat Ini Tidak Aksesibel’ ditempelkan pada salah satu tiang penyangga di Stasiun Cikini. Pada uji akses tersebut, penyandang disabilitas kesulitan menggunakan moda (bentuk) transportasi kereta yang tersedia. Tidak ada ubin penanda, eskalator, lift, maupun ramp. Penumpang dengan disabilitas netra tidak bisa menemukan penanda arah di mana loket dan tempat pemberhentian kereta berada. Pengguna kursi roda harus digotong petugas stasiun menuju loket yang berada di lantai dua. Tidak sekali, usaha itu dilakukan lagi ke lantai tiga, tempat pemberhentian kereta. Belum lagi, ketika keluar di Stasiun Kota menuju Halte Transjakarta, memang tersedia fasilitas lift. Namun, itu tidak berfungsi dengan alasan terkunci. Sementara itu, orang dengan disabilitas netra juga tidak disediakan fasilitas ubin pemandu sehingga sering kehilangan orientasi saat menuju arah tertentu. Ketidaknyamanan orang dengan disabilitas terlihat jelas, bahkan langsung dialami.
Aksi uji akses berujung di Kementerian Perhubungan. Tanpa Menteri, beberapa Dirjen bisa ditemui. Seluruh pengalaman menggunakan transportasi publik itu langsung disampaikan dan ditanggapi secara positif. Kini, berbagai hal terkait transportasi mulai diperbaiki. Sebut saja beberapa stasiun pemberhentian kereta Commuterline Jabodetabek, seperti Cikini, Manggarai, Tebet, dan Pondokcina. Di tempat-tempat itu, kursi roda sudah mulai disediakan. Fasilitas ramp dan eskalator mulai diterapkan juga. Belum sempurna, tetapi fasilitas transportasi penumpang dengan disabilitas disediakan. Kesadaran untuk memberikan akses terhadap orang dengan disabilitas meningkat.
Tidak berhenti di aksi, riset terkait hukum yang menaungi hak disabilitas juga dirasa penting untuk dilakukan. PSHK memulai riset itu pada September 2015 dan menghasilkan Menuju Indonesia Ramah Disabilitas: Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia. PSHK melakukan klasifikasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Hasilnya menunjukkan bahwa negara mengatur orang dengan disabilitas; tidak hanya melalui satu-dua peraturan, melainkan 114 peraturan perundang-undangan yang mengatur 19 sektor berbeda. Namun, dari jumlah itu, banyak peraturan melihat disabilitas sebagai tragedi yang menimpa seseorang sehingga perlu belas kasihan dari negara. Belum banyak upaya, selain atas dasar belas kasihan, untuk melibatkan orang dengan disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, pembahasan RUU Disabilitas yang mengedepankan hak asasi manusia—alih-alih belas kasihan—di DPR terus didorong. Petisi untuk mengesahkannya didukung lebih dari 10.000 tanda tangan. Berbuah manis, pada Maret 2016, UU Disabilitas disahkan. Melalui undang-undang ini, negara secara formal mengubah cara pandangnya terhadap penyandang disabilitas untuk pertama kalinya; dari objek menjadi subjek. “Kita harus mengubah cara pandang. Disabilitas tidak bisa dilihat sebagai persoalan sosial sehingga perlakuan terhadap penyandang disabilitas hanya dilihat sebagai perlakuan amal. Ini adalah persoalan hak asasi manusia,” Fajri membenarkan posisi kaki kanannya setelah mengenang apa saja yang dilakukannya dalam gerakan disabilitas. Penempatan isu disabilitas dalam isu hak asasi manusia melegitimasi keberadaannya yang lintas sektor; tidak hanya persoalan sosial, tetapi juga pendidikan, ketenagakerjaan, transportasi, politik, kesehatan, dan lain-lain. Seperti slogan umum, “Healthcare is a right, not a privilege”.
UU Disabilitas Bukanlah Akhir
“Perlu diingat, yang penting bukan undang-undangnya, melainkan implementasinya,” kata Fajri. Selanjutnya, lahir kesadaran untuk memastikan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak mudah —kemungkinan besar karena belum terbiasa, kami pun masih mempertanyakan kebijakan dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan isu disabilitas.
Sebagai contoh, ketika dalam perekrutan seseorang dengan keterbatasan penglihatan yang bekerja di lingkungan PSHK, orang-orang di kantor masih kelabakan. Ada rasa takut tidak bisa memberikan fasilitas yang baik kepadanya. Apakah harus ada staf kantor yang membacakan bahan bacaan untuknya? Apakah jika kami diam akan dianggap tidak peduli? Apakah dia akan terganggu jika kami banyak bertanya? “Kita harus memaksa diri kita untuk siap. Kita tanyakan saja kebutuhannya apa, kemudian kita cari strateginya bersama,” ujar Fajri. Abi, nama orang tersebut, diterima sebagai peneliti. Dia bisa berjalan ke mana saja dia mau tanpa perlu dituntun. Dia bisa membaca bahan bacaan yang diberikan kepadanya, walau jarak antara mata dan bahan bacaan hanya 5 cm. Dia mengakses informasi melalui handphone dan laptop-nya dengan lancar tanpa bantuan. Kekhawatiran kami luruh.
Kekhawatiran akan sesuatu hal sering kali tidak beralasan; kekhawatiran tumbuh subur dari ketidaktahuan. Maka itu, kami belajar berinteraksi. Interaksi yang terus dicoba—bukan berarti tanpa keadaan tidak nyaman pada awalnya—melatih kami untuk semakin tahu apa yang perlu dan bisa kami lakukan.
Dari pengalaman tersebut, kami semakin meyakinkan diri bahwa advokasi tidak boleh terhenti di tataran legislasi, sosialisasi, dan publikasi. PSHK memandu strategi advokasi UU Penyandang Disabilitas. Bentuknya bermacam-macam, seperti pembuatan beberapa video untuk sosialisasi maupun pelatihan bagi perusahaan yang ingin melibatkan penyandang disabilitas, termasuk penyelenggaraan diskusi publik terkait undang-undang itu. Bagi kami, rangkaian kegiatan ini merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan pengetahuan advokasi dan perancangan peraturan perundang-undangan. Kami belajar banyak dari berinteraksi dengan teman-teman gerakan disabilitas.
Interaksi dengan penyandang disabilitas lain secara intensif juga membuka perspektif Fajri. Cara pandangnya tidak didapatkan secara tiba-tiba, melainkan hasil dari obrolan panjang terus-menerus. “Seringnya berinteraksi dengan penyandang disabilitas justru akan membiasakan diri kita untuk merespons sehingga tidak terjadi keinginan untuk menolong yang berlebihan,” Fajri melanjutkan ceritanya. Ia sering menceritakan pengalamannya di meja tengah kantor sambil makan siang, diselingi canda gurau. Ceritanya membekas dalam ingatan teman-teman kantor yang lain. Suasana santai ketika makan siang ini memang kerap merupakan ajang bertukar pengetahuan. Inilah ajang transformasi pengetahuan yang dibangun bersama oleh koalisi kemudian menjadi pengetahuan baru untuk PSHK.
Amalia Puri Handayani
Manajer Media Kreatif, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia