Peneliti dan Kendala Mengkomunikasikan Sains

Diperlukan sains komunikasi untuk mengkomunikasikan sains. Kebiasaan ilmuwan bekerja pada lingkungan dan topik yang spesifik tidak jarang melahirkan pemikiran eksklusif. Alih-alih mengkomunikasikan hasil temuannya pada masyarakat, bahkan kepada ilmuwan bidang lain pun tidak. Ilmuwan lebih sering berkutat dengan topik dan kelompoknya sendiri.

(Only available in Bahasa Indonesia)

Diperlukan sains komunikasi untuk mengkomunikasikan sains.

Di hadapan peserta konferensi internasional global warming pada akhir 2007 di Bali, Presiden SBY mengumumkan proyek “blue energy”. Proyek ini mengklaim dapat mengubah air menjadi bahan bakar dengan mudah. Tapi menjelang produksinya, penemu teknologi ini, Joko Suprapto, justru menghilang padahal beritanya sudah tersebar luas.

Skandal di atas adalah contoh keberhasilan komunikasi tentang sebuah proses dan hasil penelitian yang tidak valid. Di sisi lain, banyak penemuan valid yang tidak sampai kepada pemerintah dan masyarakat akibat kegagalan komunikasi.

Kebiasaan ilmuwan bekerja pada lingkungan dan topik yang spesifik tidak jarang melahirkan pemikiran eksklusif. Alih-alih mengkomunikasikan hasil temuannya pada masyarakat, bahkan kepada ilmuwan bidang lain pun tidak. Ilmuwan lebih sering berkutat dengan topik dan kelompoknya sendiri.

***

Ada beberapa pengalaman yang membuat saya memandang penting arti komunikasi sains. Pertama ketika bergaul formal lintas ilmu adalah pada simposium “Indonesian-American Kavli Frontiers of Sciences”. Simposium ini diselenggarakan berkala oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) bekerjasama dengan American Academy of Sciences. Dan saat itu saya mengikuti Kavli ke-2 yang dilaksanakan di Solo pada September 2012. Jika saja saya tahu dari awal bahwa ini adalah forum “lintas ilmu” (dari ilmu komputer hingga angkasa luar) saya pastikan tidak mendaftarkan diri karena interaksi lintas ilmu umumnya tidak menghasilkan signifikansi ilmiah terhadap ilmu kita.

Apalagi saat pelaksanaan ternyata pemakalah tidak dikelompokkan berdasarkan bidang ilmu. Pemakalah saat itu disatukan dalam satu scene presentasi, tidak dibagi ke kelas paralel. Saya kaget dan kagok harus mempresentasikan topik “Plant Growth Under Biotic and Abiotic Stress” kepada ilmuwan dari bidang komputer hingga kajian angkasa luar. Saya baru menyadari topik ini tidak dipahami oleh seluruh peserta pada saat berdiskusi. Padahal menurut saya topik sudah dipresentasikan dengan cukup umum. Sederhana menurut kebiasaan saya, yang terbiasa misalnya dengan istilah pertanian. Sementara bagi peneliti bidang lain, istilah tersebut terdengar aneh. Ada yang menanyakan disaat rehat terkait kata “akuisisi nutrisi yang menurut dia kata “akuisisi” itu hanya umum digunakan pada bidang ekonomi. Ini mendorong saya untuk kemudian lebih memperhatikan istilah (terms) yang digunakan untuk menjelaskan hasil ilmiah dengan bahasa yang lebih umum digunakan. Jika sesama peneliti saja tidak mengerti, bagaimana masyarakat awam akan mengerti hasil penelitian kita?

Perasaan awal yang kaget dengan format simposium Kavli hilang setelah saya mengikutinya. Saya merasa simposium lintas ilmu dengan format presentasi yang disatukan dalam satu sesi sangat diperlukan. Melalui simposium lintas ilmu ini saya mendapatkan informasi terkini ilmu lain juga belajar berkomunikasi lintas ilmu.

Pengalaman kedua, saat saya diberi kesempatan oleh AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk menjadi anggota komite studi SAINS45. Komite studi ini terdiri dari 12 orang peneliti muda dari beragam ilmu dan institusi. Lima orang dari AIPI bertindak sebagai supervisors (sehingga total tim adalah 17 orang). Tugas utama Komite Studi adalah menuliskan 45 pertanyaan ilmiah yang diperkirakan masih harus dijawab saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-100 pada tahun 2045. Pertanyaan ini dibagi kedalam 8 kelompok tema. Jadi buku SAINS45 ini ditulis dengan numerologi yang baik yaitu hari kemerdekaan Indonesia, 17-8-45. Kelihatan sangat mudah menyelesaikan buku ini karena cuma perlu menuliskan 45 pertanyaan. Faktanya tidak demikian karena buku ini adalah “lintas ilmu”. Peneliti pertanian seperti saya harus berkontribusi pada pertanyaan keilmuwan sosial ataupun kesehatan dan sebagainya.

Saat pertama berkenalan dalam ruang pertemuan dengan tim, rasa heran timbul, karena ada ahli agama Islam hingga yang jago bikin material baru. Sempat terlintas di pikiran, bagaimana mungkin buku SAINS45 akan diselesaikan jika jumlah tim inti kecil dan bidang ilmu tim tidak lengkap.

Tim sering kali harus membahas satu pertanyaan berjam-jam. Bukan dikarenakan pertanyaannya tidak bagus, tetapi bahasa tertulis hanya dipahami oleh ilmuwan tersebut. Komunikasi hasil penelitian yang mengunakan bahasa umum dan sederhana merupakan kunci keberhasilan proses transfer ilmu pengetahuan, ini memudahkan orang lain mengerti bidang ilmu dan hasil penelitian kita.

Atas dukungan Kementerian PPN/Bappenas dan KSI (Knowledge Sector Initiative) tim juga melaksanakan kegiatan pengayaan ilmu (science enrichment) ke beragam institusi dan peneliti di Australia. Inti dari kegiatan ini adalah mengkomunikasikan isi buku SAINS45 untuk mendapatkan masukan (feedback).Komunikasi sains dengan beragam pemangku kepentingan di Indonesia juga diselenggarakan beberapa kali. Akhirnya, buku ini yang diproses hampir dua tahun dengan pemahaman dan komunikasi keilmuwan yang baik antar anggota tim juga dengan para supervisor, berhasil diselesaikan.

Komunikasi lintas ilmu yang terjadi saat proses penyusunan buku SAINS45 ini berhasil, misalnya saat sosialisasi versi konsultasi buku ini yang dilaksanakan di IPB, Oktober 2015. Saat itu saya berhalangan hadir sehingga tema pertanian dan kehutanan dipresentasikan oleh dokter Sudirman PhD, yang berlatar ilmu kesehatan masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. Presentasi tersebut sangat sukses dan itu bukan terjadi sekali saja. Jika anggota tim berhalangan hadir atau karena keterbatasan dana tidak seluruh anggota tim dapat hadir, topik keahliannya harus dipresentasikan oleh anggota lainnya.

***

Saya pun berubah seiring waktu, minat saya akan topik ilmu lain meningkat. Keinginan mengkomunikasikan hasil penelitian pada masyarakat juga meningkat. Dulu sebelum menganggap komunikasi sains penting dan juga karena ketersediaan waktu yang ada, saya tidak selalu berminat dengan forum dan tulisan non-ilmiah.Kini tentu berbeda, baik forum ilmiah dan non-ilmiah menurut saya sama pentingnya. Namun untuk mampu mengkomunikasikan hasil penelitian ataupun pemikiran ilmiah memerlukan pelatihan intensif.

Dari pengalaman mengikuti lokakarya menulis ilmiah populer yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) dan Tempo Institute pada 12-14 Mei dan 4 Juni 2016, mengikuti kegiatan writeshop “CeritaPerubahan (Story of Change)” pada tanggal 2-3 September 2016, saya belajar bahwa peneliti yang memiliki pengalaman publikasi ilmiah belum tentu dapat menghasilkan tulisan ilmiah populer yang baik, seperti yang saya alami. Penulisan ilmiah populer memiliki struktur berbeda dengan tulisan publikasi ilmiah begitu juga bahasa yang digunakan. Saya merasakan manfaat positif dari kedua forum pelatihan tersebut. Alangkah baiknya jika setiap peneliti memiliki kesempatan berlatih menulis ilmiah populer dari para jurnalis.

Sayangnya lembaga di Indonesia ataupun organisasi donor umumnya lebih berkonsentrasi mendukung peneliti dengan cara memberikan bantuan dana penelitian. Hingga hari ini tidak banyak lembaga ataupun organisasi yang mendukung keberhasilan seorang peneliti dalam mengkomunikasikan hasil penelitiannya.KSI (Knowledge Sector Initiative) adalah organisasi yang sedikit tersebut yang telah membantu peneliti untuk meningkatkan kapasitas komunikasi sains (science communication capacity).

Dukungan institusi untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam berkomunikasi harus diperbanyak. Jika kita ingin pemerintah dalam membuat kebijakan dapat mengadopsi penemuan (evidence based policy), ilmuwan harus mampu mengkomunikasikan hasil penelitiannya. Hanya dengan kemampuan komunikasi sains tujuan untuk dapat mengkomunikasikan hasil penelitian kepada pemerintah dan masyarakat dapat tercapai.

***

Perubahan yang terjadi pada saya, sebagai seorang individu tentu tidak dapat memberi dampak yang signifikan pada masyarakat. Namun jika komunikasi sains menjadi perhatian kita semua tentu akan lebih memberi dampak yang nyata bagi pembangunan di Indonesia. Saya tidak lagi menganggap publikasi jurnal ilmiah merupakan satu-satunya jalan untuk mengkomunikasikan sains. Walaupun tulisan non-jurnal tidak memberi nilai tambah CV (Curriculum Vitae) dan sering kali menyita waktu, tetapi kini komunikasi sains jenis ini bagi saya juga penting.

Perubahan ini menarik bagi kolega dan pimpinan di fakultas tempat saya mengajar. “Ternyata penulisan ilmiah populer juga sulit tetapi memiliki efek manfaat tinggi bagi masyarakat dan pemerintah. Bu Aiyen harusnya berbagi pengetahuan. Kita akan selenggarakan pelatihan agar para dosen memiliki kesempatan berlatih dengan Bu Aiyen atau dengan mengundang jurnalis,” kata dekan saya, Prof. Zainuddin, PhD.

Di akhir tulisan ini saya memberikan sebuah contoh tulisan untuk mengkomunikasikan kegelisahan tanaman kelapa sawit dengan sebuah puisi yang berjudul “Aku Sawit”. Melalui puisi ini saya menceritakan kekhawatiran sawit karena kita tidak menguasai ilmu kelapa sawit. Sawit menantikan inovasi dan teknologi dari peneliti agar dapat berproduksi dan memiliki nilai jual lebih baik. Ternyata para mahasiswa saya sangat tertarik dengan puisi ringan ini. Mereka juga termotivasi untuk memilih topik penelitian yang berkaitan dengan kelapa sawit. Dulu komunikasi ringan dengan puisi menurut saya tidaklah penting. Kini, saya tidak lagi mengangap tulisan ringan sebagai kesia-siaan waktu. Semoga cerita perubahan ini memberikan inspirasi bagi kita semua untuk menghasilkan sains berkualitas dan saat yang sama mengkomunikasikan sains.

 

Aku Sawit

Semilir angin membawa berita musim panen tiba

Akupun mendonggak melirik ke langit tinggi.

Mengirim salam sebagai ungkapan terima kasih.

Tiba kembali waktuku membayar upah kepada tuanku.

Umurku tak muda persembahanku pun tak banyak lagi.

Pupukmu tak selalu berarti karena pemberianmu tanpa hati.

Minumku pun engkau tak pintar membantu mencari.

Engkaupun tak menyapa lirih walau aku selalu memberi.

Yah aku cuma sawit yang tak pandai hidup sendiri.

Akupun tak keberatan hidupku engkau yang asuh.

Tapi jangan salah asuh karena hasilku jadi tak menentu.

Kasih penyertaanmu selalu kutunggu untuk membantu pertumbuhanku.

Aku menanti teknologimu seperti engkau menanti fajar.

Aku menanti perubahan fungsiku seperti engkau menanti pujaan hatimu.

Lebih dari itu-aku juga selalu berdoa untukmu.

Kutunggu ide dan inovasimu agar diriku tak sulit berproduksi

 

Aiyen Tjoa

Dosen Senior Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah

  • Share: