Transformasi Penyedia Fakta menjadi Pendorong Perubahan Kebijakan

AKATIGA menyadari bahwa untuk mendorong perubahan kebijakan maupun meningkatkan perhatian publik kepada isu kemiskinan, cara-cara yang telah dibangun sebelumnya perlu ditingkatkan. Saat ini, hasil penelitian digunakan secara aktif dan sistematis untuk melakukan advokasi kepada pemerintah. Hasil penelitian ditargetkan untuk mampu mempengaruhi kebijakan dengan tanpa meninggalkan posisi AKATIGA dalam memperkuat gerakan sosial dan perempuan di tingkat akar rumput. Setiap penelitian tidak hanya menjadi bahan kajian namun telah direncanakan untuk menyasar salah satu titik kebijakan, bahkan sejak mulai dirumuskan.

(Only available in Bahasa Indonesia)

AKATIGA berproses. Memasuki usia ke-20 di Tahun 2011, AKATIGA harus menetapkan berbagai pilihan yang akan menjadi langkah awal bagi masa depannya. AKATIGA bertransformasi dari penyedia fakta menjadi pendorong perubahan kebijakan. Sebelumnya, hasil riset AKATIGA menjadi amunisi bagi lembaga lain dalam mendorong perubahan kebijakan. Saat ini AKATIGA berperan aktif mendorong dihasilkannya Kebijakan Berbasis Bukti dengan berbagai hasil riset yang berkualitas.

Sebelum terjadinya perubahan, hasil penelitian AKATIGA terbatas pada bentuk pertanggungjawaban kepada lembaga donor dan sumber informasi (supply of evidence) yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang memiliki ketertarikan dengan isu sosial. Salah satu contohnya adalah hasil riset mengenai Komponen Upah Layak. Hasil riset tersebut dijadikan landasan oleh kelompok buruh dalam menegosiasikan angka upah minimum di berbagai daerah.

AKATIGA menyadari bahwa untuk mendorong perubahan kebijakan maupun meningkatkan perhatian publik kepada isu kemiskinan, cara-cara yang telah dibangun sebelumnya perlu ditingkatkan. Saat ini, hasil penelitian digunakan secara aktif dan sistematis untuk melakukan advokasi kepada pemerintah. Hasil penelitian ditargetkan untuk mampu mempengaruhi kebijakan dengan tanpa meninggalkan posisi AKATIGA dalam memperkuat gerakan sosial dan perempuan di tingkat akar rumput. Setiap penelitian tidak hanya menjadi bahan kajian namun telah direncanakan untuk menyasar salah satu titik kebijakan, bahkan sejak mulai dirumuskan.

Perubahan sistem internal dan kondisi eksternal mempengaruhi transformasi yang terjadi. Secara internal, upaya untuk memenuhi kebutuhan pendanaan lembaga dilakukan dengan mengajukan proposal kepada berbagai lembaga donor. Secara eksternal, iklim persaingan antar lembaga penelitian mendorong AKATIGA untuk melakukan pengembangan dan proses pembelajaran. Keterbukaan komunikasi dan cara pandang pemerintah terhadap lembaga penelitian sosial memberi ruang pada lembaga penelitian untuk mengembangkan hubungan yang seimbang sebagai mitra kerja dalam proses perumusan kebijakan.

Sebelum bekerjasama dengan Knowledge Sector Initiative (KSI), kegiatan AKATIGA berfokus pada penyelesaian laporan proyek tanpa terlalu fokus pada manajemen sumber daya manusia. Kegiatan dengan KSI membuat AKATIGA menjadi lebih leluasa dalam menentukan kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas lembaga secara menyeluruh.

Transformasi internal yang pertama kali dilakukan adalah rekrutmen peneliti baru. Minimnya ketersediaan peneliti yang berkualitas mengancam keberlangsungan AKATIGA. Hal ini menjadi dasar untuk melakukan perekrutan peneliti baru sebagai pegawai penuh waktu di AKATIGA. Sayangnya, tidak mudah mencari peneliti yang berkualitas. AKATIGA juga belum dalam kapasitas menawarkan gaji yang kompetitif untuk merekrut peneliti yang sudah bekerja di lembaga lain. Pilihannya kemudian adalah mengidentifikasi peneliti muda yang berpotensi untuk dikembangkan dengan capacity building (peningkatan kapasitas).

Dukungan pendanaan dari KSI memberi ruang untuk AKATIGA melakukan rekrutmen peneliti muda. Proses rekrutmen peneliti muda dilakukan dengan seleksi berdasarkan kualitas penelitian dalam proyek dan memiliki komitmen jangka panjang dengan AKATIGA. Dari seleksi tersebut, diperoleh 7 orang peneliti dengan berbagai latar belakang pendidikan yang kemudian menjadi peneliti tetap AKATIGA.

Program core funding KSI di tahun pertama difokuskan pada upaya penguatan abstraksi peneliti muda. Capacity buildingmenjadi inti kegiatan core funding KSI di AKATIGA dengan target menyamakan perspektif mengenai isu kemiskinan dan penguatan pisau analisis untuk mengabstraksi data. Dampingan langsung diberikan oleh Ben White[1], Isono Sadoko[2], dan Leni Dharmawan[3]. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan metode learning by doing (belajar melalui prakte/bekerja langsung) dalam riset dengan beberapa sesi kelas sebagai pengantar.

Penelitian Kemandirian Pangan yang didanai KSI menjadi tahap awal capacity building. Berbagai topik penelitian menjadi bagian dalam studi tersebut, seperti institusi desa, struktur ekonomi-sosial perdesaan, sistem pertanian skala kecil, polarisasi lahan, kesempatan kerja, tenaga kerja muda perdesaan, serta efisiensi sosial. Seluruh tema menjadi landasan awal pemahaman peneliti mengenai sudut pandang AKATIGA.

Beragam peningkatan dan upaya mengejar performa (prestasi) studi terus dilakukan. Uji coba dilakukan dengan berbagai metode pengajaran, dari mulai pencarian data lapangan, penulisan laporan, matrikulasi data, sistem jam kerja, hingga penulisan paper(makalah) dengan tema yang telah ditentukan. Bimbingan dari peneliti senior dilakukan secara intensif untuk meminimalisir kesenjangan pemahaman antara pembimbing dan peneliti muda.

Bersamaan dengan peningkatan kapasitas peneliti, pengembangan tata kelola penelitian dilakukan secara lebih terstruktur dengan penyusunan Prosedur Operasi Standar (Standard Operating Procedure atau SOP). Proposal penelitian dibuat lengkap dari kegiatan penelitian hingga rencana, metode, dan pembiayaan komunikasi hasil penelitian kepada target audience. Revitalisasi berbagai bentuk dan media diseminasi meliputi peningkatan kualitas jurnal agar lebih banyak dibaca dan mendapatkan input dari media, pengembangan forum-forum diskusi tatap muka dan perluasannya ke media sosial, serta meningkatkan hubungan dengan pihak media yang telah diinisiasi AKATIGA. Pembiayaan strategi komunikasi hasil riset didukung oleh KSI melalui program core funding.

Dengan adanya penguatan dua arah dari sisi kapasitas peneliti dan tata kelola diseminasi, di tahun kedua KSI, AKATIGA melanjutkan target capaian perubahan pada peningkatan perannya sebagai mitra kerja dalam membangun gerakan sosial serta mitra bagi pemerintah. Seluruh artikel penelitian Kemandirian Pangan dipublikasikan dalam Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA[4]. Pendalaman hasil studi mengenai kesempatan kerja dan kelompok muda perdesaan dipublikasikan dalam Inside Indonesia[5]. Tulisan khusus mengenai Kepemilikan Lahan dan Struktur agraria juga dipublikasikan dalam Indonesian Update Series: Land & Development in Indonesia[6]. KSI juga mendanai presentasi mengenai Kepemilikan Lahan dan Struktur Agraria di Australia National University. Dalam sisi perubahan kebijakan, hasil riset studi pangan dijadikan materi utama dalam berbagai seri diskusi dengan Kementrian Pertanian, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui dana dari KSI. Kertas posisi juga telah disampaikan langsung kepada Joko Widodo setelah menjabat sebagai Presiden RI.

Proses capacity building peneliti dan peningkatan komunikasi yang dilakukan tidak selalu berjalan lancar. Dari sisi peneliti muda, sistem kerja yang padat, tuntutan kualitas, dan pemahaman mengenai materi membuat peneliti harus memberikan waktu lebih terhadap pekerjaannya di AKATIGA. Tuntutan publikasi juga menjadi tantangan baru bagi peneliti muda setelah sebelumnya hanya memiliki kapasitas dalam membuat laporan penelitian.

Proses identifikasi target audience dan pemangku kepentingan juga tidak dilalui dalam waktu yang tidak singkat. Intensifitas berkomunikasi terus ditingkatkan untuk menjaga hubungan dengan para pemangku kepentingan. Kendala utama yang seringkali dihadapi adalah pergeseran posisi di pemerintahan. Staf baru perlu dijajaki ulang untuk mendapatkan pemahaman yang sama terkait kegiatan yang dilakukan dengan staf sebelumnya. Sebagai contoh, ketika Direktur Penanggulangan Kemiskinan, Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Bappenas, maka advokasi kegiatan peningkatan layanan garis depan serta advokasi Pembelajaran Program Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2PK) Program Keluarga Harapan (PKH) kembali dijajaki dengan penggantinya, Dr. Vivi Yulaswati, MSc. Meskipun demikian, hubungan dengan Pak Rudy tetap dijaga sehingga justru semakin meluaskan jejaring AKATIGA.

Saat ini, visibility—kegiatan yang dilakukan AKATIGA agar lebih dikenal oleh target audience, seperti pemerintah, donor atau pemangku kepentingan lainnya—menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap kegiatan AKATIGA. Seiring berjalannya penelitian, identifikasi bentuk publikasi dan kebijakan yang akan disasar sudah dilakukan sejak awal. Peneliti yang sudah mengalami peningkatan kapasitas dituntut untuk bisa menghasilkan rekomendasi kebijakan. Strategi mengkomunikasikan dan menegosiasikan hasil penelitian pada para pengambil kebijakan harus dikuasai oleh peneliti. Dengan dampingan dari peneliti senior, peneliti muda AKATIGA menyampaikan kertas posisi kepada Yanuar Nugroho sebagai Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas, Kantor Staf Presiden, mengenai Upaya Meningkatkan Peran Lembaga Keperantaraan dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia.

Identifikasi bentuk publikasi dilakukan sejak awal kegiatan, seperti penentuan publikasi melalui jalur akademis internasional, media, pengambil kebijakan, atau dari gerakan akar rumput. Pada studi Evaluasi Pembelajaran Program Peningkatan Kemampuan Keluarga, Program Keluarga Harapan, identifikasi dan pendekatan pada Kementrian Sosial dilakukan sejak awal, sehingga pada saat riset selesai, rekomendasi langsung disampaikan pada Kementrian Sosial. Respon sangat baik, dan rekomendasi digunakan untuk pembenahan kegiatan Kementrian selanjutnya.

Seluruh riset AKATIGA saat ini diarahkan untuk menyasar kebijakan. Pada studi Suara Perempuan Dalam Monitoring dan Peningkatan Layanan Kesehatan Nasional (BPJS), pendekatan terus dilakukan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosia (BPJS), Kementrian Kesehatan, dan Ombudsman untuk bekerjasama dalam monitoring pelayanan BPJS. Hasil riset akan menjadi masukan untuk pembenahan pelayanan BPJS, khususnya pelayanan rumah sakit di seluruh Indonesia. Dalam studi ini, AKATIGA bekerjasama dengan Fatayat NU sebagai gerakan akar rumput yang memonitor pelaksanaan BPJS. Peningkatan kapasitasmonitoring kader pendamping dari Fatayat juga menjadi tujuan sehingga pendampingan kader dapat berkelanjutan meskipun studi telah selesai.

Studi lainnya seperti Indonesia Trade Private Sector Assistance menyasar masukan kepada Kementrian Perdagangan dan Perindustrian untuk menyediakan infrastruktur ekspor yang memudahkan bagi Unit Kecil dan Menengah ( UKM). Kondisi nyata dari rantai nilai produksi akan membantu Kementrian Perdagangan dan Perindustrian merumuskan kebijakan ekspor yang tepat bagi UKM.

Pada studi Migrasi Kelompok Muda di Nusa Tenggara Timur (NTT), pemerintah daerah didorong untuk dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan dan migrasi di NTT. Kasus yang banyak terjadi adalah ketidaktepatan kebijakan dengan kondisi nyata di Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan untuk menanggulangi migrasi keluar di NTT berfokus pada peningkatan kapasitas beternak di NTT, namun pasar untuk mendistribusikan hasil ternaknya tidak dikembangkan sehingga kelompok muda akan kembali bermigrasi karena tidak melihat peternakan sebagai kegiatan yang memiliki prospek jangka panjang.

Diluar kegiatan penelitian, AKATIGA bekerjasama dengan KSI saat ini melakukan pendampingan revisi Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. AKATIGA dan KSI mendorong perubahan mengenai peraturan khusus pelaksanaan penelitian dan mengenai pelaksanaan swakelola tipe IV dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sebelumnya, pemerintah enggan bekerjasama dengan Ormas karena hasilnya tidak mudah diatur-atur maupun sulit meminta“kick-back (umpan balik)”.  Sedangkan Ormas khawatir dengan masih adanya praktek korupsi atau kerumitan sistem pengadaan dan pembiayaan dari pemerintah. Bila potensi dari Ormas bisa termanfaatkan dengan efektif oleh pemerintah, maka akumulasi pengetahuan dan jaringan akan terluaskan, karena banyak Ormas yang selain memiliki pengalaman dalam meneliti dan mengevaluasi program, juga memiliki basis massa yang kuat.

Kegiatan advokasi dan visibility di AKATIGA masih merupakan hal baru dan terus mengalami ujicoba. Respon positif dari pemerintah menjadi pembakar semangat untuk terus memperjuangkan perubahan sesuai dengan tujuan AKATIGA: penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Dengan menguatnya kapasitas peneliti dan penelitian di AKATIGA, visibility dalam mendorong Kebijakan Berbasis Bukti akan menjadi agenda utama AKATIGA kedepannya.

Viesda Pithaloka

Koordinator Internal, AKATIGA

[1] Profesor Emeritus Sosiologi Pedesaan di International Institute of Social Studies, Den Haag

[2] Peneliti senior di AKATIGA

[3] Peneliti World Bank

[4] Jurnal Analisis Sosial. Pertanian Pangan: Mitos dan Realita Pertanian Padi di Indonesia. AKATIGA

[5] AKATIGA dan Ben White. Maukah Saya menjadi Petani. https://www.insideindonesia.org/maukah-saya-menjadi-petani

[6] Aprilia Ambarwati, Ricky Ardian, Isono Sadoko, Ben White. 2015. Land Tenure and Agrarian Structure in regions of Small-Scale Food Production. Indonesian Update Series. Land & Development in Indonesia. Page 225-253. College of Asia and the Pacific. The Australian National University.

  • Share: