(Only available in Bahasa Indonesia)
“Your life does not get better by chance, it gets better by change”
Jim Rohn
Di perantauan, sebut saja Ciputat, pada Desember 2014, saya baru saja menyandang gelar sarjana Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Perasaan bangga dan haru tentu saja tidak bisa ditampikkan. Perubahan status dari mahasiswa menjadi alumni, adalah keberhasilan yang patut dirayakan. Ditambah bergabungnya saya di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) sebagai peneliti atas ajakan Pak Saiful Umam, turut melengkapi kebahagaiaan kala itu.
PPIM adalah lembaga penelitian yang berdiri pada 1 April 1995, dengan tujuan mengajak sejumlah sarjana dari berbagai macam disiplin ilmu dan latar belakang untuk mengadakan beberapa kegiatan penelitian, pengkajian, pelatihan, dan penyebaran informasi khususnya tentang Islam Indonesia dan Islam Asia Tenggara pada umumnya.
Sebagai seorang perantau, tentu PPIM adalah rumah kedua bagi saya. Terlebih nama PPIM sudah tidak asing lagi dikalangan akademisi; lembaga penelitian yang melahirkan cendekiawan muslim dan lulusan luar negeri, seperti Azyumardi Azra, Ali Munhanif, Saiful Umam dan Dadi Darmadi. Saya pun tentunya bercita-cita bisa mengikuti jejak para senior, yaitu menjadi peneliti yang baik dan melanjutkan studi ke luar negeri.
Di PPIM, saya dipertemukan dengan lima peneliti junior dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, masing-masing dari Ilmu Politik, Syariah, Ilmu Komunikasi, Psikologi, Bahasa Arab dan Sejarah. Awalnya saya tercengang kenapa peneliti perempuan tidak saya temukan di PPIM. Seketika saya bertanya-tanya, apa alasan pak Saiful memilih saya menjadi peneliti? Apakah menjadi peneliti yang notabene perempuan itu sesuatu yang tidak mudah? Lantas, apakah keinginan saya menjadi peneliti itu sesuatu yang konyol? Aah.. entahlah, saya pun tidak menggubris lebih jauh masalah itu, yang jelas dalam pikiran saya, bagaimana menjadi peneliti yang baik dan lanjut studi.
Menelisik lebih jauh, Saiful Umam selaku Direktur PPIM sebenarnya banyak merekrut peneliti junior, hanya saja seleksi alam itu pun terjadi. Kultur penelitian PPIM lebih cocok untuk laki-laki ketimbang perempuan. Apalagi jika melihat pekerjaan yang lebih banyak di lapangan, perempuan cenderung ribet dan banyak mengeluh. Belum lagi sebagai lembaga penelitian, PPIM bukan lembaga yang bertujuan agar para pegawainya mendapatkan uang banyak, seperti bekerja di bank atau di perusahaan. PPIM adalah wadah bagi mereka yang masih semangat untuk belajar.
Dengan kondisi seperti itu, saya semakin semangat untuk membuktikan bahwa saya bisa bertahan di PPIM. Tentunya diperlukan adaptasi yang baik, terutama menyatukan ide penelitian, karena tidak jarang peneliti senior dan junior sering berselisih pendapat untuk mencapai kata “sepakat” dalam penelitian.
Segudang Masalah
Rentang empat bulan di PPIM, saya merasakan atmosfer yang baik. Dua kali agenda penelitian besar dan beberapa agenda PPIM baik seminar maupun kegiatan lainnya berjalan mulus. Komunikasi antara peneliti senior dan junior pun berjalan baik, kami mengerjakan tugas PPIM bersama-sama, dengan membagi tugas secara merata. Sebagai peneliti junior yang masih baru, tentu pekerjaan semacam itu menyenangkan, datang ke kantor, mengerjakan penelitian, sharing, makan bersama dan menyerahkan laporan tanpa terlibat mengurusi masalah teknis di kantor. Semua berjalan mengalir begitu saja tanpa prosedur standar kinerja PPIM dan kontrak tertulis.
Enam bulan setelahnya, atmosfer penelitian justru berubah, saya merasakan beban semakin bertambah, tantangan dan hambatan kerap kali saya alami. Betapa tidak, saya merasa “galau” di PPIM, terlebih dengan pembagian tugas kerja yang ‘buram’. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh sekretaris PPIM atau office boy, dikerjakan oleh peneliti junior, misal memfotokopi buku, membeli alat tulis kantor (ATK) keperluan penelitian, memberikan informasi rapat atau seminar PPIM. Selain itu, peneliti junior saling mengandalkan/mempercayakan pekerjaan pada satu orang saja, yang seharusnya pekerjaan tersebut dikerjakan bersama-sama.
Kemudian sistem manajemen yang belum tertata dengan apik, mulai dari struktur organisasi yang belum jelas, kesekretariatan, rencana kerja, hak dan kewajiban para pegawai, ruang kerja yang masih berjamaah, internet yang seringkali ngadat dan segudang permasalahan lainnya turut berpengaruh pada semangat kerja dan jumlah penelitian PPIM. Saya ingat betul direktur PPIM menyampaikan keluhannya kepada peneliti junior.
“PPIM untuk beberapa bulan kedepan belum ada penelitian lagi, karena kita juga masih dalam proses pengajuan proposal penelitian. Proposal yang sudah diajukan pun belum ada respon dari para donor, ditambah PPIM sedang masa transisi kepemimpinan. Jadi mohon bersabar saja dulu, sembari kalian tetap belajar dan sharing dengan peneliti senior di PPIM,” katanya.
Belum lagi sistem penggajian untuk peneliti junior pun diberikan berdasarkan jumlah penelitian yang dilakukan. Jika peneliti junior terlibat satu penelitian maka pemberian gaji pun untuk satu kali penelitian, begitupun seterusnya. Bayangkan jika PPIM belum juga ada penelitian, nasib peneliti junior pun ikut terancam.
Situasi ini membuat saya semakin tidak betah, satu tahun kerja di PPIM rasanya susah sekali beradaptasi, sesekali saya merasa bosan berkutat dengan dunia penelitian. Hingga akhirnya saya memberanikan diri untuk berhenti sejenak dari PPIM sembari menunggu transisi kepemimpinan PPIM dan segala tetek bengek permasalahan di PPIM.
Proses Pembenahan dan Perubahan
Kembali ke PPIM, membuat saya rindu segalanya tentang PPIM. Tiga bulan saya mengerjakan penelitian tentang “Diagnostic Study on Barriers to University Research in Indonesia” yang didanai oleh Knowledge Sector Initiative (KSI). Kondisi PPIM pun saat itu masih dalam proses pembenahan.
PPIM tidak ingin berkutat lama dengan permasalahan yang ada, karena peneliti senior dan para staf pun merasakan hal yang sama yaitu ketidak jelasan sistem kerja di PPIM. Bayangkan, kondisi ini berlangsung dari tahun 1995 sampai 2015, waktu yang dibilang tidak sebentar bukan? Akhirnya PPIM atas desakan dari pihak KSI sebagai pemberi donor, menemukan momentum yang pas; memutuskan untuk mengadakan workshop pembuatan “Standard Operating Procedure (SOP) dan Workplan PPIM”.
Workshop diadakan mulai April 2015 hingga akhir tahun 2015, yang dipandu oleh dua orang fasilitator/konsultan, Handoko Soetomo dan Etik Meiwati, dari lembaga konsultan pengembangan kapasitas dan sumberdaya Resource Management and Development Consultant (REMDEC) Jakarta. Adapun pembutan SOP meliputi desain struktur organisasi PPIM, keuangan, ketenagakerjaan, kesekretariatan danfundraising.
Tentunya saya merasa senang dengan adanya workshop tersebut, pasalnya semua jajaran PPIM ikut dilibatkan. Kami menjadi benar-benar sadar bahwa selama ini kami bekerja tanpa pedoman/standar kinerja yang baik. Dalam hal ini SOP dinilai penting untuk keberlangsungan PPIM ke depan, menjadi pegangan dan panduan serta alat dokumentasi dasar kerja lembaga PPIM.
Sempat saya bertanya ke Ibu Narsi dari bagian keuangan, mengapa workshop tersebut berjalan alot dan terkesan diundur-undur, padahal ini penting sekali. Ia mengatakan bahwa kondisi kepemimpinan PPIM berada pada fase pergantian, sehingga workshop tersebut belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.
Saya beryukur ada desakan dari KSI untuk mempercepat proses perbaikan PPIM. Bayangkan jika tidak dilakukan perbaikan, maka PPIM akan tetap berada dalam segudang masalah tersebut.
Akhir tahun 2015, SOP dan Workplan PPIM itu terbentuk. Semua sistem kerja di PPIM mulai mengikuti aturan SOP. Terlihat kaku memang jika mengikuti aturan SOP. Tapi itulah sebenarnya sistem yang baik. Saya merasa senang melihat sistem di PPIM yang semakin apik dan terstruktur. Setidaknya beberapa perubahan telah terlihat, seperti kontrak kerja sudah jelas hak dan kewajibannya, kesekretariatan seperti surat menyurat mulai mengikuti aturan SOP, ruang kerja sudah tersedia dan tertata rapih, internet sudah cukup baik, struktur organisasi terpampang jelas, pembagian kerja dirotasi sehingga peneliti junior lebih paham mekanisme kerja di PPIM.
Sebagai wujud keseriusan dalam penerapan SOP, PPIM pun merekrut Human Resources Development (HRD) ketenagakerjaan yang bertugas untuk melalukan penilaian sistem kepegawaian PPIM.
Contoh pengaplikasian SOP terkait hal ini yang sudah berjalan, yaitu adanya pemberlakuan jam kerja, dimana para peneliti diwajibkan untuk mengisi absen masuk dan pulang. Absensi ini akan berimbas pada gaji yang akan diperoleh. Sistem absen ini mendorong semangat para peneliti untuk datang ke PPIM. Sistem remunerasi pun mengalami perubahan dari pola lama ke pola baru. Selain penilaian dari jumlah jam masuk kerja, jabatan dan tingkat pendidikan pun menjadi penilaian tambahan. Workplan PPIM semakin jelas, gambaran besar setiap empat tahun ke depan sudah dibuat. Setidaknya dengan adanya workplan bisa diketahui mana yang berhasil dicapai dan mana yang belum tercapai.
Dampak yang cukup berarti dari SOP tersebut adalah adanya standardisasi menjadi peneliti, yaitu minimal S2. Tentunya ini menjadi kabar buruk sekaligus kabar baik terutama bagi peneliti junior, menjadi sentilan keras bagi peneliti junior untuk melanjutkan studi. Hal yang perlu dilakukan kemudian adalah peningkatan kapasitas peneliti junior. Karena ke depannya PPIM pasti akan banyak tantangan, maka diperlukan SDM yang berkualitas.
Perlu diketahui, KSI sebagai donor PPIM tergolong unik dan langka, “lain dari pada yang lain”, kenapa? Karena tidak hanya memberikan dana untuk penelitian saja, akan tetapi KSI mendukung mitranya untuk mengembangkan dan memperbaiki kekurangan yang ada di masing-masing lembaga.
Contoh bentuk dukungan KSI pada PPIM diantaranya; memberikan biaya kursus pelatihan Bahasa Inggris bagi peneliti junior PPIM, pembelian komputer, scanner dan mempekerjakan tim Teknologi dan Informasi, memfasilitasi desain web PPIM, mendanai software accounting dan statistik, dan bantuan untukpertemuan/rapat tahunan PPIM.
Akhir Pengharapan
Pada akhirnya, perubahan-perubahan yang terjadi di PPIM dan diri saya merupakan bagian dari sebuah proses menjadi lebih baik. Perubahan yang terjadi, bukan semata-mata sebuah kebetulan, tapi melalui proses yang panjang dengan dukungan pihak dalam dan luar. Rentetan masalah di PPIM membuahkan hikmah yang luar biasa bagi keberlangsungan PPIM dan saya pribadi di masa mendatang. SOP & Workplan atas dukungan KSI dalam hal ini menjadi klimaks dan solusi proses perubahan di PPIM.
Salah satu ungkapan peneliti senior dengan nada sumringah, “Saya merasa senang dengan PPIM yang sekarang, semua tertata dengan apik, bahkan masalah surat-menyurat pun harus sesuai dengan SOP. Penelitian di PPIM sekarang semakin ramai, sampai-sampai kita merasa kewalahan. Tapi kita patut bersyukur, ini sebuah perubahan yang baik.”
Saya pribadi pun tentunya bersyukur menjadi peneliti PPIM, kesempatan baik yang saya dapatkan dari PPIM adalah buah hasil dari sistem lembaga yang sudah baik. Ke depan semoga harapan saya bisa melanjutkan studi ke luar negeri segera terwujud.
Tati Rohayati
Peneliti Junior, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta